Penulis menekuni Kajian Sosiologi Pembangunan dan Lingkungan yang berorientasi Terapan dan Praksis.

Memupus Mitos Kota Pensiunan: Kontribusi Pemikiran untuk Kota Kelahiran

Opini

oleh:

Rachmad K. Dwi Susilo, MA, Ph.D*

 

Kegiatan Peningkatan Kapasitas (Capacity Building) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) se-Kota Magelang, Senin, 17 Juli 2023 yang diselenggarakan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP4KB) Kota Magelang diawali dengan permainan (game) inspiratif sebelum pemaparan wali kota, wakil walikota, dan penulis.

Setelah game Uji Kekompakan, masuklah session Kejar Pemberdayaan. Pertanyaan 1 sampai 5 terlewati dengan sangat meriah, kemudian giliran pada pertanyaan ke 6 yang berisi uji tebak lagu.

Baca juga :  Magelang Nol Sampah? Kontribusi Pemikiran Pada Kota Kelahiran

Pak Adhika Kudiarsa, Kepala Bidang (Kabid) Pemberdayaan Masyarakat, DP4KB Kota Magelang membacakan pertanyaan,

“Kota ini sangat indah, seperti semua jalan beraspal, makanan berlimpah dan udara sejuk. Keindahan kota ini mirip dengan Lagu Koes Plus yang menggambarkan tanah subur….tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman. Pertanyaannya, apa judul lagu yang dimaksud?

Panitia sengaja mengeluarkan soal ini, karena “kemakmuran” Magelang memang kuang lebihnya sama seperti lagu Koes Plus yang diciptakan oleh Group Band Legendaris ini pada tahun 1973, “Pohon, Kayu dan Batu jadi Tanaman” dan “Tiada badai dan topan kau temui,”  sebagai gambaran ideal Kota Magelang.

Yah, Kota Magelang merupakan hunian yang indah. Sepanjang penulis rutin nyambangi kota kelahiran satu setengah tahun ini, sisi positif yang harus disyukuri bahwa kota ini masih sebagai hunian “nyaman”. Udara sejuk, jauh dari polusi, jalan beraspal nan bersih, dan tidak ada jalan rusak atau berbatu (makadam). Minim genangan, banjir, tanah longsor, dan gempa bumi. Sementara itu, di kampung-kampung, warga masih kental dengan norma guyub, seperti aruh-aruh dan sambang warga sakit.

Minggu pagi warga dari kampung senam bersama. Dibantu dengan sound system buah pengajuan Rencana Kerja Masyarakat (RKM) Rodanya Masbagia (Program Pemberdayaan Maju Sehat dan Bahagia), rata-rata ibu-ibu senam rutin pada hari libur.

Selain ini, menunjukkan sisi positif berupa pola hidup sehat, mereka juga menunjukkan hidup sebagai “tonggo”, maka di sini rutinitas warga melakukan semua sebagai aktivitas yang dalam perspektif fenomenologi tidak usah dipertanyakan lagi (taken for granted).

Selain itu, dari sisi pelayanan publik, seperti pengurusan administrasi kependudukan menunjukkan perkembangan positif. Ia dilakukan secara cepat dan tidak berbelit-belit. Salah satu sebabnya, Mall Pelayanan Publik memudahkan warga pengurusan administrasi. Seperti surat izin mengemudi (SIM), kartu tanda penduduk (KTP), dan keperluan yang lain-lain.

Pengurusan surat-surat di Magelang mudah. Akses ke pusat kota sangat dekat. Tidak dibutuhkan jarak berkilo-kilo dan menempuh waktu berjam-jam. Selain birokrasi yang mulai tanggap, akses ke pusat kota relatif mudah.

Perkembangan baru yang penulis dengar, pentas musik “Magelang Night Music” digelar setiap hari Jumat, mulai 21.35 WIB di Alun-Alun Kota. Pemerintah membuka kesempatan dan kebebasan pada komunitas musik untuk berekspresi. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan Pedagang Kaki Lima (PKL) mampu menjajakan dagangannya untuk mengais rejeki.   Warga bebas untuk relaks dan menghilangkan kepenatan di akhir pekan.

Perkembangan baru lain, yaitu penataan pusat kota di Ngesengan yang berlokasi tidak jauh dari Alun-Alun Kota. Di sini, direncanakan menjadi pusat perdagangan dan keramaian baru. Pertokoan di kawasan ini bisa dikatakan berusia tua dan sekalipun jalan sudah satu arah, namun kurang mendukung untuk lalu-lalang mobil.

Kita sering kita lihat kemacetan, pemerintah memandang penting peremajaan kawasan yang lebih ramah pada pejalan kaki dan pengendara. Desain bangunan diharapkan menyerupai mall-mall di kota besar dan besar harapan kawasan ini membuat Kota Magelang lebih hidup.

Berita lain yang menggembirakan pula, setelah peremajaan Ngesengan selesai, maka kemungkinan besar “wajah” alun-alun akan diubah menjadi kawasan publik yang lebih rapi, lebih bersih, dan diproyeksi didatangi para pengunjung. Syukur-syukur warga luar Kota Magelang.

Pertanyaan-Pertanyaan Kritis

Pemaparan di atas sejatinya melihat potensi Kota Magelang yang penulis nyatakan sebagai kawasan hunian atau tempat tinggal. Sederhananya, sekelompok masyarakat tinggal atau bermukim di kawasan tertentu. Warga memenuhi segala kebutuhan, sedangkan pemerintah berkewajiban melayani dan memenuhi kebutuhan tersebut. Jamin warga untuk tidak menerima gangguan dari pihak manapun merupakan pekerjaan pemerintah.

Penulis bersama dengan Penjual Sapu Aren di Kebun Raya Gunung Tidar.

Fungsi kota sebatas memenuhi kebutuhan dasar warga, baik kebutuhan sandang, pangan, maupun papan. Untuk sekedar hiburan, cukuplah keramaian kota sekalipun belum “optimal” sudah menunjukkan kondisi tersebut.

Dalam tipologi sebagai hunian, fungsi kota hanya melakukan aktivitas rutin pemenuhan kebutuhan subsisten penduduk yang bermukim. Pemerintah kota bertindak sebagai pelayan kebutuhan dasar. Konsekuensinya, relasi yang dibangun pemerintah dengan warga pada konteks pelayanan sosial.

Sekalipun fungsi kota di atas tidak ada yang salah, tetapi menurut penulis tidak cukup. Di tengah kecenderungan warga yang tinggal di kota, sejatinya ia tidak sekedar sebagai hunian, tetapi “harus” menjadi kota yang melayani semua kebutuhan warga yang tidak sekedar kebutuhan dasar.

Pakar Kebijakan Publik, Riant Nugroho (2022) menyatakan, bahwa setidak-tidaknya pemerintah (termasuk pemerintahan kota) memiliki fungsi tiga pemenuhan kebutuhan warga yang meliputi: dapat hidup, bertahan hidup, dan memenangkan hidup.

Lebih detil, dapat hidup meliputi jaminan terhadap, nyawa, pangan layak, pakaian layak, dan hunian layak. Sedangkan bertahan hidup meliputi jaminan pada perlindungan, keadilan, kesetaraan, kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan, dan ketertiban. Sementara fungsi memenangkan hidup, terletak pada kebersamaan, pemihakan, keandalan, keberdaya-saingan, kemenangan, dan keberlanjutan.

Analisa penulis, Kota Magelang sudah memenuhi kebutuhan dapat hidup dan bertahan hidup, tetapi belum maksimal pada memenangkan hidup. Pengentasan kemiskinan dan pembukaan lapangan kerja masih menjadi prioritas pembangunan hari ini.

Gambaran memenangkan hidup bisa diwujudkan apabila Magelang sebagai kota produksi. Sederhananya, kota produksi menjadikan kota semacam pabrik yang memproduksi banyak produk. Produk tidak hanya bersifat material, tetapi juga non-material.

Kota produksi mewadahi kreativitas warga untuk melahirkan sesuatu yang berkontribusi untuk peningkatan pendapatan mereka. Selain itu, memfasilitasi perdebatan dan diskusi-diskusi mengenai kawasan yang dicita-citakan. Selain memberi fungsi pelayanan sebagai fungsi utama, ia juga menyajikan produk yang diminati tidak hanya untuk warga internal, tetapi juga siapapun pengunjung kota.

Misalnya, belajar dari best practices kota-kota lain. Warga yang ingin menikmati wisata alam atau sekedar staycation di hotel berbintang, maka mereka mendatangi Kota Batu. Warga Jawa Timur yang ingin mendatangi mall, mereka pergi ke Kota Surabaya. Atau ingin berbelanja produk-produk kerajinan khas tertentu, datang ke Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Jika sekedar ingin menikmati gudeng, mereka mendatangi ke Kota Yogyakarta.

Kota tidak sekedar sebagai tempat tinggal untuk hidup dan melakoni rutinitas sehari-hari. Rutintas kerja, rutinitas hidup bertetangga, bercengkrama dalam keluarga, atau sekedar menikmati pusat kota ala kadarnya atau murah meriah, tanpa proyeksi capaian-capaian ke depan.

Kota stagnan atau tidak produktif melahirkan pertanyaan dilema, bagaimana generasi muda yang akan mengais keuntungan dan menjadi “pemakmur” untuk yang akan datang? Ingat, peradaban datang, berganti. Kita tidak pada satu generasi, tetapi akan menjemput generasi-generasi berikutnya.

Identitas Kota Pensiunan

Untuk menuju kota produktif, kita harus membersihkan pengetahuan kolektif tidak produktif yang hidup selama bertahun-tahun. Pengetahuan yang “tidak produktif” tersebut, salah satunya, menyatakan Magelang sebagai Kota Pensiunan. Kamus Bahasa Indonesia menyatakan bahwa penisun berarti tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai.

Konteks pensiun berarti sektor formal, seperti pegawai atau karyawan. Ingat warga kota tidak hanya mengais rezeki dari sektor formal.  Lha, bagaimana wiraswasta, seniman, content creator, para pekerja sosial, dan para pekerja komunitas? Lha, bagaimana juga warga di usia produktif? Haruskah mereka pensiun “dini?”

Pensiun berarti tidur alias tidak produktif. Sekalipun tidak selamanya benar, toh masih banyak orang produktif di kala pasca-pensiun, tetapi konotasi kata ini mengarahkan warga menjadi apatis dan malas karena masuk pada tahapan hidup nonproduktif alias “menunggu”.

Pensiunan sendiri membuat masyarakat miskin persepsi ancaman (threat perception) yang produktif. Singkatnya, kata pensiun bukan kata motivasi yang mendorong masyarakat dinamis, survive, dan fight. Tidak bisa disalahkan “hegemoni” pengetahuan ini membuat orientasi warga menjangkau jangka pendek. Yang selanjutnya, diikuti gaya dan cara hidup nrimo ing pandum.

Penulis sangat memahami fenomena sosiologis ini, sejatinya bukan sebagai persoalan “mengancam” warga. Sepanjang observasi dan wawancara penulis kepada para tokoh masyarakat, jarang mendengar keluh kesah atas predikat ini. Persoalaanya, apakah ini produktif, wahai para warga yang tinggal di Pakuning Tanah Jawa?

Butuh Persepsi Perubahan

Kekhawatiran penulis, pensiunan sendiri menjelma sebagai hemoni kesadaran warga yang identik “nrimo” dan bercita-cita cekak yang berkorelasi kuat dengan mental minimalis warga yang kurang memiliki dan mengejar cita-cita tinggi.

Penulis saat berdiskusi dengan Sekda dan para staff ahli Kota Magelang.

Sekalipun anak-anak Kota Magelang, ketika menempuh pendidikan sampai kampus-kampus terkenal seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), atau Institut Teknologi Bandung (ITB), tetapi ketika mereka kembali ke kota kelahiran, tidak ada yang bisa dikerjakan ‘secara signifikan’, mereka akan nrimo.

Seorang birokrat yang merupakan lulusan luar negeri sekalipun atau pengusaha yang bolak balik ke luar negeri, kalau mendapati kota mereka “hanya begiti-begitu saja,” maka akan menikmati sebagai kota hunian. Tidak ada yang bisa disumbangkan untuk perubahan-perubahan signifikan.

Sederhananya, kenapa harus sibuk-sibuk bekerja keras, toh seperti ini saja sudah bisa hidup? Mau belanja, belajar, piknik, atau makan enak, cukuplah ke Semarang atau Yogyakarta yang tidak jauh. Maka, tidak usah neko-neko, cukuplah Kota Magelang dipelakukan sebagai artefak masa lalu, ketika masa taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), atau sekolah menengah atas (SMA), bahkan kuliah. Kita jatuh pada krisis perkotaan, yaitu hanya bermanja-manja dengan hidup di masa lalu.

Lain lagi ceritanya, kalau Kota Magelang menjelma sebagai kota jasa, di mana di dalamnya warga disibukkan dengan aktualisasi, baik untuk diri sendiri dan komunitas.

Bagi yang menekuni bidang teknologi, ia berkembang dan beraktualisasi diri dengan produk bernilai ekonomi tinggi. Warga kota sebagai pedagang sibuk melayani pembeli yang datang dan lumayan berjubel.

Revolusi Sistemik

Penulis dan mungkin para pembaca menyepakati bahwa tidak semua warga terhegemoni dengan predikat kota pensiunan. Dalam sebuah kota pasti ada aktivis atau pengusaha lokal yang sukses “menaklukan” kota. Pandangan poststrukturalisme dalam Sosiologi menyatakan kota bukan penentu, yang terpenting warga sebagai subyek perubahan. Kota apapun tidak penting, wargalah yang menjadi individu aktif. Merekalah kelompok-kelompok yang berhasil.

Tidak hanya kelompok aparatur sipil negara (ASN) di kota yang merupakan kelompok eksis kota, tetapi pendidik, pengusaha, para pekerja komunitas, seniman, pelaku home industri, mampu berkembang dan mendapati kesejahteraan seperti diharapkan.

Sebuah pandangan yang sering penulis dengar, orang-orang Magelang yang sukses tidak bisa dilepaskan dari pengalaman merantau. Merantau yang dimaksud harus tinggal untuk waktu yang cukup lama dan survive di rantauan tersebut, sama sekali tidak sama dengan orang yang rajin “studi banding”.  Terbukti di kota-kota besar, Orang Magelang terkenal sukses dan menduduki posisi yang strategis di pemerintahan pusat.

Dari sisi pemikiran para perantau, pengetahuan dan mindset lebih terbuka, sehingga mudah menerima hal-hal baru yang mengantarkan pada perubahan. Inspirasi rantauan membuat cara pandang yang lebih terbuka. Sederhananya, mereka keluar dari kejumudan, ternyata, ada kehidupan lain yang jauh lebih baik. Nalar “mbanding-bandingke” ini membuat mereka menjadi ingin kotanya seperti kota yang ideal dinilainya tersebut.

Kini yang dibutuhkan kota produktif yang sanggup mewadahi aktualisasi warga. Terkait dengan visi masa depan ini, pada sebuah diskusi segar dengan penjabat sekretaris daerah (sekda) dan dua staf ahli pemerintah kota, pada pukul 14.00 WIB, tanggal 17 Juli 2023 di Ruang Sekda, kita menemukan inspirasi baru Kota Magelang sebagai kota jasa. Jasa apakah? Pendidikan, Kesehatan, dan Kepemimpinan.

Kualitas pendidikan di Kota Magelang terkenal bagus dan kompetitif, terbukti lulusan kompetitif. Jasa kesehatan ditunjukkan dari fasilitas kesehatan yang memadahi. Sedangkan kepemimpinan telah dibuktikan kota ini sebagai kota yang telah melahirkan banyak pemimpin negeri.

Keberadaan akademi militer (AKMIL) yang berkontribusi Magelang sebagai “kawah candradimuka” para pemimpin nusantara lintas waktu.

Kini, kita membutuhkan “city branding” yang memiliki keunggulan kompetitif dan mampu menggali potensi dari internal Magelang sendiri dan mengambil keuntungan (take advantage of) dari potensi-potensi kota besar sekitarnya, termasuk mengambil keuntungan dari proyek pembangunan yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) sebagai proyek strategis nasional.

Penulis sadari, ini bukan pekerjaan sehari atau dua hari. Namun, bukan berarti do nothing ya? Watak kewirausahan sosial (sociopreneurship) dan out of the box harus sebagai etos pengambil kebijakan dan pengelola kota yang tidak lelah melahirkan inovasi. Selain itu, ia tidak lelah menyuntikkan mental kemandirian pada warga. Inisiatif dan kreativitas warga kota selalu ditempa. Mereka tidak boleh lelah mencari solusi, setidak-tidaknya demi menyejahterakan diri mereka sendiri.

Pengusaha lokal agresif memberikan bekal-bekal pada warga yang berpotensi sebagai pengusaha nasional. Sedangkan, pihak yang bergerak dalam bidang gagasan seperti intelektual, akademisi, seniman/budayawan, dan para pekerja komunitas harus bekerja berbasis aksi untuk memantik perubahan mindset menjadi lebih revolusioner dalam kebudayaan dan keberdayaan.

Kini, melalui nyawiji semua stakeholders, pemerintah harus mewujudkan semua kegelisahan, rencana, dan cita-cita ini dengan baik. Pengetahuan dan kesadaran harus menjelma menjadi rangkaian Program, Kebijakan, Implementasi, Monitoring, Evaluasi, dan Analisa keberlanjutan yang terus menerus.

Pada ngomong-ngomong klobot, penulis dengan Wali Kota Magelang pada minggu ini, beliau berulang-ulang mengatakan “bisa,” “Semua pasti bisa kita hadapi.” Semoga kata-kata “bisa” ini menjelma sebagai energi positif, direstui alam semesta dan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Semoga. (****)

 

*Penulis adalah Sekretaris Program Studi Sosiologi S2 & S3 Direktorat Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur dan Tenaga Ahli  Pemerintah Kota Magelang pada  Bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Sosial.

 

Capacity Building Dinas Pemberdayaan Masyarakat DP4KB game IDEAL inspiratif kegiatan Kota Kota Magelang Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan LPMK Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Peningkatan Kapasitas Pensiunan perempuan Perlindungan Anak permainan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts