Dosen Fakultas Psikologi UP45 Yogyakarta Sapta kurniawati SPsi MPsi

Pendidikan Inklusif Menuju Layanan tanpa Diskriminatif

Opini

Oleh: Sapta kurniawati S.Psi.M.Psi*

 

Pendidikan inklusif adalah pembelajaran yang dilakukan siswa regular bersama dengan anak berkebutuhan khusus dan mereka belajar dalam satu kelas. Pendidikan pola tersebut sudah diatur dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, pasal 2, disebutkan bahwa pemerintah mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Dalam mengaplikasikan Permendiknas tersebut, pendidik dan seluruh siswa diajak menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif. Ini tidak hanya dalam tataran teori, namun juga mempraktikannya. Mereka diajak bagaimana mewujudkannya dalam terapan proses pembelajaran di kelas, ketika guru kelas masih mengalami kebingungan dalam menerapkannya.

Baca juga :  Memupus Mitos Kota Pensiunan: Kontribusi Pemikiran untuk Kota Kelahiran

Tidak semua guru sudah menguasai dan mengaplikasikan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tersebut. Masih banyak dijumpai, kebingungan yang terjadi, dan bagaimana menstimulasi tahap perkembangan kognitif maupun perkembangan lainnya saat jumlah kelas besar, di mana jumlah siswa antara 25 hingga 30 anak.

Bila menemui ada guru kelas yang kesulitan melauani seluruh siswa, itu adalah hal wajar. Terutama melayani seluruh siswa pada saat pembelajaran. Banyak guru yang mengalami kesulitan menerapkan tidak diskriminatif dalam hal pelayanan meningkatkan kemampuan siswa dalam akademik.

Seperti semua tahu, masih dijumpai sekolah inklusi yang sebagian belum memliliki guru berkebutuhan khusus atau shadow teacher, sehingga guru kelas tugas bertambah dalam mengajar.

Proses penambahan itu sekilas sangat sederhana. Padahal, melihat satu kasus siswa anak berkebutuhan khusus saat tantrum, tentu tidak sederhana yang dibayangkan.

Pengalaman penulis, saat ada siswa berkebutuhan khusus mengalami tantrum karena mendengar suara musik dari luar kelas, dia bisa menangis antara 15 -20 menit. Hal tesebut, akan berakibat pada guru mengalami jeda melayani siswa lain, dengan waktu yang sama, antara 15-20 menit, karena dia harus menenangkan siswa berkebutuhan khusus tersebut.

Bila kejadian seperti itu, satu kali saja, mungkin tidak masalah. Namun, kasus-kasus seperti itu bakal terjadi di masa mendatang, atau seringkali, seiring kehadiran siswa berkebutuhan khusus tersebut. Tentu saja bukan niatan menyalahkan kejadian tersebut atau siswa berkebutuhan khusus tersebut, namun pihak sekolah atau guru harus memiliki solusi ke depan bila menghadapi kasus-kasus semacam itu. Apalagi, saat capaian pembelajaran belum sama, tentu perlu jawaban atas pertanyaan, bagaimana cara guru menurunkan indikator dalam setiap tema pembelajaran butuh waktu tersendiri dan tenaga lebih dari biasanya.

Sebenarnya, ujung dari solusi yang perlu diterapkan adalah bagaimana menciptakan pendidikan berkualitas seperti tersebut dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, Bab IV Pasal 5 Ayat 1, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Harus diakui, perjuangan pembuat kebijakan sudah luar biasa dengan menghadirkan program sekolah inklusi. Namun, dalam aplikasi di sekolah, tentu harus sesuai dengan tujuan menghadirkan Pendidikan berkualitas tersebut. Penulis berharap, semoga ke depan, selalu ada perbaikan kebijakan dan akan menjadikan Pendidikan Indonesia terus bertambah baik. Sekian. (*)

 

* Penulis adalah Dosen Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi (UP45) Yogyakarta dan Praktisi Pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

ABK anak berkebutuhan khusus dosen Fakultas Psikologi inklusif Nomor 70 pasal 2 diskriminatif pendamping pendidikan Permendiknas praktisi Sapta kurniawati SPsi MPsi siswa regular Tahun 2009 Universitas Proklamasi UP45 Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts