Menteri Sosial Republik Indonesia Dr. (H.C.) Ir. Tri Rismaharini, M.T.

Marah-Marah Risma dan Pencitraan Diri

Opini

Sejak menjadi menteri sosial (mensos), sepak terjang Risma mulai menasional. Setidaknya, setiap ada pergerakan ataupun yang dilakukan dirinya, selalu menghias media, baik cetak, online, maupun televisi. Kebiasaan marah sudah menempel dalam citra diri perempuan ini.

Ya, itulah Dr. (H.C.) Ir. Tri Rismaharini, M.T., mantan Wali Kota Surabaya. Kalau menengok ke belakang, sepak terjang perempuan kelahiran Kediri ini sudah dilakukan sejak memimpin Surabaya. Pertama kali, Risma marah dan menghebohkan publik pada tahun 2014, saat dirinya menjadi orang pertama di Surabaya.

Baca juga :  Kota yang Ngayomi, Ngayemi, dan Ngayani

Saat itu, lulusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tahun 1987 dan Pascasarjana Manajemen Pembangunan Kota di  ITS Surabaya tahun 2002 ini naik pitam karena tanaman di Taman Bungkul rusak, lantaran diinjak-injak warga karena ada pembagian es krim gratis.

Selanjutnya, tahun 2016, Kembali Risma terekam meluapkan amarahnya saat sidak di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya. Ia marah karena mendapati pengurusan e-KTP bermasalah.

Setahun berikutnya, 2017, kader PDIP ini Kembali marah besar karena mendapati Camat Tandes Kota Surabaya tidak berada di kantornya, dengan keadaan kantor kecamatan tersebut kotor. Ia memarahi Camat Tandes Surabaya, setelah membersihkan kantor camat.

Berikutnya, pada tahun 2020, sebelum menjadi menteri, kembali Risma marah-marah karena mobil bantuan BNPB diserobot oleh Gugus Tugas Pemrov Jawa Timur.

Sebelum mengikuti proses pilihan wali kota, Risma diketahui memulai karir sebagai aparatur sipil negara (ASN). Beberapa jabatan diembannya. Mulai dari Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya (1997), Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Dinas Bangunan Kota Surabaya (2001), Kepala Cabang Dinas Pertamanan Kota Surabaya (2001), Kepala Bagian Bina Pembangunan (2002), Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (2005), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya (2008), dan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya (2010).

Tidak ada rekam jejak yang jelas, apakah selama menjabat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (2019—sekarang) ini juga sudah sering marah atau tidak di lingkungan kerjanya.

Risma dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Sosial pada tanggal 23 Desember 2020 dalam reshuffle Kabinet Indonesia Maju. Ia menggantikan Juliari Batubara yang tersandung kasus korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19.

Ternyata, tren marahnya Risma tidak berhenti di Surabaya saja. Usai menjabat Mensos, tidak berapa lama, kita dipertontonkan lagi di berbagai platfom media, bagaimana mensos yang baru memperlihatkan kemarahannya. Daftarnya juga tidak sedikit.

Paling terbaru, Mensos Tri Rismaharini menjadi perhatian masyarakat setelah viralnya video saat dirinya tengah cekcok dengan aktivis mahasiswa di Lombok Timur. Semua itu viral di sosial media. Peristiwa tersebut diketahui terjadi saat penyambutan Risma di Desa Tete Batu Selatan, Kecamatan Sikur, Lombok Timur.

Sebelumnya, Risma memarahi dan mengancam pendamping Program Keluarga harapan (PKH) di Gorontalo. Ia mengancam dengan kalimat ‘tak tembak kamu.’ Sebuah kalimat yang tidak elok dilontarkan seorang menteri. Dalam video yang beredar di media sosial, Risma tengah berada dalam sebuah rapat. Dia bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke arah seorang pendamping PKH sambil menunjuk dada pria tersebut dengan pena. “Tak tembak kamu ya, tak tembak kamu,” ujar Risma dalam video tersebut. Risma marah diduga terkait dengan data keluarga penermima manfaat (KPM) yang tidak sesuai dengan data Kementerian Sosial.

Pada anak buahnya, Risma juga mengancam ASN Kemensos akan dimutasi ke Papua. Ia mengancam (ASN) Kemensos yang tak cekatan saat membantu di dapur umum untuk dipindahkan ke Papua pada 13 Juli 2021. Ancaman tersebut dilakukan saat mengunjungi Balai Wyataguna untuk melihat dapur umum di sana.

Pada pejabat instansi lain, mensos juga memarahi pula. Padahal, ini tidak boleh dilakukan karena berbeda instansi. Namun, Risma tetap marah ke pejabat bank BUMN di Jember. Kejadian itu dilakukan pada Agustus 2021, dalam sebuah video yang beredar, ia menunjukkan kemarahan Risma kepada pejabat sebuah bank BUMN di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Kemarahan yang dilakukan karena masih terdapat sejumlah masyarakat yang belum menerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH). Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata kesalahan soal data ada di kementerian yang dipimpinnya. Namun, kemarahan sudah dilontarkan dan ini menambah catatan buruk perilaku sang Menteri.

Lagi-lagi, emosi Risma keluar saat berada di Aceh. Kemarahan Risma meluap saat menghadiri Rapat Koordinasi Pengecekan Data Penerima Bantuan Sosial (bansos) di Provinsi Aceh, 4 September 2021. Dalam rapat tersebut, Risma menanyakan mengapa banyak bantuan yang tidak tersalurkan. Ia menganggap pejabat daerah setempat tidak peka dengan masalah penyaluran bansos, dan membuat Risma marah.

Selanjutnya, kemarahan Risma terhadap Kepala Dinas Sosial Katingan Elmon Sianturi juga beredar pada pertengahan September 2021. Penyebabnya, masih ada korban banjir Katingan yang belum menerima bansos. Padahal, Kemensos sudah menyalurkan sejumlah bantuan ke lokasi. Elmon beralasan, bantuan Kemensos terbatas dan memancing Risma meradang.

Pertama Terkesan, Seringkali Marah Bikin Bosan

Pejabat yang sekali marah itu biasa. Bisa jadi, memang ada anak buahnya yang tidak becus dalam menjalankan tugasnya. Menjadi ‘kewajiban’ pemimpin untuk membenarkan, meluruskan, dan menjadikan anak buahnya lebih baik. Apalagi di lingkungan ASN, yang merupakan pelayan masyarakat.

Namun, kemarahan yang terus-menerus, dan selalu begitu menjadi hal tidak biasa. Sebagai pejabat, tentu harus haruslah memiliki sopan santun dan etika yang harus dipegang teguh.

Masih ingat dengan mantan gubernur DKI Jakarta, yang sebelumnya merupakan pasangan Jokowi sebelum melenggang menjadi presiden? Ya, itulah Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M. alias Ahok. Awal memimpin, sosok satu ini juga dikenal ceplas-ceplos dan bicara blak-blakan. Bahkan, Ahok juga sempat menjadi media darling karena perilakunya tersebut. Banyak yang suka, tetapi juga tidak sedikit yang tidak setuju. Apalagi dirinya sempat memarahi seorang ibu-ibu, yang tentu saja membuat banyak orang tidak bersimpati padanya.

Contoh soal pejabat marah sebenarnya banyak. Tidak hanya dua itu saja. Di berbagai level, bupati, wali kota, hingga gubernur pun ada yang pernah begitu. Kalau melihat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, di media sosial juga pernah terlihat marah-marah. Namun, dirinya tidak selalu bersikap begitu. Sesekali, terlihat guyon, di lain waktu, Ganjar juga serius memberi contoh tentang perilaku pemimpin yang ngayomi, berwibawa, dan tetap dekat dengan rakyatnya. Artinya, dia embat papan, menempatkan kemarahan sesuai porsi dan tempatnya. Tidak harus marah setiap waktu, setiap datang.

Kemarahan yang sesuai porsi dan tempatnya, memang membuat masyarakat lebih menerima. Berbeda dengan setiap waktu dan setiap kunjungan selalu marah, justru menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Kenapa dia marah? Ataukah memang itu yang dia mampu? Marahnya seseorang pemimpin dengan porsi yang berlebih tentu tidak baik. Baik bagi dirinya atau masyarakat luas.

Solusi Bukan Emosi

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Setiap individu tidak lepas dari hubungan sosial dengan orang lain. Semua interaksi sosial yang dilakukan seorang individu memunculkan emosi dalam diri setiap individu. Dari emosi tersebut, individu bisa menentukan sikap dan pikiran sehingga mampu bertindak sesuai dengan dirinya (Lewis & Jones, 2000).

Sementara itu, Linschoten (Sundari, 2005) menjelaskan, perasaan manusia menurut modalitasnya terbagi menjadi tiga. Yakni, suasana hati, perasaan itu sendiri, dan emosi. Emosi merupakan bagian dari perasaan dalam arti luas. Emosi tampak karena rasa yang bergejolak, sehingga yang bersangkutan mengalami perubahan dalam situasi tertentu mengenai perasaan.

Lain halnya dengan Dr Eddie Murphy. Dalam bukunya berjudul Becoming Your Real Self (2015), Murphy yang dikenal sebagai kolumnis tepercaya dan psikolog klinis yang berpengalaman praktik selama 20 tahun lebih di Irlandia ini mengatakan, kemarahan tidak selalu buruk, dapat membuat kita menjadi memusatkan perhatian, mendorong kita menemukan pemecahan persoalan, dan membantu kita mengatasi ketidakadilan. Kemarahan dapat memperdayakan kita serta memberi kekuatan dan ketetapan hati. Lagi-lagi ia juga mengingatkan, bagi banyak orang, ketika kemarahan lepas kendali, bisa membahayakan kesehatan dan hubungan kita, baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain.

Menurut Murhphy, kemarahan bisa menjadi perilaku yang tidak wajar, meski bukan berarti menjadi seseorang sakit jiwa. Kemarahan menjadi masalah bila hal tersebut terlalu sering terjadi, terlalu ekstrem, dan mengarah pada agresi, yaitu ketika Anda berniat menyakiti seseorang, baik secara fisik (misal menampar, memukul) maupun verbal (mencaci maki). Terakhir, bila kemarahan itu berlangsung terlalu lama.

Dari situ bisa disimpulkan bukan. Bahwa marah bukan solusi untuk mengatasi masalah. Justru kita diajak untuk fokus pada solusi dan bagaimana menyelesaikannya. Bagi orang yang bisanya marah-marah, bisa jadi dia tidak bisa menyelesaikan masalah. Demikian pula yang terjadi pada Risma, marahnya itu patut dipertanyakan. Bisa jadi marahnya berdampak negatif bagi kesehatannya. Setidaknya dirinya tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Marah-marahnya adalah upaya untuk menutupi ketidakmampuan itu.

Upaya Pencitraan Diri

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menyebut, kemarahan yang sering dipertontonkan Risma ke publik semakin ke sini semakin tidak relevan. Menurut Hendri, kebiasaan ini juga tidak serta merta membuat perbaikan dalam birokrasi. Di sisi lain, daya menariknya pun bisa dibilang sudah tidak ada lagi. Hendri menyebut gaya politik yang tengah diperankan Risma sebagai gaya politik drama. Di awal menarik. Tapi lama-lama akan dipertanyakan efektivitasnya.

Ditambahkan oleh dia, dengan gaya komunikasi seperti ini, tentu Risma akan menuai konsekuensi. Jika Langkah tersebut untuk tujuan elektoral, dia memprediksi akan sulit merengkuh target politik yang hendak dicapainya.

Di satu sisi, Hendri tidak memungkiri Risma dikenal lewat gaya-gaya seperti ini. Namun, saat itu terus dipertontonkan justru akan menimbulkan pertanyaan. Apalagi seringkali Risma marah dan meledak secara tidak wajar.

Risma atau siapa saja yang tengah menjadi pejabat, sedikit banyak tentu berusaha membuat pencitraan diri. Mustahil sekiranya mereka bilang tidak memperdulikan hal tersebut. Bagaimanapun, mereka harus mempertahankan ciri diri yang baik, di mata presiden, di mata konstituennya, di mata rakyat, di hadapan bawahannya, dan masyarakat luas. Citra diri berpengaruh pada jabatan dan masa yang diembannya. Apalagi dalam perpolitikan Indonesia, citra yang positif tentu merupakan investasi yang mahal.

Kasus Risma, misalnya, tentu akan berpengaruh pada diri dan partainya. PDIP, sebagai rumah besar dirinya, sedikit banyak akan terimbas citranya. Ingat bagaimana Juliari Batubara, yang melakukan korupsi bansos, rakyat otomatis menuding partainya. Sebuah citra partai yang dibangun cukup lama dan rusak gegara satu orang.

Penutup

Untuk dikenal publik, memang banyak cara. Cara berbeda, penampilan yang lain daripada yang lain, termasuk bertingkah laku yang berlawanan dengan yang lazim dilakukan banyak orang. Demikian pula dengan seorang pemimpin, untuk terkenal dan dikenang memang banyak cara.

Pilihan yang positif adalah kehadirannya membuat masyarakat menghargai, program kepemimpinannya sesuai dengan janji-janji yang utarakan, mensejahterakan masyarakat, membawa keadilan, dan arah pembangunan yang jelas. Kehadiran pemimpin yang dekat dengan rakyat, memberikan solusi yang bermanfaat, meninggalkan kebaikan di semua bidang, dan rakyat akan kehilangan dirinya saat tidak lagi menjabat. Teorinya mudah, dalam praktiknya sangat sulit.

Berbeda dengan pemimpin yang memilih dikenal, namun meninggalkan kesan buruk. Marah-marah tidak meninggalkan solusi, justru menambah musuh lebih banyak lagi. Ingat, rakyat atau bawahan yang dimarahi, meski diam, tentu mereka akan mencatat benar dalam hati dan pikirannya. Pemimpin yang hanya populis namun tidak ada perbaikan perekonomian, perbaikan kesejahteraan, dan tidak membawa keadilan sebenarnya hanya meninggalkan bom waktu.

Sekarang, apakah memilih yang pertama atau yang kedua, semua kembali ke personal masing-masing. Bicara Risma, tampaknya dia memilih mempertahankan dengan marah-marahnya, dan bila tidak diubah, siap-siap dia akan memetiknya nanti. Waktu yang kan memberi jawaban semuanya. (*)

Heru Setiyaka, M.Psi

Lulusan Pascasarjana Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, bekerja pada perusahaan konsultan di Jakarta.

citra diri Kabinet Indonesia Maju marah mensos menteri sosial pencitraan psikologi Risma Tri Rismaharini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts