Sistem Pemerintahan dalam Islam
Oleh: Herlianti Anggraini, Nora Dwi Novianti, dan Rosliana Mindaryati*
Pengertian Sistem Pemerintahan
Kata sistem berasal dari kata “system” berasal dari bahasa Inggris berarti susunan, cara jaringan, tatanan atau cara. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sistem memiliki tiga arti. Pertama, seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Contoh dari pengertian ini adalah sistem politik. Kedua sistem adalah sebuah susunan pandangan, teori atau asas yang teratur. Contoh dari pengertian ini adalah sistem pemerinthan seperti totaliter, demokrasi. Ketiga, sistem adalah sebuah metode. Contoh dalam pengertian ini adalah sistem penanaman padi.
Secara etimologi pemerintah berasal dari (a) kata dasar “pemerintah” berarti melakukan pekerjaan menyeluruh. (b) penambahan awalan “pe” menjadi “pemerintah” berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah. (c) penembahan akhiran “an” menjadi “pemerintahan” berarti perbuatan, cara, hal atau urusan dari badan yang memerintah tersebut.
Dalam KBBI, kata-kata tersebut memiliki beberapa pengertian, pertama kata perintah adalah perkataan yang memiliki makna menyuruh utuk melakukan sesuatu. Kedua, kata pemerintahan memiliki arti kekuasaan yang memerintah satuan wilayah, daerah atau bahkan negara. Berdasarkan dari kedua arti kata tersebut bisa ditarik kesimpulan mengenai arti sistem pemerintahan.. sistem pemerintahan adalah sebuah susunan yang teratur berupa prinsip yang melandasi beragam kegiatan. Prinsip tersebut juga melandasi hubungan kerja, seperti antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sistem Pemerintahan dalam Islam
Menurut Hasan Al-Bnna seperti yang dikutip oleh Muhammad Abdul Qadir Abu Faris pemerintahan Islam adalah pemerintah yang terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah beragama Islam, melaksanakan kewajiban-kewajiban agama Islam dan tidak melakukan maksiat secara terang-terangan. Melaksanakan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama Islam.
Sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang yaitu sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang umat Islam pernag mempraktekkan beberapa sistem pemeritahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khilafah monarki), imamah, monarki dan demokrasi.
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial sehingga kekalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Hal ini dikarenakan kekhalifahan hanya dipersatukan oleh agama. Pada dasarnya khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW. Menurut Ibnu Khaldun khilafah adalah tentang pemimpin yang mampu menegakkan syariat dalam menjaga agama dan kepentingan politik dunia di dalamnya. Kekhalifahan adalah kepemimpinn umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan memikul dakwah Islam ke seluruh dunia. Menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi semua kaum muslimin di dunia. Menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah atas semua kaum muslimin. Melalaikan berdirinya kekhalifahan merupakan maksiat (kedurhakaan) yang disiksa Allah dengan siksa yang paling pedih. Berdasarkan ijma’ sahabat, wajib hukumnya mendirikan kekhalifahan.
Setelah Rasulullah wafat, mereka bersepakat untuk mendirikan kekhalifahan bagi Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali, sesudah masing-masing dari ketiganya wafat. Para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas kewajiban mendirikan kekhalifahan, meski mereka berbeda pendapat tentang orang yang akan dipilih sebagai khalifah, tetap mereka tidak berbeda pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan. Oleh karena itu, kekhalifahan (khilafah) adalah penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama.
Menurut Mohsmmed S. Elwa Rasululloh SAW merupakan orang yang pertama kali membentuk pemerintahan Islam. Hal ini berdasarkan pada riset tentang prinsip-prinsip sistem politik Islam dan sejarahnya.
Menurut Hasan Al-Banna Islam menganggap pemerintahan sebagai salah satu dasar sistem sosial yang dibuat untuk manusia. Islam tidak menghendaki kekacauan atau anarkis dan tidak membiarkan jamaah tanpa imam/pemimpin. Orang yang menganggap Islam tidak memberi penjelasan tentang politik atau politik bukan bidang pembahasannya maka ia mengkhianati dirinya dan mengkhianati Islam.
Masa kenabian adalah masa pertama sejarah Islam. Semenjak Rasulullah mulai berdakwah sampai wafat ini dinamakan dengan masa kenabian atau masa wahyu. Di masa inilah puncak terwujudnya keagungan Islam. Masa kenabian terbagi menjadi dua periode yang dipisahkan oleh hijrah. Pada periode pertama timbullah benih masyarakat Islam dan pada periode ini ditetapkan dasar-dasar Islam yang pokok. Dalam periode yang kedua disempurnakan pembentukan masyarakat Islam, disempurnakan perundang-undangan dan tata aturan baru yaang melahirkan prinsip-prinsip baru. Pada periode pertama yaitu di Mekkah pengikut beliau relatif sedikit belum mempunyai daerah kekuasaan dan berdaulat. Merupaan golongan minoritas yang lemah dan tertindas sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelompok sosial mayoritas yaitu aristokat Quraisy. Namun setelah di Madinah, posisi Nabi dan umatnya mengalami perubahan besar yaitu mereka mempunyai kedudukan yang baik, merupakan umat yang kuat dan mandiri. Dalam perkembangan akhirnya Madinah bisa disebut sebagai negara yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh semenanjung Arabia dan Nabi merukan kepala negaranya. Dapat disimpulkan Nabi Muhammad tidak hanya mempunyai sifat kerasulan akan tetapi bisa mengemban tugas negara atau sebagai kepala negara.
Praktek pemerintahan yang dilakukan Rasulullah SAW sebagai kepala negara tampak pada pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertingg, yaitu sebagai pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada masa itu orang belum mengenal teori pembagian kekuasaan namn dalam pelaksanaannya beliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.
Dengan meluasnya daerah kekuasaan, maka diperlukan orang yang kompeten untuk membantu jalannya pemerintahan di Madinah. tugas. Nabi menunjuk beberapa sahabat sebagai pembantu beliau, yaitu katib (sekretaris), amil (pengelola zakat), dan sebagai qadhi’(hakim). Untuk membantu pemerintahan di daerah Nabi mengangkat seorang wali. seorang qadhi dan seorang ‘amil untuk setiap daerah atau propinsi. Pada masa Rasulullah Negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi, yaitu Madinah, Tayma, al-Janad, daerah Banu Kindah, Mekkah, Najran, Yaman, Hadramaut, Oman dan Bahrain. Masing-masing pejabat memiliki kewenangan sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Seorang qadhi diberi beberapa kebebasan penuh dalam memutuskan setiap perkara, karena secara struktural ia tidak berada di bawah wali. Ali bin Abi Thalib dan Muaz bin Jabal adalah dua orang qadhi yang diangkat Nabi, yang bertugas di dua propinsi berbeda. Nabi juga selalu menunjuk sahabat untuk bertugas di Madinah bila beliau bertugas keluar memimpin pasukan misalnya. Demikian pula kedudukan beliau sebagai panglima perang, beliau sering wakilkan kepada para sahabat. Seperti dalam perang Muktah (8 H), beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglimanya. Beliau juga berpesan: Kalau Ziad gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib memegang pimpinan, dan kalau Ja’far gugur, maka Abdullah bin Rawaha memegang pimpinan.
Dalam bidang sosial ekonomi adalah usaha Nabi Muhammad SAW mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat Madinah. Untuk tujuan ini beliau mengelola zakat, infaq dan sadaqah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah yaitu harta rampasan perang dan jizyah (pajak) yang berasal dari warga negara non-muslim. Jizyah oleh kalangan juris muslim disebut juga “pajak perlindungan” (protection tax).
Dalam bidang hukum adalah kedudukan beliau sebagai hakam untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat Madinah, dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian. Ketika kaum Yahudi melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali terhadap isi Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakamnya., dan sekali beliau wakilkan kepada sahabat untuk melaksanakannya. Kedudukannya sebagai hakam dan tugas ini pernah beliau wakilkan kepada sahabat, dan penunjukan Muaz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib sebagai hakim, merupakan bukti praktek pemerintahan Nabi di bidang pranata sosial hukum.
Dari sebagian contoh praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut, tampak bahwa beliau dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dalam memerintah Negara Madinah dapat dikatakan amat demokratis. Sekalipun undang-undangnya berdasarkan wahyu Allah yang beliau terima, dan Sunnah beliau termasuk Piagam Madinah. Beliau tidak bertindak otoriter sekalipun itu sangat mungkin beliau lakukan dan akan dipatuhi oleh umat Islam mengingat statusnya sebagai Rasul Allah yang wajib ditaati.
Ali Abd Al-Raziq berpendapat Dalam konteks itu beberapa ahli mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai bentuk dan corak Negara Madinah tersebut di zaman Rasulullah. Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai pemerintahan dan tidak pula membentuk kerajaan. Sebab beliauhanya seorang Rasul sebagaimana Rasul-Rasul lain, dan bukan sebagai seorang raja atau pembentuk negara. Pembentukan pemerintahan tidak termasuk dalam tugas yang diwahyukan kepada beliau. Walaupun kegiatan- kegiatan tersebut dapat disebut kegiatan pemerintahan, namun bentuk pemerintahannya sangat sederhana, dan kekuasaannya bersifat umum, mencakup soal dunia dan akhirat. Karena sebagai Rasul beliau harus mempunyai kekuasaan yang lebih luas dari kekuasaan seorang raja terhadap rakyatnya. Kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan seorang Rasul yang membawa ajaran baru, dan bukan kepemimpinan seorang raja, dan kekuasaannya hanyalah kekuasaan seorang Rasul, bukan kekuasaan seorang raja.
Khuda Baks, penulis dari Gerakan Aligarh India, menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya membawa agama baru, tetapi juga membentuk suatu pemerintahan yang bercorak teokratis. yang puncaknya berdiri seorang wakil Tuhan di muka bu
Pada umumnya, para ahli berpendapat, masyarakat yang dibentuk oleh Nabi di Madinah itu adalah negara, dan beliau sebagai kepala negaranya. Watt, seorang orientalis, menyatakan masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad di Madinah bukan hanya masyarakat agama, tetapi juga masyarakat politik sebagai pengejawantahan dari persekutuan suku-suku bangsa Arab. Instansi persekutuan itu adalah rakyat Madinah dan Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya. Sebab beliau disamping seorang Rasul juga adalah Kepala Negara Hitti juga berpendapat, terbentuknya masyarakat keagamaan di Madinah yang bukan berdasarkan ikatan darah membawa kepada terbentuknya Negara Madinah. Di atas puncak negara ini berdiri Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah wakil Tuhan di muka bumi. Beliau disamping tugas kerasulannya juga memiliki kekuasaan dunia seperti kepala negara biasa. Dari Madinah teokrasi Islam tersebar ke seluruh Arabia dan kemudian meliputi sebagian terbesar dari Asia Barat sampai Afrika Utara
Dalam Negara Madinah itu memang ada dua kedaulatan, yaitu kedaulatan Syariat Islam sebagai undang-undang negara itu, dan kedaulatan umat. Syariat Islam sebagai undang-undang di satu segi ia membatasi kekuasaan umat untuk membuat undang-undang mengenai hukum sesuatu bila penjelasan hukumnya sudah jelas dalam nash syariat. Tapi di segi lain ia memberi hak kebebasan kepada umat untuk menetapkan hukum suatu hal yang belum jelas hukumnya, memerintahkan kepada umat agar bermusyawarah setiap urusan mereka, yaitu urusan yang belum jelas hukumnya dalam nash syariat. Ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad sebagai salah satu aktivitasnya yang menonjol di bidang pranata sosial politik dalam memimpin negara Madinah. Jadi negara Madinah itu adalah negara yang berdasarkan Syariat Islam, tapi ia memberi hak bermusyawarah dan berijtihad kepada umat. Dengan demikian corak Negara Madinah adalah negara berasaskan syariat Islam, dan bersifat demokratis.
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa praktek pemerintahan yang dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara tampak pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.
