Masyarakat Berdaya di Tengah Mitos Magel-Magel Ilang
Oleh:
Rachmad Kristiono Dwi Susilo, MA, Ph.D*
Bagi penulis, berkumpul atau lebih tepatnya jagongan dengan para pemberdaya dan aktivis komunitas melahirkan pengalaman dan pengetahuan baru mengenai Kota Magelang. Sebagai tenaga ahli yang membidangi sosiologi, pemberdayaan, dan inovasi sosial (social innovation), tentunya membutuhkan bahan-bahan lapang untuk mendesain perubahan kota seperti yang diharapkan pelaku pemerintahan dan masyarakat.
Karena itu, perjumpaan dengan banyak orang, apakah birokrat, aktivis komunitas, pekerja, bahkan pengangguran jarang penulis sia-siakan. Di setiap pertemuan, penulis selalu melontarkan draft usulan program (tidak harus resmi) yang mungkin cocok atau diproyeksikan akan berdampak positif manakala diterapkan di kota kelahiran.
Konsekuensi dari sebuah diskusi, setiap lontaran pasti melahirkan tanggapan sebagaimana hukum aksi-reaksi atau stimulus-respons. Beragam tanggapan bervariasi, baik positif maupun negatif, biasa-biasa saja. Juga tidak sedikit partner diskusi yang menyangsikan, menolak, apatis dan pesimistis pada usulan atau lontaran-lontaran penulis. Bukannya, audiens antusias menanggapi gagasan tersebut, malah spontan tidak berfikir panjang, menanggapi dengan mengatakan “angel-angel.” Spontan, penulis tidak meneruskan diskusi. Bagi penulis, tanggapan yang tidak seperti diharapkan ini cukup tidak usah diteruskan.
Pada saat menemani para pendamping Rodanya Masbagia (Program Pemberdayaan Masyarakat Maju, Sehat, dan Bahagia), penulis berupaya memberi motivasi dan sedikit ketrampilan supaya mereka lebih radikal dan kreatif melakukan kerja- kerja di lapang. Koordinator lembaga ini mulai tertarik dengan sugesti penulis. Akhirnya ia berencana mendorong pendamping untuk menggali ide bersama Ketua RT. Namun ternyata tidak mudah mengenalkan gagasan semacam ini. Ia terkaget-kaget manakala ia meminta pendamping, tetapi rata-rata pendamping menjawab “sulit.” Menurut mereka komunikasi lebih “efektif” dengan tidak usah ketemu Ketua RT. Kondisi ini sebenarnya memprihatinkan ketika para pemberdaya komunitas enggan “live in” di lapang.
Pada kesempatan lain, kawan tersebut juga mengeluhkan statemen seorang birokrat yang cenderung mematahkan semangat. Birokrat tadi menyatakan percuma saja membuat perencanaan dan pemberdayaan masyarakat sebaik mungkin pemberdayaan pasti masyarakat sulit menerima.
Ia meyakinkan telah melakukan banyak aktivitas, tetapi berakhir dengan kegagalan. Pengalaman sebelumnya atau kesadaran kolektif yang berhubungan dengan mengelola program mungkin yang membentuk pengetahuan semacam ini.
Kalau sudah demikian, bagaimana nasib proyek perubahan di masyarakat? Bukan hanya taruhan program yang tidak jalan, tetapi kesiapan mindset pada implementasi program betul-betul tidak ada? Seharusnya pendamping menjadi ujung tombak dan aktor penggerak pada setiap perubahan di masyarakat.
Mereka seharusnya antusias atas perubahan-perubahan di masyarakat. Setiap ada permasalahan, ia selalu sigap mencari solusi. Setiap kondisi sudah baik, ia berupaya meningkatkannya menjadi “lebih” baik. Proses menghadapi permasalahan dan peningkatan kualitas sejatinya bukan membuat mundur, tetapi yang penulis temui sebagai pemberdaya rata-rata orang “paling kelelet.”
Praktik pemberdayaan sebagai kondisi yang kurang “menggembirakan” ini juga dialami aktivis lain seperti kelompok pemberdaya LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat). Sekalipun kelompok ini memiliki pengalaman panjang pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), tetapi aktor yang berkecimpung tidak luput dari apatisme. Saat penulis bersama mereka pada kegiatan studi banding, masih saja ada aktor yang mempertanyakan uang saku atau uang transport. Ketika penulis diskusi dengan koordinator aktivis ini, ia mengeluhkan kondisi sulit menemukan aktor-aktor lapangan yang bisa diandalkan.
Kondisi Kontradiktif
Kondisi atau gambaran-gambaran kota seperti penulis paparkan di atas sejatinya tidak menguntungkan di tengah paradigma Kota Magelang Maju Sehat Bahagia yang menjadikan warga atau komunitas sebagai motor pemberdayaan yang dimulai dari perubahan mindset untuk selalu menciptakan perubahan-perubahan. Minimnya aktor aktor penggerak merupakan kondisi kontradiktif.
Terlebih 15 Oktober 2023, wali kota berharap besar partisipasi warga kota sebagai pengusung perubahan. Ia berharap munculnya local hero pada komunitas-komunitas se-Kota Magelang. Pelaku komunitas misalnya, RT-RW, Pokmas (kelompok Masyarakat), LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan), LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat), dan aktivis bank sampah sebagai ujung tombak pembangunan dan perubahan di masyarakat. Kepala daerah juga mengharapkan lahirnya pengusaha muda dan menjamurnya koperasi sebagai target keberhasilan pembangunan.
Harapan kepala daerah juga didukung struktur birokrasi pemerintahan kota. Harapan beberapa dinas untuk menjadikan pemberdayaan sebagai mainstream tersebut juga nampak pada program dinas sebagai berikut. Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPM4KB) menjadikan pemberdaya di masyarakat untuk pegiat LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) dan Pendamping Rodanya Masbagia melalui training, pelatihan capacity building, dan lomba-lomba atau kompetisi.
Sedangkan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Magelang Muhammad Yunus menyandarkan harapan tinggi kepada aktivis Bank Sampah untuk pengelolaan sampah agar bisa berjalan secara berkelanjutan. Komitmen ini ditunjukkan melalui pelatihan dan pendampingan bank sampah yang disertai selebrasi Peringatan Hari LH se-Dunia.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Magelang Syaifullah SSos MSi menyatakan, pemberdayaan sebagai instrumen menggerakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Melalui pendampingan, pelatihan, dan pendampingan UMKM di Kota Magelang bisa digerakkan dan diberdayakan untuk program peningkatan kesejahteraan.
Benarkah pemerintah berhasil memerankan sebagai agen perubahan sosial? Mungkinkah, program pemerintah akan bisa berjalan sesuai tujuan yang diharapkan? Kalau di masyarakat yang menjadi partner hanyalah sekumpulan orang-orang pesimis dan miskin perencanaan. Kalau demikian, terus kita mau ngapain, diam saja? bisa dibayangkan cita cita tinggi tanpa motivasi dan kerja keras pasti berakhir stagnasi.
Mitos Magel Ilang sebagai Objektivasi
Kita membutuhkan diagnosa dan analisa permasalahan warga sebagai sebuah permasalahan bagi pegiat komunitas di Kota Magelang sering dikaitkan dengan karakter Kota Magelang. Salah satu cara yaitu mengaitkan karakter pasif atau apatis tersebut dengan nama yang tersemat dari kota ini. Nama Magelang sendiri dimaknai sebagai pengetahuan turun temurun yang berkembang di pengetahuan masyarakat. Peter L. Berger menyatakan kondisi ini sebagai objektivasi yaitu awetnya nilai-nilai dan norma sosial dalam kehidupan sosial yang dibentuk oleh proses internalisasi dan eksternalisasi selama bertahun-tahun oleh anggota masyarakat.
Magelang berasal dari kata magel dan ilang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan arti magel yaitu setengah masak (belum matang benar); 2 ki belum pandai benar; belum sempurna pengetahuannya, dan sebagainya, sedangkan kata ilang yaitu bahasa Jawa dari hilang. Sekali lagi menurut KBBI, tidak ada lagi; lenyap; tidak kelihatan: tiba-tiba benda itu — dari pemandangannya; 2 tidak ada lagi perasaan (seperti marah, jengkel, suka, duka), kepercayaan, pertimbangan, dan sebagainya, 3 tidak dikenang lagi; tidak diingat lagi; lenyap, 4 tidak ada, tidak kedengaran lagi (tentang suara, bunyi, dan sebagainya).
Dari dua kata ini kita bisa mengaitkan karakter masyarakat yang ditandai dengan tidak selesai mengerjakan sesuatu yang direncanakan. Misalnya, diberikan motivasi berkali-kali tetapi tidak ada kehendak untuk berubah. Diberikan pelatihan warga mengikuti, tetapi capaian tidak sampai mengamalkan ilmu yang diperoleh.
Kesimpulan yang bisa kita buat yaitu karakter Kota Magelang benar-benar sulit diubah. Ibaratnya, diberi intervensi sosial atau politik apapun secara profesional, dengan biaya yang tidak sedikit, tetap saja tidak berubah. Bahayanya jika pengetahuan common sense ini sering digunakan sebagai pembenar untuk perilaku yang sulit maju atau sulit berubah.
Masyarakat Stagnan
Kalau kita memercayai “mitos” magel, mendasarkan pengetahuan Magel, maka kita sejatinya memasuki masyarakat stagnan. Sebagus apapun visi dan misi yang dibuat pastilah kurang “gayung bersambut”. Akhirnya program idealis berakhir dengan sia-sia.
Menurut penulis janganlah mempercayai mitos begitu saja. Sangat sulit menerima kebenaran bahwa dinamika dan perubahan sosial masyarakat hanya dikendalikan mitos, bukankah ada kekuatan atau elemen-elemen lain sebagai penggerak masyarakat?
Coba kita bandingkan dengan karakter dengan kota atau kabupaten lain. Fenomana apatis atau pasif pada perubahan sejatinya merupakan gambaran masyarakat Indonesia yang terjadi umum akhir-akhir ini. Pengetahuan tentang Magelang saja yang menjadikan seakan-akan Magelang yang menjadi contoh buruk.
Studi penulis temukan di Malang Raya juga menemukan ciri masyarakat seperti dihadapi kota kelahiran. Program Desaku Menanti yang diinisiasi oleh Dinas Sosial (Dinsos) Pemerintah Kota Malang kurang apa. Inisiasi mendirikan komunitas yang menghimpun masyarakat kurang mampu, kemudian membuat destinasi pariwisata komunitas dengan guyuran dana dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat sudah sangat besar tetapi tidak bisa mempertahankan keberlanjutan program.
Pendampingan tentang konservasi mata air di salah satu desa di Kota Batu, kurang apa. Pelatihan, advokasi dan diskusi-diskusi kritis dilakukan kelompok kolaborasi secara intensif kurang lebih 5 tahun, akhirnya berakhir dengan stagnan. Indoktrinasi, sosialisasi dan penguatan ketrampilan dan pengetahuan aktor-aktor komunitas tidak diteruskan, padahal kota ini tidak pernah absen dari dampak negatif industri pariwisata dan kerentanan akibat krisis lingkungan.
Pengalaman mendampingi desa wisata di salah satu desa di kota yang sama bukannya penulis melihat aktor-aktor penggerak ideologis. Bukannya mitra belajar penulis yang diperoleh di lapang, malahan salah satu panitia minta penulis sebagai “wisatawan” yang membayar tiket masuk. Padahal bentuk wisata komunitasnya saja masih “berantakan”, kok tega-teganya meminta bayaran setimpal.
Tidak heran, kisah-kisah pendampingan atau pemberdayaan masyarakat banyak yang berusia sesaat, berumur pendek dan miskin keberlanjutan. Ada benarnya jika pemerintah akhirnya membuat output kegiataan sesaat saja. Para pelaksana perubahan tidak berani memasukkan indikator perubahan perilaku, perubahan sikap atau perubahan sistem di masyarakat.
Akar Persoalan Stagnan
Menjadikan magel sebagai pembenar tidak melakukan apa-apa sungguh sikap yang sangat konyol. Terlebih jika pengetahuan ini dimiliki para pelaksana kebijakan yang sama artinya tidak akan merencanakan atau melakukan apa-apa. “Angel-angel, wis dibiarkan saja” kalimat ini yang penulis dengar berkali-kali dari para pengambil kebijakan dan aktivis komunitas saat mereka menemui permasalahan terkait masyarakat sebagai mitra atau dampingan.
Menurut penulis, pengambil kebijakan, perencana komunitas dan para penggerak haruslah berfokus pada model yang ditawarkan. Persoalan, warga berubah atau tidak itu bagian dari akibat atau konsekuensi sunatullah. kewajiban kelompok-kelompok “peduli” yaitu bekerja dengan baik. Karena itu, kini yang dibutuhkan salah satunya menjelaskan akar persoalan masyarakat stagnan tersebut. Sebenarnya banyak teori yang bisa menjelaskan hal tersebut, khususnya pada teori perubahan sosial, tetapi penulis membahas teori saja.
1.Individu Pragmatis
Bertahun-tahun Sosiologi mengembangkan teori bercorak psikologi sosial dimana menekankan pada individu yang tidak lepas dari pengaruh masyarakat. Baik buruh sistem sosial ditentukan oleh individu yang mau berubah. Teori-teori Sosiologi semacam ini berorientasi pragmatis dengan menyatakan bahwa individu sebagai pengejar kesenangan dan menghindari semua hal yang menyulitkan atau beresiko.
Bagi individu pragmatis, menerima ide-ide pembaharuan bukan sesuatu yang mengenakkan, bahkan membutuhkan pengorbanan-pengorbanan (costs) yang tidak sedikit. Setiap manusia akan menikmati zona nyaman yang tidak membutuhkan spekulasi alias gambling. Mungkin gambaran semacam ini lebih mudah untuk dipahami. Dari pada diminta membuat rencana bisnis (usaha) yang belum pasti, lebih memilih menerima bantuan subsidi dari negara. Atau dari pada menyusun program RKM (Rencana Kerja Masyarakat) mendingan mengikuti program padat karya. Program ini cukup seksi karena target yang rendah/ringan dan insentif yang cukup signifikan.
Dari pada bekerja menjadi pengusaha mendingan tenaga kontrak di pemerintahan kota. Dari pada menyelenggarakan Peringatan Haul Diponegoro, mendingan jualan UMKM di tempat konser musik. Memahami substansi dan makna Kepahlawanan Diponegoro sulit sekali bagi individu pragmatis.
Bisakah individu pragmatis berubah? Kata kuncinya terletak pada ancaman terhadap zona nyaman yang selama ini dinikmati. Dengan kalimat lain, perasaan zona nyaman akan berubah jika peristiwa sebagai ancaman yang mengganggu. Warga masyarakat yang hidup berkelimpahan pasti sulit diajak mengalokasikan waktu demi pekerjaan merintis perubahan baru atau advokasi menggagalkan kebijakan tertentu. Sama halnya, kondisi tidak berkelimpahan atau tidak dianggap sebagai “masalah” menarik pada persepsi aman dimana akhirnya nyaman dan tidak ada kehendak berubah.
Di sinilah tidak ada artinya pikiran-pikiran kritis yang seharusnya memantik perubahan perilaku. Sekalipun pendidikan kritis dilakukan secara masif, materi dan simulasi yang disampaikan aktivis akan dianggap angin lalu saja sepanjang tidak ada ancaman.

2. Struktur Masyarakat
Kemunculan warga yang pasif sangat ditentukan oleh struktur masyarakat dimana individu tersebut tinggal/bermukim. Individu tidak bebas yang seluas-luasnya, ia pasti dipengaruhi dan bahkan dikendalikan oleh struktur baik struktur ekonomi, struktur sosial maupun struktur politik.
Mantan Lurah Magersari menyatakan bahwa kemunculan masyarakat yang pasif disebabkan “iklim,” kota yang tidak membuat maju. Dengan kata lain zona nyaman. sebaik apapun kegiatan kalau masih tinggal/bermukim di kota ini pasti akan sulit berubah. Ia mengusulkan transmigrasi menjadi strategi untuk menyelesaikan masalah stagnasi berfikir ini.
Senada dengan mantan lurah, Koordinator FKA-LKM “Sejuta Magelang” Harman Sasmitohardjo menyatakan, “kalau yang mau keluar dari Magelang hampir semua orang Magelang berhasil dalam kariernya, maaf contohnya pula anak saya yang mau keluar dari Magelang semua kariernya bagus. ..Yang tinggal di Magelang, yo stagnan gini-gini aja maju gak mundur juga gak.”
Tekanan struktur ekonomi menyebabkan masyarakat tidak merdeka. Struktur membuat individu terkekang atau tidak memiliki banyak pilihan. Salah satu bentuk struktur tersebut matapencaharian. Tidak banyaknya lapangan pekerjaan di kota ini menyebabkan kemunculan pengangguran yang relatif tinggi. Kondisi save (baca: aman dan nyaman) menjadi harapan dan pilihan sikap warga yang belum memperoleh pendapatan (income) tetap ini.
Dengan demikian, mindset berfikir yang berkembang yaitu orientasi jangka pendek. Sulit untuk memahami program jangka menengah dan panjang. Sekalipun digelar pelatihan-pelatihan, jika permasalahan masih kebutuhan dasar (basic needs), niat mengikuti program perbaikan masyarfakat pasti mendapat uang saku, maka semua program tidak akan efektif.
Ibaratnya mengharap uang banyak malahan diberi pekerjaan “gambling”, maka sulit untuk mengajak masyarakat berubah. Pilihan-pilihan pragmatis yang tidak beresiko dan tidak mikir panjang akan lebih diminati.
Stagnasi masyarakat disebabkan juga oleh peran lembaga sosial yang kurang mendukung. Ada kesalahan fungsi dari bekerjanya instituisi sosial tersebut. Seharusnya lembaga menanamkan nilai-nilai dan norma dan ethos kerja bagus, tetapi yang terjadi masyarakat diajari konsumtif dan menikmati kesenangan dengan jalan pintas. Akibatnya lahir masyarakat pragmatis yang tidak banyak menyumbang kepada perubahan-perubahan yang diharapkan.
Masih berhubungan dengan struktur masyarakat, dominasi dan hegemoni struktur dan sistem ini juga memengaruhi birokrasi pemerintah. Seperti dinyatakan oleh sosiolog Max Weber, seharusnya birokrasi bekerja impersonal yang tidak memandang bulu dan “kekeuh” dalam menggerakkan kebijakan, namun demikian hari ini birokrasi juga mengalami ketidakberdayaan struktur yang ditandai bekerjanya birokrat-birokrat pragmatis. Akhirnya, birokrasi mengikuti karakter masyarakat, ia tidak bekerja efektif yang melahirkan kebijakan dan program pemerintah tidak profesional, capaian minimalis dan bisa dipastikan tidak melahirkan bibit unggul. Parahnya lagi, sekalipun program belum sampai melahirkan perubahan mindset, program tidak dilanjutkan.
Model Perubahan
Era pembangunanisme yang dilaksanakan secara masif oleh Orde Baru melahirkan evaluasi bangsa yang kemudian muncul paradigma pembangunan pemberdayaan masyarakat. Pilihan pemberdayaan diharapkan membedakan dengan pembangunan yang digaungkan oleh Orde Baru sebagai strategi jitu yang menjanjikan perubahan sosial partisipatoris, di mana sebelumnya inisiatif dan kebebasan warga dibelenggu dengan dominasi negara, kini baik negara dan masyarakat bebas merencanakan apapun.
Namun kegagalan-kegagalan lapang atau tidak adanya bukti “keberlanjutan” menyimpulkan pemberdayaan tidak lebih baik dari pembangunan alias sama saja, bagus dijargon, tetapi lemah direalisasi. Bagus diperencanaan tapi lemah di luaran (output). Belum lagi kita menghadapi desentralisasi “problematik” di mana membuat eksekusi tidak steril dari tarik menarik kekuatan politik. Sekalipun sama dengan model pembangunan lain ia memasuki lingkungan kebijakan yang tidak selamanya mendukung. Sebaik apapun keinginan pemerintah, tetap saja akan berbenturan dengan karakter masyarakat yang “sulit.”
Kini yang dipentingkan komitmen. Pada konteks pembangunan ada benarnya jika di era pemerintah sebelumnya lebih fokus pada pembangunan fisik dan kini fokus pada pembangunan berorientasi manusia (people centered development). Memang, secara populis pilihan ini lebih baik, namun jika tidak dikelola secara baik menjadi blunder bagi pemrakarsa dan pelaksana pembangunan itu sendiri.
Janganlah kita membiarkan pikiran kita ikut-ikutan pesimis yang artinya menyangsikan konsep pemberdayaan sebagai pilihan terbaik? Mitos magel dan ilang bukan penentu perubahan, tetapi jauh lebih penting kita menyegarkan cara pandang secara lebih luas dan lebih bagus. Kita pikirkan untuk melahirkan “secercah” harapan dari pembangunan atau pemberdayaan masyarakat atau apapun namanya program perbaikan masyarakat tersebut. Optimisme tentang rekayasa sosial atau kebijakan yang melahirkan local hero atau patriot lokal yang mengusung perubahan-perubahan berbasis komunitas, tetap kita pegang teguh dengan tidak melupakan langkah-langkah berikut.
1. Penemuan Model Tiada Henti
Sejatinya, pemberdayaan merupakan konsep yang trial and error, nah penemuan model membutuhkan proses. Pelaksanaan pemberdayaan atau mengubah mitos bukan poyek instan berjangka pendek. Idealisme pemberdayaan yang langsung melahirkan sesuatu saja tidak cukup, proses perumusan kebijakan atau program-program tertentu harus segarkan kembali atau bahkan ditata ulang secara baik. Proses penyegaran program dan kebijakan yang tidak dilalui dengan baik, tetap saja melahirkan kegagalan perubahan-perubahan signifikan pada komunitas dan struktur-struktur diatasnya. Marilah untuk tidak menyerah untuk selalu berfikir dan belajar yang tidak pernah henti.
2.Kolaborasi dan Pembelajaran Bersama
Demi memperoleh model perubahan sosial yang cocok, kita butuh belajar bersama antara masyarakat, pemerintah dan kelompok-kelompok strategis lain. Sekalipun tetap saja kebijakan menjadi panduan mengatur pemerintahan dan masyarakat, tetapi keterbukaan gagasan dibutuhkan. Pelembagaan dialog dan belajar bersama harus didorong semaksimal mungkin. Sekalipun, Ngopi (Ngobrol Pintar) sudah dilakukan secara berkelanjutan, namun ngopi yang melahirkan gagasan besar tentang pemberdayaan dan perubahan sosial harus dilakukan. Bisa jadi model pemberdayaan malahan bukan muncul dari akademisi atau dari pemerintah, tetapi dari masyarakat lokal yang sehari-hari menekuni pengetahuan lokal. Mekanisme ini dilakukan sejak program direncanakan, sehingga tidak sulit menggerakan implementasi dari rencana tersebut. Disinilah, kolaborasi dan belajar bersama harus ditata dan didorong dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah SWT meridhoi niat baik kita.(****)
*Penulis adalah Sekretaris Prodi Sosiologi S2 dan S3 Direktorat Program Pasca Sarjana (DPPS) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur dan Tenaga Ahli Pemerintah Kota Magelang di bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Inovasi Sosial.