“Nyengget” Untuk Kemajuan Magelang
Kata nyengget menjadi begitu akrab di telinga penulis hari-hari ini. Penulis mendengar dan mulai merenungkan sejak mengikuti TAD (Tela’ah Ahad Dhuha-semacam pengajian online) Karisma Bulan Ramadan atau April 2022 lalu. Pemateri pada pertemuan itu, Wali Kota Magelang yang memaparkan strategi untuk membangun kota. Setelah orang nomor 1 di Kota Magelang tersebut menyampaikan materi kurang lebih 15 menitan, kemudian dibuka session tanya jawab.
Nah, ada seseorang yang menanyakan pengembangan Magelang lewat pendanaan pemerintah pusat yang akhirnya pembangunan kota tidak hanya dibiayai dari dana lokal saja, tetapi juga dana-dana strategis nasional. Ending-nya, keberhasilan pembangunan bisa dipercepat, maka di sini, nyengget sebagai salah satu “ikhtiar” untuk kepentingan publik mulai menancap di benak penulis. Dari sini sejatinya mencari dana di luar dana rutin dengan cara membuat proposal dan mengajukannya kepada pemilik dana merupakan salah satu maksud nyengget itu.
Dalam kasus yang hampir sama, kata nyengget juga sesuai dengan kunjungan penulis minggu lalu ke Jakarta. Penulis mendapat undangan untuk hadir dalam Acara Magelangan Charity di Pondok Indah Golf Course, Jakarta Selatan tanggal 22 Juni 2022. Acara ini merupakan ajang kompetisi golf yang diikuti kebanyakan warga Kota Magelang yang diinisiasi Ikatan Alumni SMAN 1 Kota Magelang (IKA Smansa Tama) yang bekerja sama dengan beberapa BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Panitia yang terlibat di antaranya orang-orang yang memiliki sumber daya (resources) di Jakarta, baik di Kementerian maupun lembaga negara lain.
Undangan ini bermaksud mengenalkan penulis kepada warga Magelang yang tinggal di Jabodetabek. Beberapa tujuan terkait perjalanan ini baik secara emosional dan instrumental. Secara emosional, penulis adalah alumni SMA Negeri 1 Magelang yang otomatis anggota IKA Smansa Tama, maka tidak elok anggota tidak mengenal pengurus. Secara instrumental, dari pertemuan ini penulis berharap mendapat sumber daya. Bukanlah sumber daya untuk penulis pribadi tetapi untuk membesarkan Karisma Institute, organisasi yang melakukan studi-studi Magelang. Sekalipun tidak bisa dipungkiri terdapat hukum strukturasi, sebagai agensi pasti penulis memperoleh keuntungan dari bekerjanya struktur ini.
Namun, jika dikaitkan dengan judul di atas bisa ditafsirkan, penulis bermaksud menjajaki sumber daya di ibu kota yang bisa ditransfer untuk pekerjaan sociopreneurship kawan-kawan Karisma Institute di Kota Magelang. Misi penulis yakni mengundang partisipasi warga Magelang di perantauan (diaspora) demi mendapat sumber daya baik berupa jejaring sosial, uang atau fasilitas demi pekerjaan berbasis komunitas.
Untuk itu penulis mengenalkan profil dan kegiatan Karisma Institute demi mendulang simpatik para pemilik sumber daya (resources). Presentasi atau pertemuan merupakan “pintu masuk” meyakinkan para pemilik sumber daya untuk “berinvestasi” di kota kelahiran, Magelang. Pertemuan “singkat” itu diharapkan mampu membangun kepercayaan dan membawa sumber daya, harapan kami sejatinya banyak yang bisa dikerjakan di kota kelahiran ke depannya.
Penulis menyadari bahwa menghasilkan sesuatu (output) dari pekerjaan ini tidaklah sederhana. Berdasar pengalaman dan pengetahuan penulis mengembangkan modal sosial (social capital), sejatinya pekerjaan ini tidak sekali jadi. Banyak proses dan tahapan yang harus dilewati dan dibutuhkan “kecerdasan” membaca kompleksitas arah interaksi sosial dan sekaligus strategi mengikat. Poin-poin penting itu haruslah dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
Untuk itu, tulisan ini sengaja dibuat sebagai sebagai bentuk perenungan dan kontribusi penulis demi memperlakukan nyengget ini. Untuk itu akan diulas, apa sejatinya nyengget? Bagaimana agar nyengget kita berhasil guna dan berdaya guna?
Perspektif Sosiologis Nyengget
Untuk memahami konsep ini mungkin tidak sulit bagi Masyarakat Jawa. Gambaran paling mudah yaitu pengalaman masa kecil kita. Kita sering mengisi waktu luang untuk mengambil buah-buahan dai pohon bisa milik kita atau milik tetangga. Biasanya pohon ini letaknya di atas yang sulit dijangkau oleh tangan kita. Karena letaknya jauh, maka perlu alat sengget. Senggetan alat terbuat dari bambu atau kayu atau apapun yang mudah ditemukan, agar bisa menggapai buah tersebut. Biasanya ujungnya keranjang kecil untuk kepentingan menangkap buah tersebut. Nah, tujuan nyengget mendapatkan buah atau sesuatu yang ditargetkan.
Nyengget dalam kehidupan sosial juga memiliki kesamaan dengan mengambil buah pakai sengget. Karena melalui dengannya, kita akan mendapat sesuatu bisa berbentuk material dan non-material. Tanpa nyengget, social capital tidak ada bisa bergerak alias off. Sekalipun kita tahu bahwa yang kita sasar memiliki sumber daya, tetapi tidak mudah mendapatkan capaian tersebut. Dibutuhkan upaya-upaya yang tidak mudah. Keputusan tetap tergantung pada aktor pemilik sumber daya. Bisa jadi output akan didapat setelah tawar menawar, negosiasi, dan kesepakatan yang panjang. Di sinilah profesionalisme sejatinya dibutuhkan bersama.
Kita perlu belajar banyak pada teori pilihan rasional (rational choice theory) menjelaskan tentang interaksi manusia yang dipenuhi dengan motif dan kepentingan-kepentingan tertentu. Tidak heran ia memiliki beberapa asumsi, yaitu asumsi intensionalitas (maksud), asumsi rasionalitas, perbedaan antara informasi yang sempurna/tidak sempurna, antara resiko dan ketidakpastian; perbedaan antara tindakan strategis dan saling ketergantungan (Wirawan, 2015: 210).
Strategi Nyengget
Secara sosiologis, nyengget bukanlah soal yang mudah. Jelas tidak sama antara nyengget buah rambutan dengan nyengget sumber daya tertentu yang melibatkan manusia. Manusia adalah makhluk cerdik yang sulit ditebak dan diramalkan. Berangkat dari hal tersebut, tidak ada salahnya beberapa hal berikut perlu diperhatikan dan diikuti.
Pertama, Objek yang dipertukarkan. Jika objek yang dipertukarkan sederhana dan target juga tidak terlalu tinggi, pertukaran sosial jauh lebih mudah dan gampang diikuti. Gampangnya, jika hanya mengundang seseorang hadir pada acara adat itu tidak sulit, tapi mengharapkan pihak tersebut menyumbangkan uang atau kendaraan tertentu belum tentu mudah. Teman di Kota Batu menyatakan, kerja dengan politisi agak sulit. Kadang mau kerjanya, tapi uangnya seret. Padahal sudah disepakati di awal pertemuan.
Nah, tergantung apa target kita dalam interaksi tersebut. Di sini kita harus menghitung kekuatan demi berat/ringannya bobot pertukaran sosial. Keputusan yang menuntut pertaruhan menciptakan ketidaksepakatan-ketidaksepakatan. Kenapa demikian? Soalnya memberikan keputusan mengeluarkan uang. Bukan persoalan aktor yang berinteraksi tidak punya uang, tapi mengeluarkan uang itu pertimbangan rumit.
Dalam Money: Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan, Sejarawan Yuval Noah Hariri menyatakan, bahwa uang merupakan sistem saling percaya yang paling universal dan paling efisien. Kepercayaan ini dibentuk oleh jalinan relasi-relasi politik, sosial, dan ekonomi yang rumit dan bersifat jangka panjang (Harari, 2018: 15). Nah, bagaimana rasionalisasi pertukaran sosial dipahami oleh aktor-aktor?
Kedua, Aktor-Aktor yang Berinteraksi. Aktor yang berinteraksi bertindak sebagai pemberi dan penerima pesan. Pesan merupakan pintu masuk nyengget. Pemberi pesan yakni pihak yang memiliki inisiatif membangun komunikasi dan interaksi sosial, sedangkan penerima pesan yakni pihak yang menjadi sasaran pengirim pesan. Hukum pertukaran sosial menyatakan bahwa yang berkepentingan utama adalah pihak menginisiasi, kemudian semua pihak pasti memperhitungkan, akan mendapat apa?
Ungkapan yang sering kita dengar yakni “tidak ada makan siang yang gratis” menjelaskan, bahwa pada dasarnya pasti semua individu memiliki pamrih untuk mendapat sesuatu. Kalau sumber daya tidak cukup untuk dirinya semata, maka komprominya akan dibagi bersama. Stephen R Covey menyatakan sebagai “win-win solution” (Covey, 1997).
Dalam pertukaran sosial, moralitas tidak terlalu penting yang utama yaitu seberapa banyak kontribusi dinikmati aktor-aktor berinteraksi itu. Inilah yang perlu kita perhitungkan sendiri. Interaksi sosial memiliki target untuk mendapat sesuatu.
Ketiga, Jeratan Sistem. Sekalipun pada kenyataannya pertukaran sosial merupakan ranah dimensi mikro individu, namun, pertukaran sosial tidak steril dari pengaruh mikro makro multidimensi, seperti sosial, politik, dan ekonomi. Kita pertimbangkan proses yang sudah on the track, tetapi tetap saja ada ketidakpastian yang menyebabkan kemungkinan rancangan bisa membelok ke arah yang tidak menguntungkan atau malahan blunder bagi kita.
Dalam dunia politik, seseorang yang dijanjikan sebagai menteri sehari sebelum pelantikan, tetapi saja bisa berubah pada detik-detik terakhir disebabkan intervensi atau lobi orang “kuat” tertentu. Juga, banyak orang filantropis yang punya duit, namun belum tentu mereka melepaskan uangnya untuk kepentingan kita. Maka dari itu, faktor makro inipun perlu diperhitungkan sebagai penentu pertukaran sosial.
Para pelaku dituntut melakukan penyesuaian, bahkan jika perlu agresivitas dalam kerja tim. Dengan pembagian kerja (the division of labor) yang cerdas, kita akan mudah mencapai tujuan dan target direncanakan. Satu keterbatasan akan dilengkapi kelebihan dari individu yang lain. Itupun terus-menerus, jika jangka pendek belum menampakkan hasil, perlu diupayakan berulang-ulang sampai menunjukkan hasil. Semoga. (*)
Rachmad K.Dwi Susilo, Ph.D*
*Penulis adalah Dosen Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur dan lulusan Ph.D dari Hosei University Jepang.