Anak-anak harus menyeberang sungai untuk sampai di sekolahnya. Ini masih ada di Sumatera Selatan.

Kisah Koko Triantoro, Guru Garda Depan dan Relawan Pendidikan

Kampus

YOGYAKARTA – Program Guru Garis Depan (GGD) dan Sekolah Garis Depan (SGD) menjadi wujud nawacita ke-3 berupa tenaga pendidik dan pembangunan sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Melalui dua program tersebut, harapan Presiden Indonesia agar wilayah pinggir Indonesia ikut maju bisa tercapai. Salah satunya melalui bidang pendidikan.

Tahun 2015, Program GGD dimulai dengan mengirimkan 798 guru ke 28 kabupaten di daerah 3T yang tersebar di empat provinsi. Ke-798 guru tersebut terpilih melalui seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi PNS untuk para lulusan SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah 3T). Dari target sebanyak 4.298 guru, sebanyak 1.480 guru yang mendaftar.

Baca juga :  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Buka Jalur SPMB Mandiri Hingga 7 Juli 2022

Salah satu peserta GGD adalah Koko Triantoro, Alumni Prodi Pendidikan IPA Fakultas Matematika-IPA (MIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang ditempatkan di di SD Embacang Lama, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.

Koko Triantoro memiliki banyak pengalaman mengajar di daerah 3T. karena, ia merupakan alumni sarjana mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM3T) penempatan Ende Nusa Tenggara Timur (NTT), serta pernah mengajar di Astra Agro School Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. “Pengalaman mengajar di daerah terpencil 3T, saya sadar akan kesenjangan yang sangat tinggi. Terutama bidang pendidikan yaitu bahasa, membaca, dan berhitung” kata Koko.

Sejak tahun 2017, Koko  yang bertugas di SD Rompok Tebing Tinggi harus berjalan kaki pulang pergi 90 menit melewati hutan. Padahal, jika ditempuh menggunakan perahu hanya 15 menit. Saat itu, terfikir kesadaran untuk membangun pedalaman.

Koko juga aktif di Koordinator Relawan Negeri Nasional yang menaruh perhatian terhadap pendidikan di daerah terpencil. Sebagai relawan, Koko menaruh perhatian pada pendidikan di wilayahnya. Seperti di SD Negeri Sungai Jambu wilayah Dusun 5 Desa Muara Tiku, Kecamatan Karang Jaya, Musi Rawas Utara. Para siswa sekolah ini rela berjalan kaki selama 1 jam menempuh jalan yang curam dan menyeberangi sungai untuk ke sekolahnya.

Jika hujan lebat, para siswa tersebut terlambat datang atau tidak masuk sekolah. Karena jalan yang sulit dilalui. Pihak sekolah sangat mengerti keadaan para siswa tersebut dan bangga karena siswa ingin sekolah walau harus berjalan jauh. Harapannya, ada bantuan perahu untuk 20 siswa dan 9 guru yang mengajar di SD Negeri Sungai Jambu karena bisa memotong waktu ke sekolah menjadi sekitar 15 menit.

Menurut Koko, kegiatan mengajarnya di SD Embacang Lama menghadapi kesulitan dikarenakan kendala bahasa. Para siswa terbiasa bahasa daerah hingga kesulitan memahami pelajaran.

“Saat ini kami sedang menggarap program zero literacy (nol buta aksara/membaca) dengan metode calistung grade,” kata Koko, beberapa waktu lalu.

Metodenya, dari kelas 1-6 itu akan diklasifikasikan siswa dengan grade A-D kategori kemampuan membaca. Setelah diperoleh data dari wali kelas, siswa dikelompokan dalam grade tersebut sesuai kemampuannya. Grade terendah D dan tertinggi A. Waktu kegiatan diambil seminggu 2 kali 30 menit menjelang waktu pulang.

Hasilnya, akan dievaluasi setiap 2 minggu sekali. Buku panduannya disusun buku latihan baca, sehingga diharapkan satu semester grafik kemampuan siswa membaca meningkat. Karena grade hanya empat, dua kelas grade bisa dipegang 2-3 guru, sehingga siswa lebih intens dalam pendampingan membaca.(redaksi)

Garda Depan guru Koko Triantoro pembangunan sekolah Relawan Pendidikan Sekolah Garis Depan tenaga pendidik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts