Magelang Nol Sampah? Kontribusi Pemikiran Pada Kota Kelahiran
oleh:
Rachmad K. Dwi Susilo, MA, Ph.D*
Pembangunan berdimensi manusia (people centered development) yang ditekuni Pemerintah Kota Magelang hari ini menyasar isu-isu pencapaian kesejahteraan manusia dan partisipasi komunitas lokal yang sejati. Maka, paradigma ini tidak berambisi pada orientasi atau pengejaran pertumbuhan ekonomi atau program-program pembangunan fisik. Ia tidak anti-fisik, tetapi strategi difokuskan lebih kepada peningkatan partisipasi dari masyarakat lapis bawah (grassroots). Tidak heran jika paradigma ini memilih pemberdayaan, partisipasi komunitas dan peningkatan kapasitas dari komunitas tersebar.
Pada konteks pengelolaan kota, Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang telah dan sedang menggeluti permasalahan seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka stunting, perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH), dan penguatan isu lingkungan.
Sekalipun pada level isu, bukanlah benar-benar “baru,” sejatinya ia standar pengelolaan yang dipraktikkan oleh semua kota/kabupaten di Indonesia, tetapi dari agenda setting kebijakan kita melihat kota ini kearah sana.
Penguatan Isu Ekologi
Bahan tulisan ini dari sambang penulis ke Kota Magelang (1-3 Juli 2023) berkenaan dengan Peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 2023 yang diselenggarakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemkot Magelang. Menurut panitia, rencana kegiatan ini gelar pada 27 Juni, tetapi karena suatu hal, diundur tanggal 3 Juli atau mendekati satu bulan setelah peringatan resmi, pada tanggal 5 Juni.
Ada hal menarik dari peringatan hari penting di level dunia ini. Kegiatan ini digelar sangat istimewa, selain bertujuan memupuk semangat kepedulian pada lingkungan, juga merupakan ajang “pentas dan pameran” terkait lingkungan hidup.
Acara-acara yang ditampilkan seperti dua talk show, pameran UMKM, dan pameran produk lembaga yang bergerak di bidang konservasi lingkungan seperti Kebun Raya Gunung Tidar, Kampung Asri, dan Bank Sampah. Tidak lupa juga pemberian hadiah lomba di bidang lingkungan hidup seperti lomba bank sampah, kampung iklim, lomba Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), lomba Sekolah Adiwiyata, Kampung Organik Tingkat Pemula/ Tingkat Lanjut, Bank Sampah Tingkat Lanjut.
Pameran Lingkungan ini didukung bank sampah induk, bank sampah unit, Kampung Cantik Paten, Plaza Tani, Saka Kalpataru dari Dinas Pertanian dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Tidak ketinggalan, para fasilitator pengelola sampah menampilkan Tarian Brodut (Kobra Ndangdut), tarian khas Magelang Raya sebagai pembuka kegiatan untuk menyambut rombongan wali kota di acara.
Keistimewaan perayaan tahun 2023 ini dikarenakan banyak pihak terlibat dan hadir. Penulis mengutip pernyataan Wali Kota Magelang, saat membuka kegiatan ini sebagai kondisi “nyawiji” antar-semua stakeholders, baik pemerintah kota dengan aktivis-aktivis yang lahir di masyarakat.
Kegiatan ini terselenggara sebagai buah kerja sama DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Kota Magelang dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Penulis berkesempatan meramaikan dengan mengisi talkshow mengenai pengelolaan sampah. Kali ini, panel bersama Ibu Niken, istri Wali Kota Magelang yang juga selaku Duta Bank Sampah. Talkshow mendiskusikan pontensi, kendala, dan tantangan permasalahan sampah dengan menitikfokuskan kepada pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan bank sampah yang berkelanjutan. Tidak lupa istri orang nomor satu di Kota Magelang ini mengulang-ulang satu prinsip penting bagi warga dan para aktivis, yaitu “Sampahku Tanggung Jawabku“.
Isu ini menarik dan penting bagi Kota Magelang karena mengacu pada RPJMD 2021-2026, Kota Magelang masih memiliki permasalahan lingkungan, yaitu tingginya pencemaran air, meningkatnya pencemaran udara, masih kurangnya proporsi ruang terbuka hijau publik, belum optimalnya pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3), terjadinya kerusakan tanah/lahan, dan belum optimalnya pengelolaan sampah.
Setiap hari, 65 – 67 ton sampah dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banyuurip. Dua tahun lagi, TPA ini harus ditutup. Sementara itu, Bank Sampah yang sudah berdiri di Kota Magelang meliputi Magelang Utara sebanyak 23 bank sampah, Magelang Tengah ada 39 bank sampah, dan Magelang Selatan memiliki 8 bank sampah.
Pihak DLH Kota Magelang menyatakan, hanya sekitar 3,2 % sumbangan bank sampah dalam mengurangi volume sampah di kota ini. Selain itu, tidak mudah mempertahankan jumlah bank sampah yang beroperasi, mengingat kerelawanan sosial menjadi persoalan rumit di tengah kota ini yang merangkak kapitalis.
Belum lagi kita membicarakan aspek dari kualitas masing-masing yang tentunya butuh “banyak” inovasi dan perbaikan. Kenapa demikian? DLH Kota Magelang menyatakan, masih ditemukan kendala-kendala mengenai sarana prasarana pengelolaan, kurang koordinasi antar-pengelola sampah.
Istri Wali Kota Magelang Niken banyak memaparkan permasalahan dan memotivasi aktivis bank sampah di kelurahan untuk tetap menggerakkan dan mendinamisir bank sampah. Dorongan ini dilatar-belakangi sedikit keprihatinan dan kekuatiran, jika jumlah bank sampah turun.
Sementara itu, penulis sendiri mengangkat isu pengelolaan sampah secara sosiologis dan kelembagaan. Paparan lebih banyak pada kaitan isu sampah global, nasional, sampai kepada lokal. Materi penulis lebih fokus kepada “penyadaran” arti penting kepedulian atas pengeloaan sampah dari rumah tanggal sampai ke pengelolaan akhir sampah.
Permasalahan sampah menjadi keprihatinan banyak pihak, karena merupakan produk aktivitas manusia yang tidak selesai-selesai. Sepanjangan ada kehidupan atau aktivitas manusia, sampah akan menjadi persoalan yang dituntut penyelesaian secara tuntas.
Analisa Persampahan
Sampah plastik menyumbang 80% dari semua polusi laut dan sekitar 8 – 10 juta metrik ton plastik berakhir di lautan setiap tahun. Bahaya sampah plastik bisa kita lihat dari fenomena berikut, setidaknya butuh 500-1.000 tahun untuk terurai.
Laporan World Bank per 2016, total sampah plastik menyumbang 12% dari komponen penyebab pencemaran lingkungan. Prediksi angka 70% pada 2050 plastik kemungkinan besar akan melebihi semua ikan di laut. (https://oceanliteracy.unesco.org/plastic-pollution-ocean).
Data dari UNEP (United Nations Environment Programme) menyatakan, hari ini warga dunia memproduksi 400 juta ton sampah plastik setiap tahun yang diperkirakan produksi global plastik primer diperkirakan mencapai 1.100 juta ton pada tahun 2050. Kondisi yang menguatirkan dari 7 miliar ton sampah plastik yang dihasilkan kurang dari 10 persen sudah didaur ulang. Setiap tahun, sekitar 8 juta ton sampah plastik lolos ke lautan dari negara-negara pesisir.
Sampah menjadi permasalahan bersama dilihat dari berbagai aspek. Aspek Sosiologis seperti pemilihan tempat pengelolaan yang tidak tepat memicu terjadinya konflik sosial. Sindrom NIMBY (Not in My Backyard) menjadi salah satu analisa. Inti dari pandangan ini sampah merupakan barang tidak berguna yang dianggap mengganggu dan harus dijauhkan dari tempat tinggal kita.
Konsekuensi dari ini, tempat pembuangan atau pengelolaan sampah pasti menjadi kawasan yang “tidak dikehendaki” rata-rata masyarakat. Permasalahan pengelolaan sampah di Jepang terjadi pada pembakaran sampah (1970), pembuangan sampah desa di desa (1980) menjadi contoh tersebut.
Demikian juga protes sosial akibat sampah yang pernah terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul dan ketidaknyamanan masyarakat sekitar di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tlekung, Kota Batu, Jawa Timur menjadi ancaman di depan mata yang harus dituntut penyelesaiannya.
Aspek Ekologis, di mana menitikberatkan pada penyegaran pengelolaan sampah sebagai masalah lingkungan. Ini dilakukan, mengingat sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik sebagai penyumbang pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change).
Secara ekonomi, jika dikelola baik sampah akan mendatangkan keuntungan ekonomis. Sampah plastik yang bisa dikelola sesuai dengan standar perusahaan daur ulang, bakal menjadi lahan bisnis recycle yang otomatis berkontribusi pada beban bumi akibat sampah. Di sinilah, strategi bisnis harus sama agresif dengan strategi budaya. Menguangkan atau mengkapitalsiasi sampah menjadi strategi pengeloaan.
Diskusi
Untuk mengomunikasikan isu-isu lingkungan sejatinya tidak sulit bagi warga Kota Magelang. Kota ini memiliki potensi pendukung dan icon-icon ekologis seperti Kebun Raya Tidar, Penghargaan Adipura, dan Pohon Dewandaru yang masih tumbuh di TKL Eco-Park. Icon-icon tersebut memudahkan kita melakukan sosialisasi soal isu lingkungan pada semua pihak. Bahkan, semua itu tidak menyinggung sampah secara spesifik, tetapi ingat, isu Ekologis terbalut satu sebagai kesatuan ekosistem.
Introduksi Teknologi Persampahan
Teknologi pengelolaan sampah menjadi instrumen utama yang membantu aktivitas manusia secara signifikan. Penulis mendengar sudah banyak intervensi teknologi tepat guna untuk menjadikan sampah sebagai barang yang bisa dimanfaatkan kembali.
Kini, tergantung analisa kita pada kapasitas teknologi dan pengembangan teknologi tersebut. Hal yang tidak boleh dilupakan teknologi tidak boleh meninggalkan sumber daya manusia (human resources), maka aspek sosiologis dari teknologi seperti kelembagaan dan keberlanjutan teknologi harus dipertimbangkan masak-masak.
Pendekatan Ekonomi Sirkuler
Mengganti sampah menjadi cuan sebagai pendorong utama pengelolaan sampah. Kali ini, sampah diputar dari wilayah hulu sampai wilayah hilir menggunakan prinsip ekonomi sirkuler yang menggantikan ekonomi linier yang memiliki kelemahan yaitu keruk, produksi, jual, pakai, dan buang.
Dalam buku Ekonomi Sirkuler Solusi Krisis Bumi (2022), Sony Keraf menyatakan, ekonomi sirkuler menuntut dua hal yaitu penerapan paradigma 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery, dan Repair) dan prinsip pencemar membayar (polluters pay principle). Penerapan Paradigma 5 R Reduce (gunakan barang bekas untuk menguangi barang), Reuse (menggunakan kembali barang kebutuhan), Recycle (proses daur ulang), Repair (diperbaiki), dan Remanufacturing (mengirim barang ke produsen agar direproduksi kembali).
Sementara itu, polluters pay principle dilakukan dengan penarikan retribusi kepada produsen sampah-sampah plastik. Kini, tinggal pemerintah daerah membangun relasi dengan korporasi-korporasi daur ulang agar mereka bersedia membeli sampah yang diproduksi. Jika korporasi tidak sanggup, solusinya adalah mekanisme kompensasi. Kompensasi ini jelas akan menguntungkan, baik pemerintah maupun warga kota.
Strategi Kultural, Struktural, dan Kelembagaan
Strategi kultural adalah penguatan etika lingkungan dalam bentuk slogan-slogan seperti 3R (reduce, reuse, dan recycle) dan 5R (reject, reduce, reuse, recycle, dan repair) sebagai gaya hidup zero waste. Semuanya berbasis nilai-nilai sosial ekologis yang dikampanyekan kepada semua pihak. Etika lingkungan, misalnya membawa nilai-nilai agama dalam praktik. Etika lingkungan yang familiar di kalangan warga miskin, yaitu kebersihan sebagian dari iman, sedekah sampah, kepanjangan Sampah sebagai Semoga Allah Melimpahkan Pahala Atas Hamba-Nya, atau konsep Hamemayu Hayuning Bawana yang berisikan pesan untuk selalu membuat jagat alam menjadi semakin baik, semakin bagus untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.
Sedangkan, strategi struktural adalah mencari solusi sampah dengan mengoptimalkan struktur relasi dengan pihak-pihak yang berkuasa dan memiliki sumber daya (resources) seperti mengaitkan antara pemerintah dengan korporasi. Prinsip pencemar membayar (polluters pay principle) bisa digunakan sebagai acuan dan target dari penyelesaian masalah.
Sementara itu, strategi kelembagaan yang dimaksud adalah menghubungkan antara organisasi-organisasi baik formal/non-formal yang sudah berjalan. Misalnya, organisasi di sektor hulu seperti organisasi pengelola sampah rumah tangga (komunitas) harus sampai kepada pengelolaan di TPA di Banyu urip, Kabupaten Magelang. Pengelolaan ini harus ditangani pemerintah mengingat amanat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pada Pasal 5 menyatakan, pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan. Dari regulasi ini kita simpulkan, bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah itu di tangan pemerintah.
Butuh Penguatan
Kemudian pengelolaan organisasi yang bergerak dalam bidang persampahan bukan perkara mudah. Persoalan human capital dan social capital penggiat dan sustainability keorganisasian menjadi persoalan klasik yang tidak mudah dipecahkan.
Pada talkshow Peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia di Kota Magelang, satu peserta bertanya tentang strategi memberdayakan anggota, mengingat tidak mudah mengajak mereka aktif pada kegiatan berbasis kerelawanan.
Untuk itu, diperlukan penguatan kapasitas dari para pelaku bank sampah. Konsistensi program menjadi persoalan serius, maka penguatan kapasitas harus dilakukan secara berulang-ulang. Kontinuitas kegiatan sebagai bagian dari gerakan lingkungan bertujuan mengubah keadaan. Memang, proses tidak alamiah, didesain secara ketat, dan penuh dengan strategi.
Persoalan sosiologis kelembagaan tidak hanya di Kota Magelang, hampir semua kota-kota dunia mengalami permasalahan pengelolaan sampah sebagai masalah kolektif. Untuk itu, edukasi dan strategi pengelolaan berkesinambungan mutlak dan tidak bisa ditunda-tunda.
Warga dididik untuk memahami resiko-resiko ekologis jika sampah plastik tidak tertangani, bahaya sampah plastik dan bagaimana penanganan yang harus dilakukan baik di tangan pemerintah daerah maupun komunitas.
Banyak cara yang ditempuh untuk pengarusutamaan (mainstreaming) pengeloaan sampah ini. Kita harus merebut ruang dunia simbolik melalui media mainstream dan media sosial dengan tidak melupakan dunia dunia nyata sehari-hari. Semoga. (***)
Penulis adalah Dosen Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA) pada Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Tenaga Ahli Pemerintah Kota Magelang pada Bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Inovasi Sosial.