Pramunditya Ahimsa Untoro tengah tampil ndalang di SMPN 15 Yogyakarta.

Pramudito Dalang Cilik Binaan Kundha Kabudayan Kota Yogyakarta

Seputar Jogjakarta

YOGYAKARTA – Terdengar suara khas remaja sulukan wayang. Tidak terlalu merdu, tetapi cukup sesuai dengan laras suara gamelan.

…..Sruhmahwayut

Sang yaksendra gorupa

Mangeses kadi angin…..

Itulah suara Pramunditya Ahimsa Untoro (14 tahun) yang tengah tampil ndalang di SMPN 15 Yogyakarta, pada Pekan Projek Penguatan Pelajar Pancasila (P5), Jumat (24/11) pukul 18.30—20.00 WIB.

Baca juga :  Gubernur DIY: Peningkatan Mutu Pendidikan Jadi Program Prioritas DIY

Hebatnya, seluruh pementasan wayang ini didukung remaja seusia Tio (panggilan akrab Pramunditya Ahimsa Untoro). Mulai dari penabuh gamelan hingga sinden. Malah, terlihat ada Alfariel Augusto Wijonarko, dalang cilik kelas 5 SD Baciro, Yogyakarta yang membantu menggebuk drum pementasan wayang tersebut. Tio dan Fariel adalah binaan Kundha Kabudayan (Dinas Kebudayaan) Kota Yogyakarta. Hanya ada satu orang dewasa yang menjadi pengendang pada pementasan ini. Ia adalah Ki Gunawan, dalang wayang kulit yang sekaligus pensiunan guru pedalangan SMKI.

Selama sepekan, Ki Gunawan melatih anak-anak menabuh gamelan, nyinden, dan juga melatih Tio mendalang. Saking gembiranya akan pentas bersama teman-temannya, Tio menjuluki dirinya sendiri sebagai Ki Gede Pramudhita.

Pementasan wayang yang digagas Suryani MPd, guru Seni Budaya SMPN 15 Yogyakarta ini menjadi meriah atas dukungan Kepala Sekolah SMPN 15 Yogyakarta Drs Siswanta MPd, guru, dan semua orang tua kelas VII dan VIII. Kolaborasi dua angkatan ini melibatkan sekitar 600-an siswa.

Sebelum pentas wayang, sejak pukul 13.00 mereka menampilkan berbagai atraksi seperti tari, dolanan anak, sesorah, macapat, pranatacara, teater daerah, dan langen carita. Tidak ketinggalan, siswa-siswa lain juga jualan aneka jajanan dalam rangka praktik kewirausahaan.

Rangkaian kegiatan ini sesuai dengan tema gelar Karya P5, yaitu Kearifan Lokal dan Kewirausahaan. Pentas yang berdurasi 1,5 jam ini membawakan lakon Sang Tetuko.

Berawal dari kekisruhan kahyangan karena Prabu Nagapracona mengamuk, lamarannya ditolak para Dewa. Dewa kalah semua. Akhirnya Bathara Guru mengutus Narada pinjam anaknya Arimbi, Tetuka, untuk melawan Pracona. Tetuka digembleng di kawah candradimuka oleh Dewa hingga sakti dan tumbuh dewasa, kemudian diberi nama Gatotkaca. Gatotkaca berhasil mengalahkan Pracona, kemudian diangkat jadi Raja di Pringgondani.

Melihat kenyataan ini, Ratun Untoro, ayah Tio, menyatakan kita menjadi optimistis bahwa bahasa dan sastra Jawa akan tetap terus lestari dan berkembang. Bahkan, cita cita mewujudkan bahasa Jawa anjayeng bawana menjadi hal yang tidak mustahil. Hal ini tentu tidak lepas dari peran orang tua mendampingi anak-anaknya agar senantiasa mencintai dan bangga terhadap bahasa dan sastra Jawa.(Sekarlangit)

Alfariel Augusto Wijonarko binaan dalang dalang cilik Dinas Kebudayaan guru Ki Gunawan Kota Yogyakarta Kundha Kabudayan ndalang P5 pedalangan Pekan Projek Penguatan Pelajar Pancasila Pramunditya Ahimsa Untoro SD Baciro SMKI SMPN 15 Yogyakarta Tio wayang kulit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts