MPRPG dan API Yogyakarta Siap Beri Sumbangsih Nyata untuk Cari Solusi Polemik Patung Tobong

YOGYAKARTA – Asosiasi Pematung Indonesia (API) Yogyakarta bersiap memberikan sumbangan gagasan dan pemikirannya, terkait rancangan patung publik di Gunungkidul yang tengah menuai konflik. Mereka meyakini, konsep yang disumbangkan bakal lebih baik untuk sebuah patung publik dan bakal mengurangi pro-kontra yang tengah berkembang di masyarakat Gunungkidul.
Hal tersebut disampaikan Purwanto, anggota API yang juga sekaligus seniman Gunungkidul. Bersama Ketua API Khusna Hardianto dan anggota API lainnya, yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Ruang Publik Gunungkidul (MPRPG) mereka ingin memberikan sumbangsih yang nyata, termasuk mengatasi konflik soal Patung Tobong yang menimbulkan konflik di masyarakat luas, serta di dunia maya.
Tidak hanya itu, anggota API Bersama MPRPG juga melakukan aksi senyap dengan mengirimkan seperangkat alat Nginang sebagai simbol dari pembersihan diri dan refleksi.
Saat pengiriman surat yang dilakukan API, juga didampingi Guntur Susilo (Seniman Batik), Ismu Ismoyo (Seniman Mural), Christiawan Lembu (Seniman dan Anggota Abdw Art Project), Himawan Adi (Walhi). Mereka tergabung dalam Masyarakat Peduli Ruang Publik Gunungkidul (MPRPG).
“Sebelumnya mendapat informasi dari tayangan channel Youtube dan teman-teman pelaku budaya Gunungkidul soal rancangan pembuatan patung publi, maka lahirnya kesepakatan ini dan aksi nyata dengan mengirim Alat Nginang tersebut,” kata Himawan Adi didampingi Dwi Rahmanto, Senin (25/04/2022).
Ditambahkan Dwi, Nginang dalam budaya Jawa sebagai warisan turun-temurun yang sarat makna. Yaitu, simbol penghormatan yang di dalamnya ada tepa seliro, kesederhanaan, pengingat tentang diri sendiri. Sesuai dengan sifat bahan bahan tersebut yaitu makna sirih tentang rendah hati dan memuliakan orang lain, dan sandaran hidup untuk tidak merusak, gambir (pinang) bermakna berperilaku yang baik dan ingat sang pencipta, sekaligus simbol keturunan yang baik.
“Sekaligus kita menyiapkan warisan yang baik, bagi anak cucu. Tembakau (mbako), bermakna ketabahan hati dan rela berkorban. Sedangkan injet (batu gamping) adalah nurani yang bersih dan keinginan menguatkan diri. Harapannya, orang nginang akan mampu meredam pembicaraan dan perbuatan yang keluar dari koridor yang tidak baik. Juga sebagai simbol ke dalam atau intropeksi,” jelasnya.
Memang, polemik Patung Tobong dalam beberapa hari ini semakin panas dan ini tidak baik bila berlarut-larut. Terutama untuk kehidupan sosial di Gunungkidul.
Menurutnya, kesadaran pemerintah dalam merangkul dan mengakomodir suara masyarakat masih kurang, dan ini harus diluruskan.
“Kami menggunakan simbol simbol yang sudah turun-temurun dan menunjukan bagaimana kami memulai dialog yang produktif. Kami juga mendorong ruang publik harus dilepaskan dari simbol simbol yang sudah jelas sebuah pengrusakan ekologi Gunungkidul. Nilai penanda kebudayaan seharusnya pada keseimbangkan, tidak hanya dalam wujud kemajuan fisik pembangunan dan nilai ekonomi saja. Seharusnya, ini selaras, supaya anak-cucu kita mendapat warisan yang mulia,” pungkasnya.(redaksi)