Atasi Sampah, UGM Yogyakarta Kenalkan Teknologi Pengolahan Sampah Organik Pada Masyarakat
YOGYAKARTA – Sampah masih menjadi persoalan besar bagi masyarakat. Pengelolaan sampah pun menjadi sangat penting untuk mengurai persoalan tersebut.
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berupaya mengenalkan sejumlah teknologi sederhana untuk mengolah limbah rumah tangga, khususnya organik. Nantinya, teknologi ini diharapkan bisa dipraktikkan oleh masyarakat.
Dekan Fakultas Biologi UGM Prof Budi S. Daryono menyebutkan, sejak tahun 2017, Fakultas Biologi UGM sudah menangani persoalan sampah organik dengan beragam pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pengolahan sampah melalui vermicomposting, pupuk cair organik (poc), eco enzim, pengomposan, serta pemakaian biofertilizer dari urine ternak.
“Persoalan sampah ini kan berasal dari diri kita sendiri, sehingga harus diselesaikan sendiri. Kami di Biologi UGM setiap harinya mengolah minimal 25 kilogram sampah organik. Dari pegalaman pengelolaan sampah, metode yang dipakai, kita bagikan dengan harapan bisa membantu dalam menjaga kebersihan dan keberlangsungan lingkungan,” ungkap Prof Budi, saat membuka pelatihan Pengolahan Sampah di Fakultas Biologi UGM, Senin (7/8/2023).
Prof Budi meneruskan, upaya pengelolaan sampah dengan perpektif ramah lingkungan dan berkelanjutan yang digencarkan UGM ini, sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dengan pengelolaan sampah berkelanjutan, bisa meningkatkan kehidupan yang lebih sehat (SDGs 3), mengurangi pencemaran limbah sampah yang berdampak pada ketersediaan air bersih dilingkungan (SDGs 6), bentuk tanggung jawab atas konsmusi dan produksi yang dilakukan (SDGs 12), serta penanganan perubahan iklim akibat dampak emisi gas rumah kaca dari timbunan asampah organik (SDGs 13).
Tidak hanya itu, lanjut Prof Budi, pengelolaan sampah berkelanjutan juga berkontribusi dalam mewujudkan kota berkelanjutan (SDGs 11), melestarikan ekosistem lautan (SDGs 14), dan eksostem daratan (SDGS 15).
Pelatihan pengolahan sampah diikuti sekitar 60 peserta yang berasal dari rumah sakit dan pesantren.
Mereka tergabung dalam gerakan Sambatan Jogja (SONJO). Selama tiga hari, dari tanggal 7 hingga 9 Agustus 2023, para peserta mengikuti pelatihan pengelolaan sampah organik di Fakultas Biologi UGM dan pengelolaan sampah anorganik di Fakultas Kedokteran Gigi UGM.
Dalam pelatihan pengelolaan sampah organik di Fakultas Biologi UGM, para peserta mendapatkan pemaparan tentang cara pengolahan sampah menjadi pupuk dengan memanfaatkan biofertilizer. Pemaparan dilakukan Dosen Fakultas Biologi UGM Dwi Umi Siswanti SSi MSi.
Dwi Umi menjelaskan, dalam pengolahan sampah organik menjadi kompos dengan memanfaatkan sembilan spesies mikrobia. Penambahan biofertilizer menjadikan proses degradasi berlangsung lebih cepat dibanding cara konvensional.
“Prosesnya tidak terlalu lama, yang biasanya butuh waktu 2 minggu bahkan lebih. Dengan penambahan biofertilizer, proses komposting bisa lebih cepat,” ujarnya.
Cara aplikasi biofertilizer pun tergolong sederhana. Cukup dengan mengencerkan biofertilizer dengan rasio biofertilizer dan air 1:11. Selanjutnya, cairan dimasukan ke dalam sprayer, lalu disemprotkan ke sampah yang sudah dicacah dan ditutup dengan terpal. Setiap dua hari sekali, terpal dibuka dan sampah cacah dibalik kemudian ditutup kembali.
Hal tersebut terus diulang sampai 2 minggu dan setelah itu pupuk kompos siap dikeringkan atau diangin-anginkan, kemudian diayak untuk siap dikemas.
“Proses komposting ini efisien dan ramah lingkungan. Sampah bisa diubah jadi kompos maupun pupuk cair yang kaya nutrisi,” paparnya.
Sementara itu, Sukirno, SSi MSc PhD memaparkan, tentang pengolahan sampah organik menjadi pupuk organik cair dengan metode vermicomposting dengan maggot yang berasal dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF).
Untuk memproduksi pupuk organik cair, sisa makanan yang dihasilkan rumah tangga dimasukan dalam digester dalam bentuk ember tumpuk. Selanjutnya, limbah organik rumah tangga difermentasi menggunakan maggot BSF. “BSF ini bisa mempercepat degradasi sampah, sehingga fermentasi lebih cepat dan efektif,” urainya.
Soenarwan Heri Poerwanto SSi MKes menyampaikan tentang metode vermicomposting dengan menggunakan cacing tanah. Sampah organik dari limbah pertanian, perkebunan, maupun peternakan bisa diolah menjadi pupuk organik dengan menambahkan cacing tanah sebagai agen untuk mendegradasi sampah yang ada.
Pembuatan pupuk tergolong mudah. Pertama, limbah organik dihancurkan menjadi partikel kecil terlebih dahulu. Lalu, disebar di tempat rata dengan ketinggian antara 20-30 centimeter untuk ditaburkan cacing tanah. Upayakan kondisinya media dalam keadaan lembab saat dimasukkan cacing tanah.
“Cacing tanah ini memiliki kemampuan degradasi sampah organik dalam 24 jam seberat berat tubuh. Hasilnya adalah granul dari cacing tanah yang bisa dipakai menjadi pupuk,” paparnya.
Kelebihan dari metode ini, ungkap Heri, pupuknya bisa digunakan di bidang pertanian. Sementara biomassa cacing tanah bisa dimanfaatkan sebagai sumber protein di bidang perikanan dan peternakan sebagai campuran pakan ikan maupun ternak.
Sedangkan Founder Sonjo Rimawan Pradiptyo menjelaskan, pelatihan pengelolaan sampah bagi relawan SONJO ini sebagai bentuk peran aktif UGM dalam menangani persoalan kedaruratan sampah. Warga DIY khususnya Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta mengalami darurat sampah akibat penutupan TPA Regional Piyungan pada 23 Juli 2023.
“Melihat hal ini, SONJO bergerak dan hadir untuk berkontribusi bagi warga dengan mendorong pemilihan dan pemilahan sampah yang bisa dilakukan di level rumah tangga dan dasawisma. Salah satunya dengan memberikan perlatihan pengelolaan sampah,” kata Rimawan, yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM ini.(Sekarlangit)