Setelah wafatnya Nabi SAW maka pemerintahan selanjutnya berbentuk khilafah. Khalifah pertama dipegang oleh sahabat Nabi yaitu Abu Bakar menjadi khalifah cukup singkat yaitu 2 tahun (11-13 H), tapi pengangkatannya merupakan awal terbentuknya pemerintahan negara Madinah model Khilafah dalam sejarah Islam. Pemerintahan model Khilafah ini tampaknya belum berbeda jauh dengan sistem pemerintahan pada masa Nabi. Sepeninggal Abu Bakar, jabatan khalifah diamanatkan kepada ‘Umar bin Khaththab yang bergelar Khalifatu-khalifatu Rasulullah. namun Umar sering dipanggil Amir al-Mu’min. Umar tidak diangkat berdasarkan musyawarah, melainkan penunjukan Abu Bakar yang didahului konsultasi dengan sahabat lain. Abu Bakar mengambil inisiatif ini karena khawatir akan terulang peristiwa Bard Saqifah.Oleh karena itu sikap Abu Bakar ini dianggap para Yuris Sunni sebagai ijtihad Abu Bakar pribadi.
Di zaman pemerintahan ‘Umar terjadi perluasan daerah yang begitu cepat sehingga administrasi pemerintahan mengalami perkembangan. Sistem pembayaran gaji dan pajak mulai diatur dan ditertibkan, pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif jawatan kepolisian dibentuk. Pembentukan Majelis Permusyawaratan yang anggota-anggotanya terdiri dari suku Aus dan Kazraj yang berfungsi sebagai lembaga legislatif. Dengan demikian ‘Umar jauh sebelum lahimya teori “Trias Politica” telah mengatur administrasi pemerintahannya melalui pembagian atau pemisahan kekuasaan yaitu eksekutif yang ia pimpin, sedangkan yudikatif dilimpahkan kepada hakim dan kekuasaan legislatif ada pada Majelis Permusyawaratan.
Tugas dan Tujuan Pemerintahan
Menurut Hasan Al-Banna seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, kewajiban atau tugas pemerintah Islam adalah: 1). menjaga keamanan dan melaksanakan undang-undang, 2). menyelenggarakan pendidikan 3). mempersiapkan kekuatan, 4). memelihara kesehatan, 5). memelihara kepentingan umum, 6), mengembangkan kekayaan dan memelihara harta benda, 7). mengokohkan akhlak, 8), menyebarkan dakwah.
Adapun tujuan pendirian negara dan pemerintahan tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh umat Islam, yaitu memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Menurut Imam al-Mawardi tugas-tugas yang harus diemban oleh kepala negara (sebagai kepala pemerintahan) ada 10 hal sebagai berikut: 1). Menjaga agama agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan (tetap) dan sesuai pemahaman yang disepakati oleh generasi salaf (terdahulu) umat Islam, 2). Menjalankan hukum bagi pihak-pihak yang bertikai dan memutuskan permusuhan antar pihak yang berselisih, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua orang, 3). Menjaga keamanan masyarakat sehingga manusia dapat hidup tenang dan bepergian dengan aman tanpa takut mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya, 4). Menjalankan hukum had sehingga larangan-larangan Allah tidak ada yang melanggarnya dan menjaga hak-hak hamba-Nya agar tidak hilang binasa, 5). Menjaga perbatasan negara dengan perangkat yang memadai dan kekuatan yang dapat mempertahankan negara sehingga musuh-musuh negara tidak dapat menyerang negara Islam dan tidak menembus pertahanannya serta tidak dapat mencelakakan kaum muslimin atau kalangan kafir mu’ahad (yang diikat janjinya), 6). Berjihad melawan pihak yang menentang Islam setelah disampaikan dakwah kepadanya hingga ia masuk Islam atau masuk dalam jaminan Islam atau dzimmah, 7). Menarik fai-i (hasil rampasan) dan memungut zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam secara jelas dalam nash dan ijtihad, 8). Mengatur penggunaan harta baitul-maal secara efektif, tanpa berlebihan atau kekurangan, dan memberikannya pada waktunya, tidak lebih dahulu dari waktunya dan tidak pula menundanya hingga lewat dari waktunya, 9). Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang kompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang, 10). Melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara.(****)
Penulis adalah Mahasiswi Magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Pasca Sarjana Universitas Panca Sakti Bekasi, Jawa Barat.