FoMo Dorong Hoax, Solusinya Literasi Digital ke Masyarakat Luas
Indosat Ooredoo Hutchison Hadirkan Festival Literasi Digital 2023 dan Program IDCamp
YOGYAKARTA – Beberapa waktu lalu, masyarakat Yogyakarta pernah mendapatkan pemberitaan yang masif di media sosial (medsos). Berita yang tersebar melalui akun media sosial di kanal YouTube CCTVBencana12, dengan durasi 3 menit 49 detik. Video tersebut juga dilengkapi dengan narasi ‘Live; MENCEKAM YOGYAKARTA HARI INI LUDES DI TERJANG GELOMBANG TINGGI.’ Di dalamnya, terdapat gambar sampul atau thumbnail dalam unggahan video tersebut memperlihatkan bangunan berwarna putih yang dihantam oleh gelombang besar, dan sempat marak pada bulan Agustus 2023.
Tentu saja hal tersebut dibantah keras oleh Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) DIY soal unggahan di media sosial yang menyebut Kota Yogyakarta ludes dihantam gelombang tinggi. Kominfo DIY menuliskan thumbnail dalam video tersebut merupakan gambar hasil editan. “Thumbnail dalam unggahan video merupakan hasil gambar yang telah dimanipulasi,” tulis Kominfo DIY melalui media sosial resminya.
Tidak hanya itu saja, hoax lain juga muncul, sebelumnya, pada bulan Mei 2023, media sosial dihebohkan dengan kabar Ida Dayak akan membuka praktik pengobatannya di Alun-alun Selatan, Kota Yogyakarta mulai 15 sampai 22 Mei 2023. Kabar tersebut pun langsung dibantah pihak kepolisian dan memastikan jika informasi itu tidak benar alias hoax.
Dari kabar yang tersebar di media sosial tersebut, Ida Dayak dijadwalkan membuka praktik mulai pukul 09.00 hingga 15.00 WIB. Melalui unggahan di media sosial resmi Polda DIY, Kapolsek Kraton, Kota Yogyakarta saat itu, Kompol Theresia Dwi Andriyanti memastikan kabar tersebut hoax. Ia juga meminta warga yang sudah hadir dan berkumpul untuk kembali ke rumah.
“Saya umumkan Bapak-Ibu, jadi berita yang beredar di media sosial, dari 15 sampai dengan 22 (Mei) terkait pengobatan ibu Ida Dayak, Kami pastikan berita itu adalah berita bohong,” ujar Theresia melalui unggahan video di media sosial Polda DIY.
Pesan kesehatan juga sering beredar luas di masyarakat Indonesia dan ternyata adalah hoax. Beberapa di antaranya, meski sudah terbilang sering, masih juga muncul di beranda medsos kita. Seperti makan mi instan dan cokelat bersamaan bikin keracunan, minum air dingin usai makan picu kanker, larva di payudara akibat pakai bra baru tanpa dicuci, virus HIV dimasukkan ke pembalut, teh kemasan beracun, hingga sesuap lele mengandung 3.000 sel kanker. Tentu saja lainnya masih banyak.
Sebagian dari berita hoax tersebut sudah dibantah oleh pihak yang berkompeten. Misal, soal mi instan yang konon mengandung arsenic pentoxide dan reaksi kimia dari cokelat menyebabkan berubah jadi arsenik trioxide, sudah dibantah oleh pihak Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Demikian juga pemberitaan mengenai sesuap daging ikan lele, terkandung 3.000 sel kanker. Fakta ikan lele rendah kolesterol. Ikan lele yang beredar di pasaran umumnya dibudidayakan di kolam-kolam, yang mestinya bisa dikendalikan agar bebas dari pencemaran.
“Belum ada penelitian yang menyatakan jika memakan lele dapat memicu kanker,” tegas dr Dradjat R Suardi, SpB(K) Onk, ahli kanker dari Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI).
Memang, jumlah hoax yang beredar di media sosial sangatlah banyak, baik mengenai kejadian lokal, nasional, hingga kejadian internasional. Temanya juga beragam, mulai dari kesehatan, isu artis, bencana, kejadian, pengobatan, hingga politik. Bahkan, menjelang pesta demokrasi lima tahunan, pilihan presiden(pilpres) dan pilihan legislative (pileg), dipastikan peredaran berita hoax semakin banyak yang beredar di media sosial, baik Twitter (X), Instagram (IG), TikTok, Facebook (FB), youtube, dan whatsapp (WA).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut hoax adalah berita bohong. Dalam Oxford English dictionary, hoax didefinisikan sebagai malicious deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Berita palsu atau hoax saat ini menjadi fenomena, memunculkan kekhawatiran di setiap kalangan. Efek yang terjadi akibat dari berita hoax adalah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pernah melakukan survei mengenai wabah hoax nasional. Survei ini bertujuan mendapatkan gambaran tentang persepsi masyarakat terhadap hoax, penyebarannya, klasifikasi, dan dampaknya kepada kehidupan berbangsa secara nasional.
Responden yang mengikuti survei ini terdiri dari beragam latar belakang, dengan variasi usia antara 15 hingga 40 tahun. Mereka berprofesi sebagai, pelajar/ mahasiswa, professional/karyawan, wiraswasta, dan tidak bekerja.
Hasilnya, 84,50% masyarakat merasa terganggu dengan berita hoax, 75,90% berita hoax menganggu kerukunan bermasyarakat, 70,90% menyatakan berita hoax dapat menghambat pembangunan di Indonesia, 54,10% berita hoax didapat dari sumber berita yang tidak jelas, 54% masyarakat ragu – ragu apakah berita tersebut benar atau palsu, 91.80 % menyatakan berita hoax mengenai sosial politik (pilkada, pemerintahan), 44,30% masyarakat menerima berita hoax setiap hari.
Menurut Dr Dwi Retno Hapsari, SP, MSi., dosen dari Divisi Komunikasi dan Penyuluhan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Institut Pertanian Bogor (IPB University), hoax merupakan salah satu bentuk dari hyperreality (kenyataan yang berlebihan). Selain itu, salah satu yang mendorong berkembangnya hoax adalah FoMo (Fear of Missing Out), kekhawatiran yang berlebihan ketinggalan informasi atau tergesa-gesa dalam menyebarkan informasi.
Senada dengan itu, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi (UP) 45 Yogyakarta Amin Al Adib, S.Psi., M.Psi. mengatakan, FoMo singkatan dari Fear of Missing Out, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai “Rasa Takut Ketinggalan.” Ini merupakan sebuah ketakutan ketika individu tidak bisa mengetahui pengalaman atau kegiatan berharga orang lain serta keinginan untuk selalu terhubung dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Istilah ini banyak dikaitkan dalam konteks media sosial (medsos).
Pakar Psikologi Sosial dari UP 45 Yogyakarta ini melanjutkan, beberapa hal yang berkaitan antara FoMo dan hoaks. Pertama, FoMo mendorong orang untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan peristiwa yang sedang tren. Karena itu, mereka mungkin lebih cenderung untuk menyebarkan informasi dengan cepat tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu. Terutama jika informasi tersebut terkait dengan topik yang sedang populer.
Kedua, FoMo sering kali mendorong orang untuk mencari konten yang sedang tren atau viral. Berita bohong atau hoaks sering kali dibuat sedemikian rupa, sehingga mereka bisa menarik perhatian dan menjadi viral di media sosial. Orang-orang yang merasa FoMo cenderung lebih rentan menyebarkan berita palsu tersebut, karena ingin tetap terhubung dengan tren dan informasi terbaru.
Sedangkan ketiga, orang yang merasa tertinggal atau kurang informasi bisa menjadi lebih rentan untuk menyebarkan berita palsu demi merasa lebih “in the know.”
“Fenomena Hoax yang tersebar di masyarakat terjadi karena hoaks sengaja diproduksi. beberapa pihak dengan sengaja membuat berita palsu untuk mencapai tujuan tertentu, seperti pengaruh politik, keuntungan finansial, atau hanya untuk tujuan sensasi,” ungkap pria lulusan Pascasarjana Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini.
Hal sama diungkapkan Pengamat Teknologi Informasi (TI) dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta Dr Awang Hendrianto Pratomo ST MT. Menurut Awang, penyebab FoMo atau Fear of Missing Out adalah penggunaan media sosial yang berlebihan.
Orang yang FoMo bisa dikatakan sebagai orang yang ingin dianggap sebagai pusat informasi atau orang yang paling awal mendapatkan suatu informasi didalam komunitasnya. Sehingga seorang tersebut memiliki keinginan untuk menyebarkan segala informasi yang di peroleh ya sesegera mungkin agar dianggap merupakan orang yang paling cepat atau yang pertama memberikan informasi tersebut.
Ditambahkan Awang, semua itu berkaitan dengan adanya teknologi yang canggih saat ini menjadikan seseorang dapat dengan mudah menerima jutaan informasi. Informasi dapat diperoleh melalui Instagram (IG) atau aplikasi yang memiliki banyak penggemar dan pengguna di seluruh dunia.
“Perasaan akan tertinggal akan informasi ini mengakibatkan sesorang akan mudah menyebarkan informasi yang baru diterimanya. Tanpa adanya filter dari informasi yang diterima untuk disebarkan kepada orang lain, dapat mengakibatkan munculnya Hoax. Hoax akan mudah menyebar dengan cepat apabila kita sebagai penerima tidak melakukan filterisasi dari berita yang diterima,” tegas pengamat TI lulusan Sistem Komputer dan Teknologi Informasi Universiti Kebangsaan Malaysia tersebut.
Ditambahkan Adib, dalam Teori Interaksi Sosial, persepsi sosial menjadi unsur kunci yang tak terhindarkan. Proses persepsi dipengaruhi oleh distorsi. Yakni, kecenderungan individu untuk melihat hal-hal yang sejalan dengan preferensi atau keinginan pribadi mereka. Jika ada rangsangan atau informasi yang tidak sesuai dengan preferensi mereka, individu cenderung mengubahnya dengan cara yang sesuai dengan pandangan mereka.
“Akibatnya, informasi yang disampaikan bisa menjadi tidak lengkap, karena bagian-bagian yang sebenarnya penting dapat diabaikan atau sebaliknya, informasi yang dianggap kurang menarik dapat diubah agar tampak lebih menarik untuk disebarkan. Proses ini terjadi ketika informasi dipindahkan dari satu individu ke individu lainnya, dan seterusnya,” paparnya.
Dalam proses ini, lanjut Adib, individu dapat secara sadar atau tidak sadar memodifikasi informasi yang mereka terima atau bagikan untuk membuatnya lebih sesuai dengan pandangan atau preferensi mereka. Distorsi persepsi ini bisa memengaruhi cara informasi dipahami, disampaikan, dan akhirnya memengaruhi interaksi sosial dan komunikasi antarindividu.
Literasi Digital Menjadi Tanggung Jawab Perusahaan
Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), sebagai perusahaan telekomunikasi juga memiliki kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial yaitu Corporate Social Responsibility (CSR). Tahun ini, tepatnya pada Agustus 2023 lalu, Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat) menggelar ‘Festival Literasi Digital 2023: Saatnya Nusra Makin Digital’ untuk menjangkau masyarakat di Indonesia Timur. Melalui kegiatan tersebut, Indosat memberikan edukasi pada masyarakat dan generasi muda di Kupang dalam memanfaatkan teknologi digital.

Acara dipusatkan di Politeknik Negeri Kupang (PNK) dan Universitas Nusa Cendana Undana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Perwakilan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT, deretan tokoh inspiratif, serta influencer ternama berbagi pengalaman digital pada para mahasiswa, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan masyarakat Kupang.
“Peningkatan layanan Indosat di Nusa Tenggara bertujuan mendukung pemerataan akses digital sekaligus memberdayakan masyarakat di wilayah timur Indonesia. Kami yakin pemanfaatan teknologi digital membuka peluang tanpa batas, memaksimalkan potensi yang ada, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,” tegas Director and Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) Muhammad Danny Buldansyah.
Danny memaparkan, rangkaian festival tersebut berisi kelas-kelas bagi ribuan peserta dari kalangan mahasiswa dan pelaku UMKM serta masyarakat umum. Kelas-kelas yang dihadirkan membahas tema untuk meningkatkan kemampuan digital bagi para pelaku UMKM dan pelaku usaha kreatif di media sosial, menumbuhkan semangat dan inspirasi dengan insight dari para narasumber, hingga pengalaman baru yang menarik tentang industri digital era kini.
“Kami membawa semangat gotong-royong untuk mencapai tujuan Indosat yang lebih besar. Peran serta semua pihak akan memudahkan proses yang dijalani dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan Indonesia,” tegasnya.
Ia menerangkan, layanan Indosat di Kota Kupang diawali dengan Konser Musik Collabonation Tour Kupang oleh IM3. Selanjutnya, brand Tri juga menggelar kegiatan lainnya. “Kegemaran membaca masyarakat Provinsi NTT terus meningkat dengan indeks 63,9 pada 2022. Dengan adanya dampak positif digitalisasi, kami mendorong semua pihak, termasuk masyarakat umum menggunakan teknologi secara cerdas dan kreatif dalam menghadapi persaingan global,” tambahnya.
Sebagai informasi, Indosat mendorong inklusi digital ke Indonesia Timur untuk memberdayakan dan memaksimalkan potensi di daerah tersebut. Kini jaringan Indosat sudah menjangkau lebih dari 80% populasi di seluruh Nusa Tenggara.
Bahkan, jaringan Indosat di Kota Kupang sudah menjangkau 100% populasi untuk kemudahan akses informasi dan membuka peluang tanpa batas. Capaian ini diraih Indosat dengan penambahan pemancar jaringan (sites) dan kapasitas internet yang meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Selain itu, Indosat juga meluncurkan dua kelas baru IDCamp 2023 dengan program bagi para alumninya. Kedua kelas tersebut hadir untuk menjawab tingginya kebutuhan talenta digital Indonesia dengan keahlian data science dan cybersecurity.
Sejauh ini, Indonesia baru mampu menghasilkan 100 ribu -200 ribu talenta digital per tahun. Angka ini masih sedikit jika mengacu pada data tentang pemenuhan kebutuhan 9 juta talenta digital pada 2030 dengan rata-rata kebutuhan 600 ribu talenta per tahunnya.
President Director and CEO Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) Vikram Sinha mengatakan, Indosat terus berkomitmen memenuhi kebutuhan talenta digital Indonesia lewat program IDCamp. Tahun 2023 ini, kelas baru yang sesuai kebutuhan dan tren ditambahkan, termasuk program alumni dalam memberikan manfaat lebih kepada 180 ribu peserta IDCamp sebelumnya.
“Kami yakin IDCamp mampu mendorong lahirnya generasi muda digital berbakat yang mampu bersaing secara global dan mengatasi berbagai tantangan serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital Indonesia,” tegas Vikram pada September 2023 lalu.
Program IDCamp ini merupakan bagian dari kegiatan CSR Indosat pada pilar Pendidikan Digital. Melalui program ini, Indosat bertujuan menghasilkan ribuan talenta digital yang tersertifikasi dari IDCamp serta bisa membuka peluang kerja bagi mereka pada masa depan.
“Langkah ini merupakan dukungan untuk pemerintah dalam merealisasikan inklusivitas di bidang pendidikan digital bagimasyarakat Indonesia,” imbuhnya.
Tahun ini, IDCamp 2023 memiliki delapan alur pembelajaran. Mulai dari Developer untuk Android, Front-End Web, Machine Learning, Back-End, Multiplatform App, React, DevOps Engineer, hingga Data Scientist. Program ini membutuhkan waktu penyelesaian studi sekitar 3-4 bulan lamanya. Seluruh alur pembelajaran akan dimulai dari tingkat dasar (basic) dan pemula (beginner), menengah (intermediate), hingga profesional (expert). Selain itu, IDCamp juga menyediakan kelas Cybersecurity yang dibuka pada November 2023.
Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf) RI Muhammad Neil El Himam mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya Indosat lewat IDCamp dalam memenuhi kebutuhan talenta digital Indonesia untuk menjadi bekal dalam meningkatkan kapasitas talenta mereka di era digital.
“Berdasarkan hasil riset, Indonesia tercatat memiliki nilai ekonomi digital sebesar Rp 1.408 triliun pada 2022. Nilai ini diperkirakan melonjak menjadi Rp 3.216 triliun pada 2027. Kondisi ini menjadi peluang yang baik bagi para developer muda yang produktif sekaligus mampu menciptakan solusi kreatif yang dibutuhkan oleh masyarakat,” imbuh Himam.
Atasi FoMo, Lakukan Literasi Digital Sebagai Solusi Cegah Hoax
Ancaman hukuman terhadap pelaku penyebar informasi palsu atau hoax di dunia maya sangat jelas. Penebar hoax akan dikenakan KUHP, Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.

Sesuai dengan pasal yang disebutkan di atas, pemerintah mengambil langkah tegas untuk menghukum siapapun yang menyiarkan berita kebohongan (hoax). Program-program yang dijalankan pemerintah dalam meminimalisir berita hoax sudah banyak yang bisa diterapkan. Juga, program nonpemerintah yang dilakukan oleh individu atau organisasi pun mudah ditemukan.
Sebelum menindak pelaku penyebar hoax, dari tinjauan psikologi, lagi-lagi Adib menyarankan untuk mengatasi FoMo terlebih dahulu, sebagai akar permasalahan bagi individu agar tidak terjebak penyebaran hoax. Individu harus memiliki kesadran diri, bahwa mereka pada dasarnya memiliki kecenderungan FoMo. Selanjutnya, dia harus fokus pada prioritas dengan memiliki tujuan yang jelas. Harapannya, dia akan lebih mudah menolak godaan untuk ikut dalam segala hal yang muncul.
“Langkah berikutnya adalah membatasi waktu di media sosial. Seseorang perlu mengatur batasan berada di platform media sosial, sehingga menghindari terlalu sering memeriksa ponselnya. Dia juga harus ingat, kehidupan orang lain di media sosial mungkin tidak selalu mencerminkan kenyataan. Jadi, jangan merasa perlu bersaing atau mengejar citra yang disajikan orang lain. Bagaimanapun, setiap individu memiliki cerita hidup masing-masing. Cobalah untuk hidup lebih di saat ini, daripada terlalu khawatir,” saran Adib.
Nah, Awang yang juga Associate Professor di Departemern Informatika, Fakultas Teknik Industri (FTI) UPN “Veteran: Yogyakarta ini mengingatkan, cara yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran Hoax adalah dengan cara saring sebelum sharing.
“Saat ketika kita menerima sebuah berita baru hendaknya kita melakukan pengecekkan berita itu benar atau salah. Jika salah, berita tersebut adalah Hoax. Jika berita itu benar, kita perlu memerika apakah berita itu bermanfaat atau tidak? Jika tidak, berita tersebut adalah sampah. Jika berita tersebut ada manfaatnya, kita perlu memeriksa, apakah berita tersebut penting. Jika berita tersebut tidak penting, kita cukup simpan dalam pikiran kita dan tidak perlu kita sebarkan. Jika berita tersebut penting, perlu kita lihat apakah berita tersebut mendesak atau tidak? Jika berita atau informasi tersebut mendesak, barulah kita sebarkan informasi tersebut,” jelas Awang.
Tentu saja, Langkah yang disarankan Adib dan Awang merupakan upaya meminimalkan FoMo tersebut bersifat individu dan dari diri sendiri. Setelah itu, cara yang tepat bagi masyarakat dalam menyaring informasi hoax di media sosial adalah menjalankan literasi media dan literasi digital.
James Potter dalam buku terbitan Sage berjudul Media Literacy (2008) menyatakan, literasi media merupakan seperangkat perspektif yang kita gunakan secara aktif saat mengakses media massa untuk menginterpretasikan pesan yang kita hadapi. Literasi media berhubungan dengan bagaimana khalayak bisa mengambil kontrol atas media. Literasi media merupakan skill untuk menilai makna dalam setiap jenis pesan, mengorganisasikan makna itu sehingga berguna, dan kemudian membangun pesan untuk disampaikan kepada orang lain.
Indosat sebagai perusahaan telekomunikasi juga terus melakukan literasi media (mendidik masyarakat agar mampu menggunakan media secara cerdas dan kritis) dan literasi digital (mengajak masyarakat memiliki kemampuan memahami serta menggunakan informasi dari berbagai format).
Salah satu yang disarankan Awang agar masyarakat yang memiliki kemampuan literasi digital adalah selalu melakukan pengecekkan kebenaran dari berita tersebut. Ia menyarankan memanfaatkan situs www.turnbackhoax.id atau www.cekfakta.com atau www.stophoax.id.
Selain itu, kita perlu mencek sumber website kredibel atau tidak. Perusahaan atau domain yang berasal dari negara indonesia pasti menggunakan domain .id sebagai identitas resmi domain dari indonesia. Domain yang sering digunakan penipu atau penyebar hoax, biasanya tidak menggunakan domain resmi. Misal, penipuan dari perusahaan telekomunikasi menggunakan inisial dari perusahaan telekomunikasi dengan domain asing. Misal, info.(perusahaantelekomunikas).xyz. Jika domain resmi perusahaan telekomunikasi tersebut, pasti domain yang digunakan adalah (Perusahaantelekomunikasi).co.id.
Lalu, Awang menambahkan, untuk mengidentifikasi hoax, biasanya informasi yang diberikan sifatnya adalah profokatif atau ada ajakan kepada penggunanya menyebarkan berita tersebut.
“Kita bisa juga bisa menggunakan google untuk mengecek kebenaran berita tersebut. Jika berita berupa gambar, kita bisa juga mengecek kebenaran gambar menggunakan google. Untuk melaporkan berita Hoax bisa dilakukan melalui laman aduankonten.id atau kirim melalui WhatsUpp (WA) di +628119224545,” imbuhnya.
Senada dengan Awang, Al Adib melihat akademisi atau pihak kampus bisa ikut berperan aktif dalam mengedukasi literasi digital. Menurutnya, akademisi bisa berperan dalam mendidik masyarakat tentang literasi informasi/ media dan kemampuan kritis dalam mengenali hoaks. “Universitas bisa memasukan literasi informasi/ media ke dalam kurikulum. Akademisi juga perlu mengkomunikasikan penelitian dan pengetahuan mereka secara jelas dan akurat kepada masyarakat,” sarannya.
Tidak hanya itu, akademisi bisa bekerja sama dengan media dan pemerintah dalam mengatasi penyebaran hoaks. Yang pasti, lanjut Adib, akademisi harus berkomitmen pada integritas ilmiah dan menghindari memanipulasi data atau temuan penelitian.
Sejauh ini, Indosat sudah on the track dalam upaya melakukan edukasi literasi digital. Apalagi, sebagai perusahaan telekomunikasi, tentu sangat berkepentingan dan memiliki keterkaitan dengan masyarakat yang memiliki tingkat literasi digital yang tinggi. Selain itu, Indosat juga harus banyak menggandeng stakeholder yang ada, pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat luas agar program-programnya berjalan lancar. Tidak ketinggalan, semua komunitas yang ada bisa dilibatkan agar lebih cepat lagi dalam mencapai target literasi digital.
Saat ini, ada lebih dari 120 organisasi yang terlibat dalam Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD). Indosat ‘wajib hukumnya’ hadir terdepan dalam gerakan tersebut, bersama pemerintah dan stakeholder terkait. Harapannya, tingkat literasi digital di Indonesia bisa menyusul negara-negara tetangga di ASEAN, mengingat tingkat literasinya hanya sebesar 62%. Padahal, di negara tetangga, rata-rata mencapai 70%.
Penelitian dari INDEF menyebut, masyarakat Indonesia tingkat literasi digital-nya baru 62%. Negara di Korea sudah 97% dan rata-rata di ASEAN sudah mencapai 70%. Pemerintah berusaha melakukan percepatan untuk mengejar tingkat literasi digital di Indonesia, baik bagi mereka yang masih sekolah maupun yang sudah dewasa. Semua dilakukan guna mendorong masyarakat terhindar dari segala jenis bentuk penipuan berbau teknologi dan bisa lebih siap menghadapi era yang serba digital ke depan.
Sebelumnya, Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menyebut posisi masyarakat Indonesia dalam literasi digital berada di rata-rata angka 3,54 dari indeks 1-5. Angka posisi itu meliputi digital skill, digital safety, digital culture, dan digital etic. Dari empat pilar literasi digital tersebut, digital safety menjadi yang terendah. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang mudah menjadi korban kejahatan digital. Dalam meningkatkan literasi digital tersebut, Samuel mengungkapkan dibutuhkan kerja sama dari semua pihak. Mulai dari pemerintah, sektor industri, hingga masyarakat sebagai pengguna. Di sinilah Indosat memiliki peran sentralnya. (Heroe)