Nasehat Bijak untuk Para Perempuan Yang Terluka
Perempuan, perempuan yang berjalan menuju pintu kegaiban,
Di hatimu, sudah berdiri istana megah, ada atau tak ada yang membawamu ke sana
Di rumah yang sempurna, tetap menjadi budak, menjadi hamba dari pikiran-pikiran yang membunuh tajam
Kecuali pukulan demi pukulan yang terhimpun dari hangat kenikmatan doa-doa keabadian
Bait di atas merupakan petikan dari puisi berjudul “Perempuan Yang Berjalan Menuju Pintu Kegaiban,” yang terangkum dalam antologi “Perempuan Yang Matanya Ditumbuhi Dendam dan Kasih Sayang “ karya Evi Idawati yang belum lama ini diluncurkan secara sederhana. Penyair wanita yang selalu aktif dalam berbagai kegiatan ini tak henti berkarya, bahkan di masa pandemi sekalipun.
Sebagai penyair, Evi selalu menyimpan keresahan, dan antologi puisi ini merupakan buah keresahannya sebagai perempuan sekaligus sebagai seorang istri dan seorang ibu. Sebuah antologi yang penuh dengan pesan dan nasehat bijak bagi para perempuan seperti dirinya.
Melalui bait-bait puisinya, Evi mencoba mendobrak pandangan masyarakat tentang kaum perempuan yang selama ini selalu dipandang sebagai kaum lemah dan harus bergantung kaum lelaki. Pandangan ini selain muncul dari dogma dan ajaran para tetua dan terus dibangun melalui budaya , tradisi serta melalui ajaran-ajaran agama. Anggapan ini berlangsung selama beratus-ratus tahun setelahnya dan diterima begitu saja, nyaris tanpa perdebatan. Sebagai seorang perempuan, Evi kemudian merenungkannya atas segala fakta yang dijumpainya.
“Ada yang bisa menerimanya dan menjalaninya sebagai kepatuhan seorang hamba dengan keimanan dan kesedian tanpa pertanyaan. Ada juga yang mencoba mencari sebab musabab, asal-usul hingga menemukan banyak jawaban dari pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan, tentang hidupnya ataupun hidup orang lain. Usaha itu, sering saya sebut sebagai cara membaca dan membaca,“ ujar Evi dalam perbincangan khusus dengan di Taman Budaya Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Saya mengenal Evi cukup lama. Bahkan saya mengikuti setiap perkembangan karya dan perubahan sikapnya, termasuk penampilannya sekarang yang selalu mengenakan hijab dan lekat dengan kata-kata religi. Bisa difahami, Evi terlahir dari Kota Demak. Lingkungan yang sangat religius membentuk kepribadiannya dan jalan pemikirannya. Setidaknya itu tergambar dalam puisi berikut ini…..
Hanya seorang hamba
Yang duduk menyisihkan harga
Yang bolak- balik menanam tawaran
Yang meluluhkan raungan
Hanya seorang hamba
Yang sujud di beranda khusyuk
Yang gembira memanggil manggil
Yang merawat batu, laut dan angin_
Sebuah kepasrahan sebagai seorang manusia, tergambar jelas di puisi itu. Namun, lingkungan akademis dan sosial selama dia bertumbuh, tak membuat Evi menjadi muslimah yang menelan ajaran secara dogmatis. Setiap ajaran dari para kyai dan ulama, diendapkan dalam pemikirannya melalui sebuah perenungan yang dalam.
Maka, antologi “Perempuan Yang Matanya Ditumbuhi Dendam dan Kasih Sayang,“ merupakan hasil perenungannya, setelah mengalami banyak persoalan kehidupan, sekaligus sikap pembelaannya atas perlakuan tidak adil yang menimpa kaum perempuan. Lebih dari itu, Evi berpesan kepada kaum perempuan agar tak jera membaca, karena dengan membaca akan menumbuhkan kesadaran atas diri dan lingkungannya.
“Di dalam agama dan kepercayaan yang kita anut, kita menemukan banyak hukum atau aturan yang menempatkan perempuan sebagai individu yang berada posisinya di belakang laki-laki. Tetapi, ajaran-ajaran itu hendaknya tak begitu saja diterima tanpa perenungan. Itulah pentingnya membaca. Menjadi perempuan itu harus berani membaca. Membaca peristiwa, membaca lingkungan, dan segala hal yang dijumpainya,“ ujar istri pantominer Ende Riza, mengakhiri perbincangan.(*)
Sulistyawan
Penulis Dikenal Sebagai Citizen Jurnalis dan Pemerhati Sastra