Rachmad K. Dwi Susilo, M.A, Ph.D

Agar RODANYA MASBAGIA Kencang Berputar  (Seri Kedua/ Tamat)

Opini

(Analisa Kebijakan Publik tentang Pemberdayaan Masyarakat)

 Kebijakan RODANYA MAS BAGIA (Program Pemberdayaan Masyarakat Maju Sehat Bahagia) di Kota Magelang diluncurkan di era pasangan wali kota dan wakil wali kota, dr. M. Nur Aziz, Sp.PD dan K.H. Drs. M. Mansyur M.Ag. Dari nama program kita bisa menilai semangat program ini  seperti roda berputar yang menunjukkan gerak hidup dinamis dan memberi kemanfaatan dan kebahagiaan semua warga.

Berikut ini tulisan kedua atau sambungan dari tulisan pertama.

A. Implementasi

Implementasi yakni sebuah kegiatan mendistribusikan keluaran kebijakan yang dilakukan para pelaksana kepada kelompok sasaran sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan (Purwanto dan Sulistyastuti, 2015). Sementara itu, Van Meter dan Van Horn menyatakan implementasi kebijakan sebagai  tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu/kelompok pemerintah maupun swasta untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan (Ayuningtyas, 2019).

Baca juga :  Agar RODANYA MASBAGIA Kencang Berputar (Seri- Pertama/ Bersambung)

Implementasi kebijakan memegang peran penting sebagai jembatan antara dunia konsep dengan dunia realita, karena sebuah kebijakan tanpa implementasi atau dilakukan dengan implementasi asal-asalan maka yang terjadi semacam“macan kertas”yang garang di teks, tetapi di lapang nihil. Secara substansi, tidak ada artinya kebijakan dibuat kalau hanya pada level kertas. Setiap kebijakan harus sampai kepada policy outcome yakni suatu realisasi kegiatan yang berdampak pada tercapainya tujuan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya  (Puwanto dan Sulistyastuti, 2015).

Pelaksanaan kebijakan bukan langkah yang mudah mengingat setidak-tidaknya menyinggung prosedur (proses) dan hasil yang melekat pada kebijakan tersebut.  Prosedur menyangkut dialektika yang sedang berjalan, sedangkan hasil menyangkut baik out come maupun out put program. Out come bisa dinikmati dalam janga pendek dan out put menjadi efek dari out come. Artinya, konsep, program atau kebijakan harus bagus baik pada tataran pelaksanaan dan hasil.  Keduanya merupakan komponen kebijakan yang tidak bisa dipisahkan.

Nah, untuk memastikan bahwa pelaksanaan berjalan dengan baik beberapa pertanyaan berikut perlu dijawab. Setiap pemberdayaan membutuhkan pendampingan sosial, maka benarkah pola pendampingan untuk realisasi program sudah memenuhi aspek efektivitas dan efisiensi? Apakah pelaksana dari level konseptor sampai pelaksana lapang level bawah, benar-benar memahami karakter RT sebagai ujung tombak pemberdayaan. Pemahaman yang penulis maksud bukan hanya jumlah dan nama pengurus, tetapi termasuk karakter dari masyarakat di sana.

Keberhasilan program ditentukan pergerakan dan dinamika yang merupakan realitas lapang. Realitas lapang tidak cukup dengan profil RT yang lebih menekankan pada identifikasi administratif, tetapi yang penulis maksud social mapping yang memuat deskipsi potensi kekhasan kelurahan, kekhasan rata-rata RW, karakter RT, kebutuhan RT dan  proyeksi program unggulan. Lebih bagus lagi jika pemetaan juga menjelaskan modal manusia, modal sosial dan modal lingkungan?Tampaknya kesadaran ini sudah ada, persoalannya, sejauhmana ditindaklanjuti selama ini.

Kemudian setelah diskursus pengetahuan lapang selesai, bagaimana pengelolaan sumber daya (resources)?  Efektivitas yang benar-benar tepat sasaran, nah ketika kondisi lapang menemukan banyak perbedaan, maka apakah pelaksana program memiliki kebijakan alternatif sebagai “exit strategi”? Kemudian, organisasi dipenuhi dengan aktor-aktor beragam model baik yang ditemukan pada pemerintah maupun masyarakat. Menanggapi kondisi semacam ini bagaimana penerapan model kebijakan di lapang? memilih top down atau bottom up atau gabungan keduanya? Manakah yang akan digunakan, apakah struktur negara atau struktur masyarakat sipil?

B. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring merupakan aktivitas yang ditujukan untuk memberi informasi tentang sebab dan akibat dari suatu kebijakan. Bisa saja evaluasi dilakukan sebelum kebijakan berjalan, sedangkan monitoring dilakukan pada saat kebijakan berjalan.  Monitoring dan evaluasi (monev) sudah disadari oleh para konseptor RODANYA MAS BAGIA dalam peraturan wali kota. Misalnya, monitoring dilakukan setiap semester melalui pelaporan lurah, camat sampai ke wali kota.

Sekalipun demikian, kedua langkah di atas harus tetap dilakukan dengan serius dengan tujuan sebagai berikut,

  1. Menjaga agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran.
  2. Menemukan kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi resiko yang lebih besar.
  3. Melakukan tindakan modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring mengharuskan langkah untuk itu (Suharsono, 2006).

Selain tujuan di atas, monev mendesak dilakukan mengingat tidak ada program/kebijakan yang sempurna. Selain itu sebab-sebab kemunculan program tidak selalu ideal. Pertimbangan kebijakan bisa jadi kasuistik, hanya melihat satu kasus saja kemudian digeneralisasi menjadi suatu kebijakan tertentu.Demikian pula, subyek dan obyek pemberdayaan masyarakat yaitu manusia yang bisa berubah-ubah. Bisa jadi pada saat program diluncurkan, masyarakat tertentu mendukung, namun pada pelaksanaan malahan menjadi penentang. Karena itu evaluasi akan menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah (Dunn, 1998).

Karena itu butuh monev yang bisa dilakukuan baik infomal maupun formal. Evaluasi informal yakni seperti pertemuan para pelaksana program.  Program seperti Ngopi Bareng Pak Wali bisa digunakan sebagai alat evaluasi informal, mengingat forum dikemas serileks mungkin. Masyarakat bebas menyampaikan keluh kesah mereka dan bisa menjelaskan anomali-anomali dan ketidaksesuaian praktik kebijakan di lapang. Begitu ditemukan ada yang “tidak beres” di lapang langsung diadakan perbaikan-perbaikan.

Evaluasi informal ini pasti memiliki kelemahan karena kadang tidak dipersiapkan secara khusus, maka butuh dilengkapi dengan evaluasi formal yang berkompeten di bidang itu. Langkah yang dilakukan  dengan cara mengundang evaluator dari perguruan tinggi atau lembaga profesional tertentu.

Instrumen untuk menilai bisa dilihat dari beberapa unsur yakni efektivitas, efisiensi, ketepatan dalam menjawab masalah, pemerataan dan kepekatanggapan dan ketepatgunaan. Efektivitas menjelaskan tentang apakah hasil yang diinginkan telah tercapai? Efisiensi menjelaskan tentang seberapa banyak usaha yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Ketepatan menjelaskan seberapa tepat sebuah kebijakan dalam menyelesaikan masalah? Pemerataan menjelaskan, apakah manfaat dan biaya kebijakan sudah didistribusikan secara merata dan adil pada setiap lapisan masyarakat. Kepekatanggapan menjelaskan tentang apakah hasil sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat? Ketepatgunaan menjelaskan apakah persepsi masyarakat menyatakan bahwa kebijakan benar-benar telah memberi keuntungan dan manfaat? (Ayuningtyas, 2020).

Evaluasi dilakukan fleksibel dan menghindari kekakuan-kekakuan. Ukuran keberhasilan program bisa diubah jika dinilai terlalu tinggi atau tidak realistis di lapang, misal: Kota Bahagia harus terukur misalnya dengan indeks of happines.  Religius diukur dari indeks religiusitas, namun ketidaksiapan dengan ukuran ini bisa diganti dengan indikator-aindikator kualitatif lainnya.

Evaluasi bisa dilakukan pihak internal maupun pihak eksternal. Pihak internal yakni OPD yang memiliki kewenangan pada bidang  itu. Sedangkan pihak eksternal yakni pihak yang berada di luar pemerintah. Bisa dari konsultan pemberdayaan masyarakat dan pihak kampus. Hal terpenting yang perlu diperhatikan yakni kapasitas evaluator yang memahami pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan dalam  mengevaluasi sebuah program/kebijakan.

Evaluasi  juga bisa  dilakukan secara informal. Misalnya, melalui koordinasi rutin, pihak-pihak yang berkompeten akan mampu menangkap persoalan-persoalan yang terjadi di lapang. Evaluasi bukan hanya diskusi atau sambung rasa tetapi benar-benar sebagai mekanisme menangkap dan menilai persoalan substansi yang akhirnya ditindaklanjuti perbaikan-perbaikan.

Tidak ada artinya evaluasi tanpa tindak lanjut (follow up), maka pelaksana pemberdayaan terutama pada level paling bawah, perlu  diapresiasi.  Lomba merupakan strategi yang bisa dilakukan untuk memotivasi para pelaksana pemberdayaan di lapang. RT yang memenangkan kompetisi harus memperoleh reward sedangkan RT yang tidak aktif mendapat punishment berupa pembinaan atau pendampingan lanjutan.

Akhirnya, analisa kebijakan yang penulis buat ini sejatinya memberi gambaran yang mampu menimbang kebijakan yang dirunut dari formulasi sampai monitoring-evaluasi. Kini, setelah memahami analisa kebijakan tersebut siapapun bisa memantapkan konsep pemberdayaan. Perubahan itu kini berada pada pengambil kebijakan. Akankah gagasan dalam tulisan ini  akan dilaksanakan atau hanya sekedar pengetahuan kognisi tanpa praktik? Wallahu a’lam bish-shawab.(TAMAT)

Rachmad K. Dwi Susilo, M.A, Ph.D

Penulis lahir dan besar di Kota Magelang, Dosen Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Alumni Public Policy and Social Governance, Hosei University, Jepang

 

Referensi:

  1. Agustino, Leo. 2020. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
  2. Ayuningtyas, Dumilah. 2018. Analisis Kebijakan Kesehatan: Prinsip dan Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
  3. Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
  4. Hanum, F. (2019). Analisis Pelaksanaan Peraturan Walikota No. 40 Th. 2014 Tentang Pedoman Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Di Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. Jurnal Mediasosian: Jurnal Ilmu Sosial dan Administrasi Negara, 3(2).
  5. Purwanto, Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2015. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Penerbit Gava Media: Yogyakarta
  6. Subarsono, 2006. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  7. Suara Merdeka, Pemkot Magelang Bekali Pokmas Materi Rodanya Masbagia, Asef Amani, Senin, 7 Februari 2022

 

basic needs janji pemerintah Kota Magelang Magelang Smart City Magesty Maju Sehat Bahagia pemberdayaan Pemkot Magelang produktif Program Pemberdayaan Masyarakat Rodanya Mas Bagia Wali Kota M. Nur Aziz

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts