Pentingnya Melaksanakan Gerakan Literasi Di Sekolah
Berdasarkan Peraturan No 21 Tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mewajibkan setiap siswanya untuk membaca buku sebelum memulai jam pelajaran. Jenis buku yang akan dibaca para siswa, bebas, asalkan mengandung muatan budi pekerti. Namun, yang paling diutamakan adalah buku dongeng, karena buku dongeng bersifat menghibur dan mendidik, sehingga bisa dibaca semua kalangan usia, baik anak-anak maupun orang dewasa.
Selama ini, literasi identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat.
Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003). Gerakan literasi sekolah merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Tujuannya, untuk menumbuh kembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Gerakan Literasi Sekolah merupakan gerakan sosial yang memerlukan dukungan kolaboratif dari berbagai elemen. Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).
Namun, kendala dalam pelaksanaan gerakan literasi sekolah, antara lain hampir semua kota-kota besar di Indonesia tidak punya perpustakaan yang memadai. Padahal keberadaan perpustakaan yang memadai adalah salah satu ciri kota-kota modern di negara maju.
Disinyalir lebih dari 250 ribu sekolah di Indonesia, hanya 5% yang memiliki perpustakaan memadai. Hal ini merupakan fakta yang miris, karena bisa menjadi indikator rendahnya budaya baca di sekolah. Perpustakaan yang ada di sebagian kota/kabupaten memiliki tingkat kunjungan pembaca yang rendah.
Sebagai contoh di Jakarta, dari sekitar 10 juta penduduknya yang berkunjung ke perpustakaan hanya 200 orang per hari dan hanya 20% dari jumlah itu yang meminjam buku. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton TV daripada membaca buku. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, seringkali belum memiliki program pengembangan literasi, atau menumbuhkan budaya baca-tulis secara sistemik. Padahal siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Terjadi fenomena “Rabun Membaca–Pincang Menulis.”
Penelitian Taufiq Ismail pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca dikalangan pelajar. Rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura membaca 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku. Sedangkan Indonesia 0 buku.
Hasil studi Vincent Greannary yang dikutip World Bank dalam sebuah laporan pendidikan “Education in Indonesia: From Crisis to Recovery” pada tahun 1998 mengungkapkan, kemampuan membaca siswa kelas VI SD di Indonesia mendapatkan poin 51,7. Angka itu, jauh di bawah Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1), dan Filipina (52,6). Hasil ini menunjukkan bahwa membaca dalam sistem pendidikan nasional kita, secara faktual belum terintegrasi dengan kurikulum. Dari bidang penerbitan tulisan ilmiah, produktifitas negara kita juga masih rendah.
Kegagalan literasi di sekolah terutama program perpustakaan yang gagal tersebut, sebabkan karena luas perpustakaan yang tidak memadahi, jumlah buku bacaan yang kurang,terutama buku-buku dongeng. Juga petugas perpustakaan yang ada di sekolah, adalah guru sekolah yang tidak bisa mengajar dengan baik. Bahkan, ada pula guru sekolah yang merangkap jadi petugas perpustakaan. Padahal, pustakawan yang akan dibutuhkan di berbagai instansi. Termasuk sekolah, minimal berpendidikan D2, bahkan lebih bagus lagi, S1 Ilmu Perpustakaan. Sekolah tidak mengalokasikan anggaran khusus yang memadai untuk pengembangan perpustakaan sekolah.
Persoalan rendahnya budaya literasi belum dianggap sebagai masalah yang mendesak (critical problem), sehingga tidak muncul respons cepat yang diperlukan serta cenderung disepelekan. Anggapan bahwa tradisi literasi adalah ekslusif untuk kaum elit masyarakat saja, sehingga kelompok masyarakat awam merasa tidak perlu mengembangkan tradisi literasi.
Apabila persoalan kegagalan dalam program literasi di sekolah tidak segera ditindak lanjuti, akan memberikan dampak, antara lain semakin melemahkan daya saing bangsa dalam persaingan global yang semakin kompetitif, Anak Indonesia akan sulit hidup di Abad 21, karena Indonesia termasuk negara yang prestasi membacanya berada di bawah rata-rata negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan, yaitu 500, 510, dan 493.
Indonesia berada di urutan ke-lima dari bawah. Sedikit lebih tinggi dari Qatar (356), Quwait (333), Maroko (326), dan Afrika Utara (304). Sumber Daya Manusia Indonesia kurang kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini adalah akibat turunan dari rendahnya kemampuan baca-tulis. Membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya.
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah. Misalnya, mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran dan mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat.
Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah.
Sedangkan guru sebagai salah satu kunci keberhasilan gerakan literasi di sekolah, hendaknya memiliki sikap antara lain gemar membaca, menjadi teladan membaca; menciptakan lingkungan yang kaya literasi; menjadikan kegiatan membaca menyenangkan; memperlakukan seluruh peserta didik dengan baik; menyesuaikan kegiatan membaca dengan gaya belajar peserta didik yang unik; dan meningkatkan profesionalisme.
Program Gerakan Literasi Sekolah dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah di seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas sekolah seperti ketersediaan fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga sekolah, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (*)
Tri Worosetyaningsih, M.Pd
Penulis merupakan Kepala Sekolah dan Guru di SMP Negeri 2 Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dikenal juga sebagai Instruktur Nasional Guru SMP