Viral Challenge dan Psikologi Gen Z: Antara Ekspresi Diri dan Tekanan Sosial

Kampus Nasional Opini Trend

Foto: www.myeducationrepublic.com

Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi panggung utama bagi Generasi Z untuk mengekspresikan diri, berbagi cerita, hingga menunjukkan kreativitas mereka. Salah satu fenomena yang menonjol adalah tantangan viral atau viral challenge. Dari mulai challenge joget, tren lucu hingga yang ekstrem, tantangan ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga cerminan kompleks dari dinamika psikologis generasi ini.

Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan penting: apakah tantangan viral ini benar-benar menjadi sarana ekspresi diri, atau justru menjadi tekanan sosial yang terselubung?

Ekspresi Diri dan Kreativitas

Generasi Z (Gen Z) adalah sebutan untuk kelompok usia yang lahir antara tahun 1995–2012Gen Z merupakan generasi pertama yang tumbuh di era digital dan internet, sehingga mereka sangat akrab dengan teknologi sejak kecil. Media sosial menawarkan platform di mana mereka dapat menunjukkan bakat, minat, dan identitas mereka kepada dunia. Tantangan viral sering kali memberikan struktur yang sederhana namun fleksibel, sehingga memicu kreativitas.

Sebagai contoh, tantangan tarian seperti “Renegade” di TikTok tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat untuk membangun komunitas dan meningkatkan rasa percaya diri. Dengan mengikuti tantangan, seseorang merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, menumbuhkan rasa keterhubungan sosial.

Tekanan Sosial yang Terselubung

Di sisi lain, ada dimensi lain dari tantangan viral yang kurang disadari, yaitu tekanan sosial. Generasi Z tumbuh dalam era di mana validasi sosial sering kali diukur melalui jumlah likes, views, dan shares. Tantangan viral, meskipun tampak menyenangkan, sering kali menjadi sarana untuk memenuhi ekspektasi sosial yang tidak terucapkan.

Tekanan ini bisa menjadi beban, terutama bagi mereka yang merasa perlu ikut serta hanya agar tidak ketinggalan (fear of missing out). Lebih jauh, beberapa tantangan viral bahkan mendorong perilaku yang berisiko, seperti “Blackout Challenge” atau “Milk Crate Challenge,” yang telah menyebabkan cedera serius pada banyak peserta. Dalam konteks ini, tekanan untuk menjadi relevan di dunia maya dapat mengorbankan keselamatan dan kesejahteraan individu.

Baca juga :  Sukses Hadirkan Kenyamanan Jaringan dan Layanan di Pilkada Serentak 2024, Trafik Broadband Telkomsel Melonjak 11.36% 

Psikologi di Balik Fenomena Ini

Fenomena tantangan viral dapat dijelaskan melalui teori social comparison (perbandingan sosial). Generasi Z sering membandingkan diri mereka dengan teman sebaya atau influencer di media sosial. Ketika seseorang melihat orang lain berhasil mendapatkan perhatian besar melalui tantangan tertentu, ada dorongan untuk mengikuti demi mendapatkan validasi serupa.

Selain itu, adanya norma kelompok (group norms) juga berperan. Ketika sebagian besar teman atau komunitas daring seseorang terlibat dalam tantangan tertentu, tekanan untuk ikut serta meningkat. Dalam beberapa kasus, ketidakikutsertaan dapat memunculkan rasa takut akan penolakan atau dianggap “tidak keren.”

Mengelola Fenomena Viral Challenge

Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk memahami dan mengelola fenomena ini agar dampaknya tetap positif. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:

  1. Meningkatkan Literasi Digital: Edukasi tentang risiko tantangan viral perlu ditingkatkan. Generasi Z perlu dibekali kemampuan untuk menyaring tantangan mana yang aman dan bermanfaat.
  2. Mendorong Ekspresi Diri yang Sehat: Orang tua, pendidik, dan komunitas daring dapat mendorong kreativitas tanpa harus mengikuti tren yang berisiko.
  3. Menumbuhkan Kesadaran Diri: Generasi Z perlu diajak untuk mengenali motivasi di balik partisipasi mereka dalam tantangan viral. Apakah itu murni untuk bersenang-senang, atau karena adanya tekanan sosial?

Tantangan viral adalah fenomena yang mencerminkan dua sisi dari kehidupan digital Generasi Z: kebebasan berekspresi dan tekanan sosial. Dengan pendekatan yang tepat, fenomena ini dapat menjadi sarana positif untuk membangun kreativitas dan koneksi, tanpa mengorbankan kesehatan mental atau fisik. Akhirnya, penting bagi kita semua untuk selalu mempertimbangkan dampak dari setiap tren yang kita ikuti, bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain di sekitar kita.

 

Baca juga :  Pengemasan Perlu Menjadi Perhatian Dalam Produk UMKM

Opini oleh: Nurdin Adiyansah, M.Psi (Dosen Psikologi UICI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts