Anindwitya Rizqi Monica (kiri) saat mengisi seminar di UNY.

KSI MIST UNY Gelar Dialogue Series, Harapkan Para Mahasiswa Paham soal SDGs

Kampus

YOGYAKARTA – Gender berbicara tentang hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan masyarakat serta bisa diubah. Kesetaraan gender mengacu pada hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki.

Implikasinya adalah minat, kebutuhan, dan prioritas antara laki-laki dan perempuan menjadi bahan pertimbangan dalam mengenal keragaman perbedaan antara pria dan wanita.

Baca juga :  Dikemas dalam KAMAJAYA Business Club, Para Alumni Kembali ke Kampus untuk ‘MUDIK’ 

Women in Tourism Indonesia (WTID) bercita-cita mempromosikan kesetaraan gender yang selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) dan menginspirasi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perempuan berpartisipasi dalam sektor pariwisata Indonesia.

Hal tersebut dipaparkan Co-Founder WITD Anindwitya Rizqi Monica dalam SDGs Dialogue Series di Gedung Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Menurut Monica, ada tiga isu besar soal gender dan pariwisata. Yakni, proses pariwisata dan masyarakat yang diatur oleh hubungan gender, hubungan gender dari waktu ke waktu menginformasikan tentang ekonomi, politik, sosial, budaya, dimensi lingkungan dari semua masyarakat yang terlibat di dalamnya, serta masalah kekuasaan, kontrol, kesetaraan diartikulasikan melalui hubungan ras, kelas, dan gender dalam praktik pariwisata.

“Masalah bagi perempuan yang bekerja dalam sektor pariwisata di antaranya upah dan jaminan pekerjaan, beban kerja ganda, akses pada pendidikan dan peningkatan ketrampilan serta pekerja yang tidak dibayar,” papar Monica, akhir pekan lalu (20/5/2023).

Ditambahkan, hanya 0,3% universitas dan institusi pariwisata yang mencantumkan ‘gender dan pariwisata’ sebagai mata pelajaran mereka. Selain itu, minimnya perempuan dalam peluang jejaring usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pariwisata, serta tidak ada akses/platform yang menyediakan pelatihan bagi perempuan di pariwisata (UMKM).

Monica menegaskan, untuk meningkatkan peran dalam pariwisata, perempuan diingatkan mengikuti kursus agar belajar keterampilan bisnis dasar. Seperti pembukuan, pemasaran, dan berbicara bahasa Inggris. Juga mendorong partisipasi dari siswa perempuan dan lulusan studi kualifikasi pariwisata.

Selain itu, ada pelatihan dan pengembangan ceruk pasar, memperluas dan mendiversifikasi akses pasar perempuan, serta perdagangan yang adil untuk produk pariwisata mereka, layanan melalui teknologi digital dan memfasilitasi suara perempuan di masyarakat dan pengambilan keputusan rumah tangga.

Kegiatan tersebut bagian dari MIPA Road To Scientific Paper (MARS) #10, sebagai gelaran dari Unit Kegiatan Mahasiswa Kelompok Studi Ilmiah MIPA Saintis (KSI MIST).

Ketua Panitia MARS Sir Hutammi Limandari mengatakan, kegiatan bertema ‘Realizing an Agent of Change in The Improvement of Scientific and Technology Innovation to Resolve The Global SDGs Issues’ tersebut merupakan forum inisiatif bagi belajar soal SDG’s melalui pengalaman dialog antara pembicara yang ahli dalam bidangnya untuk membahas tentang topik dan peristiwa paling signifikan saat ini.

“Mahasiswa mempunyai peran besar dalam mewujudkan SDGs, yaitu melalui perannya sebagai agent of changes. Ke depannya, mahasiswa diharapkan bisa membawa perubahan dunia ke arah yang lebih baik,” tegas Hutammi.

SDGs merupakan agenda pembangunan dunia yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia dan planet bumi. Tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan istilah Sustainable Development Goals (SDGs) yang di tingkat global memiliki 17 tujuan, 169 sasaran, serta 241 indikator. SDGs mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, serta hukum dan tata kelola yang diharapkan tercapai pada 2030.

Pembicara lain pada SDGs Dialogue Series tersebut adalah Co-Founder PT. RWE Bhinda Muhammad Hafidullah yang menyampaikan soal sosiopreneur merupakan gabungan dari lembaga sosial dan entrepreneur. Lembaga sosial bermotif menolong sedangkan entrepreneur berorientasi bisnis. “Gabungan keduanya merupakan orientasi sosial berbasis bisnis,” tegas Hafidullah.

Warga Deresan Caturtunggal Depok Sleman ini mengungkapkan, sosiopreneur pernah diterapkan dengan agenda mengunjungi kawasan kumuh di Jakarta. Mayoritas konsumen tour adalah para bule yang penasaran dan ingin membuktikan ketimpangan sosial di Jakarta. Mereka juga diizinka berinteraksi dengan warga setempat. Social impact-nya, separuh dari tour fee didonasikan bagi warga pemukiman kumuh yang dikunjungi. Jadi, para peserta tour terpuaskan rasa keingin-tahuannya tentang bagaimana sebenarnya kondisi lingkungan kumuh di Jakarta. Di sisi lain, warga di lingkungan kumuh mendapatkan manfaat ekonomis dari bagi hasil dari tour. Padahal, biaya tour relatif tidak bisa dikatakan murah, sebesar US Dollar 50. Hal ini merupakan problem sosial yang diberikan solusi, sehingga bisa memberdayakan masyarakat. Di sinilah, waktunya mahasiswa mengambil bagian dalam kegiatan ber-SDGs.(Arumi)

gender kesetaraan gender pariwisata pascasarjana SDGs SDGs Dialogue Series Sustainable Development Goals Universitas Negeri Yogyakarta UNY Women in Tourism Indonesia WTID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts