Social Engineer, Warga Negara dan Sosiolog yang Baik
oleh:
Rachmad Kristiono Dwi Susilo, Ph.D*
Kunjungan ke kota kelahiran, 7 sampai 9 Februari 2025 telah menyisakan kesan mendalam bagi Penulis. Bukan saja karena saat itu, cuaca di Kota Magelang sangat cerah dan tidak hujan, namun dalam waktu yang sangat pendek, Penulis berhasil bertemu dengan beberapa orang “penting” di kota kelahiran.
Jelas motivasi utama sambang Kota Magelang menjelang bulan puasa ini ingin bertemu dengan ibu dan anggota keluarga lain. Kemudian, Penulis menyempatkan diri sekalian bertemu dengan Pak Dokter Aziz (Wali Kota Magelang 2021-2025), Bendahara Kampung Religi Ganten, Jurang Ombo Selatan, dan Mas Hariyadi, Mantan Ketua RW dan Pengurus LPMK Kelurahan Tidar Selatan, dan Kepala Dinas DPM4KB (Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, Dan Keluarga Berencana Kota), serta asisten wali kota.
Bagi penulis, berdiskusi dengan tokoh-tokoh penggerak Kota Magelang tersebut asyik, karena ada tantangan membangun mozaik pengetahuan mutahir tentang Kota Magelang kemarin, hari ini, dan yang akan datang. Ia merupakan kekayaan luar biasa yang dimiliki perangkat negara dan perangkat masyarakat sipil dan masyarakat lokal.
Status Ganda di Kota Magelang
Terpilihnya dr Muchammad Nur Aziz Sp PD, K-GH, FINASIM dan KH. Drs M. Mansyur MAg, sebagai pasangan kepala daerah Kota Magelang, telah menambah status Penulis bukan lagi sekedar sebagai perantau Kota Magelang yang bekerja di Kota Malang, tetapi juga Tenaga Ahli Pemerintah Kota Magelang dalam bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Inovasi Sosial. Tetapi juga tenaga ahli yang mengembangkan strategi perubahan sosial di Kota Magelang. Perekeyasa sosial (social engineer) sejatinya bekerja membantu pemerintah untuk menghasilkan perubahan seperti dikehendaki.
Pekerjaan social engineer yaitu melakukan rekaya sosial, di mana salah satu definisinya merupakan berbagai upaya negara melalui kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengarahkan perkembangan masyarakat ke arah yang diinginkan. Dengan demikian, target akhir rekayasa sosial yaitu perubahan sosial (Tirtosudarmo, 2021).
Dengan demikian, hati, mata, telinga, dan pikiran selalu difokuskan untuk menggali data, menganalisa, dan berakhir dengan memberi masukan-masukan atau rekomendasi kepada pemerintah. Penulis juga terlibat pada kegiatan praktis dan praxis seperti mengisi acara Bank Sampah, aktivis Rodanya Masbagia (Program Pemberdayaan Masyarakat Maju Sehat dan Bahagia), aktivis Progamis (Program Magelang Agamis), Aktivis Kampung Religi, Aktivis LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan), dan aktivis LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat).
Data-data yang penulis gali dari SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) yang meliputi: BAPPERIDA (Badan Perencanaan Pembangunan dan Riset Inovasi Daerah), DPMP4KB, Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Kota Magelang, Dinas Lingkungan Hidup dan Bakesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa Politik Dan Perlindungan Masyarakat), serta pihak kecamatan dan kelurahan. Sementara dari aktivis masyarakat, penulis intens bekerja sama dengan para aktivis LKM.
Data-data dianalisa, dilakukan cek dan ri-check yang akhirnya disusun rekomendasi agar pemerintah memahami langkah-langkah yang harus dieksekusi demi mencapai tujuan program. Proses integrasi intelektual dan lapang semacam bisa hanya sekedar wawancara, studi dokumen, dan observasi lapang atau dengan penelitian intensif. Pada acara Karisma (Keluarga Remaja Islam Magelang), penulis pernah menyampaikan presentasi Maret 2024 berjudul “Skema Progresif Pemberdayaan Masyarakat berbasis Komunitas di Kota Magelang.” Webinar ini diikuti oleh warga perantauan (alumni SMAN 1 Kota Magelang) dan sebagian besar birokrat Pemerintah Kota Magelang. Banyak pembentukan pengetahuan bersama (co-construction) dan tukar pikiran gagasan segar yang didiskusikan pada pertemuan itu.
Senada dengan hal ini, Penulis mendapat kepercayaan dari BAPPERIDA untuk melakukan penelitian evaluasi Programis (Program Magelang Agamis) yang sudah dicanangkan pemerintah selama 3 tahun. Di sini, Penulis melakukan wawancara, observasi dan FGD (Focus Group Discussion) besar dan FGD kecil untuk menghasilkan rekomendasi agar program yang bagus ini sesuai, tepat dan melahirkan dampak positif bagi warga serta berkelanjutan.
Dalam riset ini tidak hanya kepala daerah dan SKPD-SKPD yang kita evaluasi, tetapi termasuk organisasi masyarakat seperti Kelurahan, Kampung Religi dan FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama).
Strategi sosiologi yang Penulis tempuh, bukan sebagai “pejabat” yang mengawal wali kota untuk kegiatan-kegiatan seremonial atau sebagai “pengkotbah” yang menebarkan ide-ide abstrak yang sangat akademik, tetapi cenderung otoriter dan menghegemoni pengetahuan warga. Penulis memilih peran sebagai pencerah yang menebarkan ide-ide kebaikan yang kemudian dipraktikkan pada kelembagaan. Melalui implementasi program unggulan kota, sosiolog bekerja: menganalisa mengkritisi, mengevaluasi dan mendorong perubahan-perubahan. Program-program tersebut merupakan keinginan baik negara/pemerintah bagi warga. Oleh karena itu, strategi tidak boleh konvensional. Dalam sebuah program peningkatan kapasitas pengurus LPMK dan pendamping Rodanya Masbagia penulis mengkreasi permainan (games) cerdas dan segar sebagai strategi menginternalisasi nilai-nilai dan target kegiatan.
Penulis berdialog dengan semua pelaku pembangunan, maka analisa dan rekomendasi Penulis publikasikan melalui media online Jogjainsight.com, sudah ada sekitar 30 tulisan yang membahas perkembangan kota ini, sehingga para pembaca terbuka mengkritisi dan memberikan koreksi-koreksi tulisan yang dihasilkan. Kemungkinan kita berbeda pandangan, maka hasil bacaan para stakeholders didiskusikan. Penulis berharap semua pihak yang bersentuhan dengan pembangunan di kota kelahiran (birokrat, tokoh masyarakat, aktivis civil society organization) memahami masukan-masukan Penulis. Kelak tulisan ini menjelma sebagai jejak digital yang awet dan terdokumentasi dengan baik.
Berbeda sebagai social engineer, peran Penulis sebagai warga negara yang baik karena dilahirkan di Kota Magelang. Sampai saat ini keluarga besar Penulis juga masih tinggal di kota ini. Sebagai warga, Penulis masih menyaksikan kehidupan yang tidak beranjak lebih baik yang membutuhkan intervensi pembangunan. Penulis berharap kota kelahiran lebih maju. Di situlah Penulis memiliki keinginan kuat memberi kontribusi akademik. Konsekuensinya, di dalam bekerja, tidak ada hitung-hitungan rumit, kata-kata “demi kota kelahiran” yang selalu Penulis gunakan memotivasi diri dalam mengamalkan pengetahuan dan menebar kebajikan.
Sedangkan Penulis sebagai sosiolog memiliki kewajiban untuk mengembangkan ilmu sosial ini kapanpun dan di manapun. Plumer menyatakan bahwa sosiolog adalah seorang peneliti, pemikir, pengkritik, pendidik, pendialog, warga negara yang kritis, menjunjung tinggi seni dan kreativitas, dan menjadi fasilitator orang-orang termarginalkan. Untuk itu sosiologi berkembang membantu warga negara untuk melakukan kritik dan mengubah dunia sosial mereka (Plummer, 2011: 274).
Pengembangan bisa saja dengan melakukan analisa, mengritisi dalam bentuk tulisan penelitian dan pemberdayaan masyarakat. Penulis berusaha semaksimal mungkin berinteraksi dengan tokoh-tokoh masyarakat atau menjadi kolaborator pada program-program yang meningkatkan kualitas kehidupan sebagai sosiolog dan social engineer. Sebagai warga, mereka saudara Penulis. Penulis sangat senang bisa membantu warga untuk menapaki kehidupan yang lebih baik. bantuan atau back up dari walikota sangat membantu untuk memudahkan pencarian, penggalian, check and recheck data-data lapang dengan kebijakan. Kemudahan akses pada semua model data membuat analisa dibuat dengan baik.
Akhirnya, ketika kepemimpinan Wali Kota dr. Muchammad Nur Aziz berakhir, pekerjaan Penulis tidak langsung saja selesai. Penulis menyadari bahwa tata kelola pemerintahan (governance) pasti mengharap peran signifikan pemerintah lokal, tetapi ingat yang tidak kalah penting, masih ada peran masyarakat sipil dan masyarakat lokal. Dengan demikian, sosiolog tidak bergantung pada pekerjaan pemerintah, namun bebas mengembangkan ilmu, termasuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang dikonstruksi dari para penggerak lapang, maka ketika penulis concern pada isu tertentu, Penulis akan sangat antusias berdiskusi dengan para aktivis lapang sekalipun steril dari biaya APBD.
Kini semakin jelas bahwa sekalipun tugas sebagai tenaga ahli ikut berakhir dengan terpilihnya wali kota baru, penulis tetap intens menjalin hubungan dengan para aktivis terutama pelaksana lapang (street level bureaucracy) dari program unggulan pemerintah. Dalam kepulangan Penulis Februari 2025 ini, Penulis berdiskusi dengan aktivis progamis khususnya pengurus Kampung Religi.

Mas Sudaryanta, Bendahara Kampung Religi Ganten sangat antusias menjelaskan Kampung Sedekah sebagai proyek berkelanjutan. Mas Sudaryanta menyatakan bahwa program ini sudah ada sebelum Kampung Religi dicanangkan wali kota. Basis kegiatan adalah Masjid Fathul Huda dengan berbagai aktivitas sosial non-ritual. Kampung ini memberikan santunan kepada pihak-pihak yang membutuhkan mulai dari Bedah Rumah, Beasiswa Kuliah, Beasiswa Sekolah, Save Our Home, Peduli Dhuafa’-Masakin dan Yatim Piatu, Da’I Mengabdi, Bantuan UMKM, dan lain-lain.
Jenis sedekah yang dikembangkan juga bervariasi mulai Sedekah Ganten, Sedekah Tegar, Sedekah Intan, Sedekah Sigap, Sedekah Segar, Sedekah Online, Sedekah Bahan Pangan dan Sedekah Barang Layak Pakai. Pengumpulan dana sampai Rp.9.000.000,- Rp. 13.000.000,-. Pada tahun 2024 terkumpul dana Rp.80.828.700,- (Laporan Kinerja Kampung Religi Ganten, Jurang Ombo Selatan). Dan setiap bulan, uang yang terkumpul dihabiskan atau didistribusikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Adanya Pilar Beragama Moderasi yang menjadi prinsip Kampung Religi membawa perubahan Kampung Sedekah, yaitu akhirnya si penerima sedekah tidak harus beragama Islam. Di sinilah, agama yang dipraktikkan benar-benar inklusif.
Pertemuan dengan Mas Hariyadi, aktivis LPMK Tidar Selatan membahas Kampung Religi Tidar Warung dan sistem politik yang sebentar lagi akan berubah di Kota Magelang. Kampung Religi ini diperkuat oleh tokoh-tokoh yang memiliki “modal sosial” tangguh. Modal sosial ini dimiliki jauh sebelum Progamis dicanangkan wali kota. Menurutnya, dalam Forum Guyub Rukun, modal sosial memfasilitasi pergerakan warga. Menurut temuan-temuan penulis, berkembangnya kampung religi bukan karena dampak atau hasil implementasi kebijakan publik, tetapi kampung ini memiliki pengalaman pengorganisasian yang kuat. Mas Sudaryanta menyatakan bahwa kampung religi berjalan tanpa pembinaan dan arahan dari pemerintah. Kasus yang sama, bermodalkan belajar secara otodidak pengurus Kampung Religi Tidar Warung memiliki kesadaran untuk tidak sekedar melegitimisi tradisi dan ritual yang sudah ada, tetapi benar-benar memasukan indikator moderasi dalam kerja organisasi. Pada sebuah FGD di BAPPERIDA, Desember 2024, Mas Hariyadi menyatakan, pengurus kampung religi mengganti istilah sedekah dengan santunan dengan harapan agar konsep ini “tidak berjarak” dengan umat non-Islam.
Belajar baik dari Kampung Religi Ganten dan Kampung Religi Tidar Warung, pendekatan sosiologis menyatakan bahwa para aktivis memiliki human capital dan social capital yang baik, maka penulis yakin bahwa semua program pemerintah apapun akan direspons baik, jika dikenalkan pada komunitas yang sudah aktif. Sekalipun kerja di komunitas sering kurang dianggap “bekerja” terutama dalam kerangka sistem ekonomi kapitalis, tetapi tokoh-tokoh dengan human capital dan social capital bagus jangan dilupakan pemerintah. Birokrat harus menjadi kawan yang berkolaborasi dengan tokoh-tokoh komunitas, bagaimanapun juga kebijakan pemerintah harus diarahkan demi kesejahteraan rakyat dimana menggandeng aktor-aktor lapang lebih efektif.
Sebaiknya Kota Magelang ke Depan
Pembangunan harus dilakukan secara berkesinambungan di mana tidak boleh berhenti hanya pada satu periode kepemimpinan. Harus diakui, pemerintah kota (2021-2025) sudah meletakkan fondasi dan dasar untuk pembangunan berikutnya dalam bentuk awal pembangunan berorientasi rakyat (people centered development). Capaian-capaian sudah diperoleh di antaranya, Kampung Religi telah mengantarkan urutan ketiga Indeks Kota Toleran (IKT). Selain itu melalui berbagai pemberdayaan berbasis kampung, perubahan-perubahan sosial politik berbasis budaya dan agama terjadi. Tokoh-tokoh komunitas seperti Mas Daryanto, Mas Hariyadi, dan aktivis-aktivis knowledge based perlu diperhatikan.
Penulis mendengar wali kota-wakil wali kota terpilih mengangkat VISI yaitu “Magelang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa yang Harmonis, Humanis, Nyaman dan Berkelanjutan.” Guna mewujudkan visi tersebut, ditempuh melalui pelaksanaan misi, yang rumusannya adalah:1. Menciptakan masyarakat yang bermartabat, 2. Meningkatkan infrastruktur yang inovatif dan berwawasan lingkungan., 3. Menciptakan keharmonisan antar umat beragama, 4. Meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan 5. Meningkatkan perekonomian dan pariwisata yang berdaya saing, serta 6. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, maka sebaiknya para aktivis program unggulan difasilitasi demi merealisasikan visi dan misi kota agar berjalan sesuai tujuan dan harapan kita bersama. Bagaimana caranya? Tidak mungkin dijelaskan pada tulisan pendek ini. Terpenting, status social engineer, warga negara dan sosiolog yang baik, di mana Penulis miliki bakalan tidak akan pernah selesai. Insha Allah.
*Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Sosiologi Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang.