Berbagi Pengalaman dalam Keberagaman, Kerja Sama UNY dengan Universitas Münster Jerman
YOGYAKARTA – Universitas Münster Jerman menggandeng Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam agenda Teaching Diversity – Diversity in Teaching (TDDT) di Digital Library, Kampus UNY.
TDDT merupakan nama proyek didaktik Jerman-Indonesia yang didukung Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD) sejak tahun 2021 sebagai bagian dari jalur pendanaan ‘Dialog Universitas dengan Dunia Islam.’
Pelamar proyek ini adalah Juliane Stude dan Kordula Schulze dari Institut Studi Jerman di WWU Münster dan Dr. Widyastuti Purbani, Wakil Direktur Pascasarjana UNY di Indonesia.
Selain 18 mahasiswa dari Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dan mahasiswa S2 dari University of Münster, penyelenggara proyek didaktik TDDT juga mengundang dua mahasiswa S1 dari Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Mereka adalah Chayyu Zalena Hawie dan Felisius Octavianus Bowe, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman FBS UNY, ikut serta dalam program selama dua minggu.
Dosen Pendidikan Bahasa Jerman FBS UNY Prof. Sulis Triyono mengatakan, tujuan kegiatan tersebut adalah memperoleh keterampilan bahasa profesional mengenai dimensi heterogenitas dalam pertukaran binasional dan untuk mempromosikan pemahaman bersama tentang aspek dan masalah heterogenitas dalam proses pengajaran.
“Konsep untuk mengatasi keragaman di kelas dikembangkan dalam kelompok kecil di lima sekolah di Yogyakarta, yang diimplementasikan dengan kelompok-kelompok belajar setelah intensive summer camp dan direfleksikan dengan cara berorientasi pada kriteria yang ada,” kata Sulis, Selasa (8/11/2022).
Temuan yang ada, lanjut Sulis, bahwa pengajaran yang peka terhadap keragaman tidak terbatas pada keragaman budaya, bahasa, agama, dan jenis kelamin peserta didik, tetapi juga mencakup faktor penentu lainnya. Seperti gaya belajar dan minat belajar.
Selain itu, dengan integrasi bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif, ada efek positif lain yang diinginkan dalam kelompok pembelajaran yang beragam dan multikultural.
Koordinator Proyek Universitas Münster Jerman Kordula Schulze mengaku senang dengan ketertarikan tersebut, sehingga dirinya mendukung para mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jerman dalam mempresentasikan kegiatan perkemahan dan memprakarsai pertukaran dengan mahasiswa dan dosen bahasa Jerman di Yogyakarta.
Kordula Schulze memberikan wawasan pada para peserta tentang struktur proyek serta pekerjaan konkret para siswa di kamp di Kulon Progo. Terlihat jelas bagaimana suasana alami Desa Segajih, sebuah pusat pendidikan dan tempat tinggal di tengah-tengah hutan hujan tropis, secara konstitutif mendorong pembelajaran para siswa. Ia juga memberikan sedikit wawasan tentang tempat pembelajaran ekstrakurikuler dan kegiatan budaya dan juga mempresentasikan workshop yang dibuat dan dipimpin oleh siswa dari lima sekolah terpilih di Yogyakarta.
Diakui Kordula Schulze, dirinya senang para mahasiswa UNY lebih dari sekadar memenuhi tujuan dengan mengambil inisiatif untuk membawa isi proyek ke depan dalam konteks universitas. Para mahasiswa tidak hanya memperoleh dan merefleksikan kepekaan mereka sendiri dalam menghadapi heterogenitas, tetapi juga menjadi multiplikator bagi universitas dan lingkungan sosial mereka.
Chayyu Zalena Hawie dan Felisius Octavianus Bowe mengadaptasi beberapa konten workshop yang dikembangkan untuk kelompok belajar berbasis sekolah ke tingkat sesama siswa dan merangsang proses pembelajaran yang peka terhadap keragaman bagi para pembelajar bahasa Jerman. Kelompok-kelompok kecil yang interaktif bekerja pada mekanisme diskriminasi bahasa, dengan para peserta menyoroti perlunya ungkapan bahasa yang sensitif saat berhadapan dengan dimensi heterogenitas multibahasa, asal, penampilan, atau religiusitas.
Menurut Dosen Pendidikan Bahasa Jerman FBS UNY Prof. Dr. Wening Sahayu, dalam kerja sama dua negara, menjadi jelas keragaman tidak hanya berdiri untuk persepsi keragaman, tetapi juga untuk sikap yang ada dalam hal ini. Ini ditandai dengan sikap dasar yang apresiatif dan keterbukaan terhadap perbedaan orang. Kenyataan, keragaman dipandang sebagai hal yang normal dan tidak lagi berorientasi pada defisit, tetapi sebagai pengkayaan, masih jauh tidak hanya di sektor pendidikan di Indonesia dan Jerman.
“Di masa depan, pandangan positif dan cara menghadapi peserta didik yang beragam berdasarkan hal tersebut menjadi lebih sentral dalam kesadaran dan tindakan dosen, guru, dan siswa di kedua negara,” kata Prof Wening.(redaksi)