Butuh Persepsi Sama Pada Pembelajaran Sosiologi Kita
oleh:
Rachmad Kristiono Dwi Susilo, MA, Ph.D*
Saya adalah Pengajar Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Kebetulan, menekuni sosiologi sudah 31 tahun. Di Magister Sosiologi, saya mengajar Teori-Teori Sosiologi. Jejak pemikiran saya yang bisa ditelusuri di antaranya melalui: Buku Sosiologi Lingkungan (Rajawali Grafindo, 2010), Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam: Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutahir (Ar Ruzz Media, 2012) dan Teori dan Praktik Sosiologi Lingkungan (Edulatera, 2019).
Oh ya, pengalaman pertama yang mengesankan ketika saya harus menempuh doktor (Ph.D) di Hosei University, Tokyo di bawah bimbingan Profesor Ikeda Kanji (Ketua Japanese Association of Environment Sociology/ Asosiasi Sosiologi Lingkungan Jepang) dan Profesor AOKI Takenobu,Ph.D.
Selanjutnya, pengalaman kedua yang cukup berkesan pada saat menjadi bagian gerakan konservasi-advokasi di Kota Batu Jawa Timur, di mana saya berpihak kepada masyarakat penentang keputusan kebijakan pemerintah lokal yang mengizinkan pembangunan hotel di kawasan konservasi.
Selama tiga tahun (2013-2016), saya bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang dituntut menerjemahkan konsep sosiologis Pembangunan, Pemberdayaan, dan Gerakan Sosial untuk strategi dan taktik gerakan sosial demi mencapai tujuan advokasi. Di sini saya menyadari sosiologi harus melahirkan perubahan, seperti yang didiskusikan dalam kajian-kajian di kelas selama ini dan sosiologi harus membuktikan kontribusi riil ke warga empat desa yang berpotensi terdampak oleh pembangunan hotel.
Pengalaman ketiga yang tidak kalah berkesan, saat diminta menjadi perekayasa sosial (social engineer) di Pemerintah Kota Magelang. Tahun 2022, wali kota membutuhkan ahli sosiologi untuk mendesain dan mengeksekusi sembilan progam unggulan di kota ini, yang pada intinya bermuatan pemberdayaan masyarakat. Maka, layaknya Ibn Khaldun yang menjadi penasehat raja dan khalifah, saya dipercaya sebagai tenaga ahli wali kota bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Sosial.

Tidak hanya sosiolog di level “hulu” yang sekedar piawai mengkritik kelemahan kebijakan, tetapi tidak menyadari bahwa para pengambil kebijakan bingung, kontribusi sosiolog ini masuk pada dokumen kebijakan yang mana? Oleh karena itu, tantangan pekerjaan ini, sosiologi sebagai agen perubahan sosial harus melekat pada “templete” kebijakan. Karenanya, selama dua tahun (2022-2024), sosiologi teoritis/akademis tidak banyak saya gunakan, tetapi saya menggunakan analisa data-data lapang, praktik sosiologi praktis (practical sociology, doing sociology, atau down to earth sociology) dan studi kebijakan praktis.
Tentang MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sosiologi
Selain pengalaman di atas, saya menjadi pegiat pada 5 komunitas, salah satunya MGMP Sosiologi. Nah, kali ini saya mengulas perjalanan belajar sosiologi saya dengan MGMP di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. MGMP Sosiologi merupakan wadah atau semacam komunitas Guru-Guru Sekolah Menengah Umum (SMU) pada sebuah kota tertentu. Forum ini sangat penting, sebab menjadi ajang tukar gagasan terutama terkait proses belajar mengajar di SMU, baik terkait isi, metode pembelajaran atau perencanaan pembelajaran.
Sebagai dosen dan penghobi komunitas, saya menilai forum ini merupakan tempat strategis untuk mendiskuikan hal ihwal sosiologi apapun, tentunya disesuaikan dengan peminatan dan kebutuhan masing-masing bisa teoritis dan terapan. Sekalipun sejak tahun 2000, Program Studi Sosiologi FISIP UMM sudah mengakrabi MGMP, kemudian saya kehilangan kontak dan komunikasi dengan mereka. Namun, tiga tahun ini saya kembali aktif mengajak diskusi dan dialog lagi tentang sosiologi kepada guru-guru sosiologi. Sudah saya lakukan itu dengan MGMP Sosiologi di Kota Sragen, Kota Tuban, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Banyuwangi.
- Kota Sragen, tanggal 17 Januari 2023, saya mengangkat isu Prospek, Peluang & Tantangan Ilmu Sosial, di mana saya menyatakan pentingnya up-grade peminat sosiologi atas perkembangan mutahir termasuk di dalamnya, Era Maha Data yang membuat Sosiologi harus menyesuaikan perkembangan lapang. Para sosiolog harus adaptif.
- Kota Tuban, tanggal 20 Juli 2024, saya menyampaikan materi tentang “Memahami kembali konsep pemberdayaan dengan ‘game’ jemput pemberdayaan”. Di sini, saya menjajaki kebutuhan dan pemahaman guru-guru sosiologi pada materi pemberdayaan masyarakat dalam menyampaikan materi Kearifan Lokal dan Pemberdayaan Masyarakat pada Siswa Kelas XII.
- Kabupaten Magetan, tanggal 19 Agustus 2024, saya berkesempatan menyampaikan materi ” Metode Pembelajaran Ilmu Ilmu Sosial dalam Kurikulum Merdeka.” Kali ini, saya mencoba membalutnya melalui metode berbasis kasus (case-based methods) agar pembelajaran sosiologi berlangsung efektif dan menarik.
- Kabupaten Banyuwangi, tanggal 4 Februari 2025, menjelaskan tentang Studi Pemberdayaan untuk Pengayaan Pembelajaran Siswa SMA. Sekali lagi, penulis bermaksud menjajagi dan menawarkan perspektif pemberdayaan masyarakat kepada guru-guru. Muatan yang agak akademis penulis masukkan agar menjadi pelengkap kurikulum SMA. Saya sangat berharap sosiologi yang dipraktikkan guru memiliki nilai lebih, baik secara praktis, teoritis, akademis, dan praxis.
Saya senang ketemu guru-guru sosiologi tersebut, saya lihat hari ini mereka terlihat bersemangat. Tentunya, pasti mereka menceritakan kendala-kendala ketika mengajar, seperti siswa yang kurang antusias menerima pelajaran sosiologi (MGMP Sosiologi Kota Sragen). Kebijakan kepada ilmu sosial yang cenderung “dianaktirikan” oleh pemerintah (MGMP Sosiologi Kabupaten Magetan) atau antusias guru untuk membentuk komunitas bagi anak didik agar bersemangat belajar sosiologi. Seorang ibu guru di MGMP Kabupaten Banyuwangi ini menjelaskan siswa SMU cenderung suka ke lapang untuk mengkritisi kebijakan dari pada membaca buku sosiologi. Intinya, saya menyimpulkan geliat belajar sosiologi tumbuh kembali yang bisa dilihat dari beberapa penjelasan berikut,
- Kebebasan Mengembangkan Materi Pembelajaran
Saya lihat, guru-guru sosiologi hari ini lebih bersemangat. Saya membandingkan diskusi dengan MGMP tahun 2000-an yang cenderung kurang bersahabat dengan mengatakan, Sosiologi di sekolah tidak sama dengan di kampus, Pak. Mata pelajaran sosiologi tidak diarahkan menjadi sosiolog, Pak. Waktu itu saya “sebal” dengan jawaban semacam ini. Tetapi, syukurlah, dua tahun ini, saya tidak mendengar hal itu. Bahkan, cerita-cerita inovasi-inovasi lapang kerap terdengar hingga saya terbuka optimisme.

Seorang Guru Sosiologi dari Lumajang menyatakan, “Mungkin yang terkait dengan kepentingan peserta didik sendiri dalam keterlibatan dirinya dalam komunitas. Mendorong mereka terlibat lebih aktif dalam komunitas, memberi bekal skill sosial untuk dirinya lebih berdaya, memiliki tujuan yang lebih jelas ketika masuk dalam komunitas apa saja (up skill), sanggup menilai apakah keterlibatan dirinya sudah memenuhi kepentingan individu dan kelompoknya, bisa menentukan apa yang perlu dilakukan kepada kelompoknya, membangun kesadaran siklus pemberdayaan sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sosialnya selepas sekolah.”
Pernyataan ini membenarkan survei kecil-kecilan yang saya lakukan melalui dua pertanyaan:
- Apa tujuan Saudara mengajarkan pemberdayaan masyarakat? (a). Memahamkan siswa agar mengetahui tujuan pemberdayaan. (b). Membekali siswa agar mampu menganalisa kemunculan, aktor dan implementasi pemberdayaan? (c). Mendorong siswa terlibat pada proyek pemberdayaan. (d). Mengkritisi praktik pemberdayaan di lingkungan sekitar siswa, dan (e). Mendorong siswa untuk menilai efektivitas pemberdayaan?
- Menurut Saudara, sisi manakah yang perlu dipelajari secara mendalam dari materi pemberdayaan? (a). Tujuan pemberdayaan, (b). Gambaran pelaksanaan pemberdayaan, (c). Aktor-aktor pemberdayaan, (d). Paradigma pemberdayaan dan (e). Strategi pemberdayaan masyarakat.
Jawaban yang terbanyak untuk pertanyaan nomor 1, yaitu 45% menjawab: membekali siswa agar mampu menganalisa kemunculan, aktor dan implementasi pemberdayaan? 38% menjawab bertujuan memahamkan siswa agar mengetahui tujuan pemberdayaan. Sedangkan untuk pertanyaan nomor 2, terdapat jawaban yaitu 51,6% : Strategi pemberdayaan masyarakat dan 32,3%: Tujuan pemberdayaan. Sungguh jawaban di luar perkiraan saya yang mempersepsi guru sosiologi cenderung sebagai praktisi yang tidak antusias pada kajian-kajian, sedangkan pembelajaran di kampus menjadi akademisi.
- Ada kebersamaan
Sebagai komunitas cair, MGMP menjadi wadah penyatu para guru sosiologi pada wilayah lokal dan regional tertentu. Dalam interaksi sosial di antara mereka, guru-guru mengembangkan keunikan perilaku, seperti saat menerima materi seringkali diwarnai guyon-guyon dan ger-geran. Di MGMP Banyuwangi, diselenggarakan acara perpisahan dengan guru sosiologi yang sudah pensiun. Ini berarti penghormatan pada guru-guru senior masih tinggi. Begitulah para pengkaji sosiologi, janganlah lepas dari watak sosiolog yang welas asih dan peduli kepada kelompok-kelompok termarginal.
- Antusias pembelajaran
Tidak semua MGMP antusias dalam mengembangkan ilmu ini. Tidak bisa dipungkiri ada guru dengan standar formal, asalkan mengurusi siswa selesai, maka selesai bekerja. Tidak butuh pengembangan-pengembangan. Tidak pula antusias mengembangkan MGMP. Tapi masih ada guru-guru yang antusias, ketika saya mengisi materi kebanyakan guru menyambut gembira. Diskusi di MGMP Kabupaten Banyuwangi berlangsung “gayeng”. Kami berdebat dan “bertukar catatan”. Mereka antusias mendiskusikan isu-isu lokal. Tidak kalah dengan dosen, mereka update isu.
“Yang sering terjadi dalam pemberdayaan adalah top down dan setelah selesai tanpa ada pendampingan keberlanjutan selesai juga pemberdayaannya …..Padahal kan mestinya ketika sudah berjalan di kembangkan dan kemudian Jika masyarakat mengenal break event point maka akan berganti pada pemberdayaan di sektor lain..”
Di MGMP Kabupaten Magetan juga demikian, salah satu guru menyatakan keputusasaan (hopeless) karena materi yang diajarkan dirasa tidak banyak berefek pada perbaikan moralitas bangsa. Sementara di MGMP Kota Sragen, ada peserta yang melontarkan penggabungan sosiologi dengan ilmu-ilmu praktis.
- Pengembangan Aplikasi Pengajaran yang Menarik
Saya setuju, belajar dan mengajarkan sosiologi tidak cukup rajin membaca buku, tetapi butuh metode agar ilmu ini mudah dipahami oleh siapapun. Tidak ada pilihan lain, penyederhanaan sosiologi bisa dilakukan melalui bantuan IT. Saya sering kagum dengan guru-guru yang sangat trampil mengembangkan metode pembelajaran melalui aplikasi dari internet, bahkan menggunakan AI pembelajaran, sehingga siswa menjadi semangat ketika belajar sosiologi.
Dalam diskusi dengan guru di Kota Sragen, ada guru yang ahli mengembangkan IT pada pembelajaran, yang akhirnya membuat pembelajaran tidak tradisional.
Namun beberapa kritik yang muncul sangat patut untuk didiskusikan.
- Fokus dan Arah
Saya tidak mengerti tujuan (goal) pembelajaran sosiologi di SMA, apakah siswa akan dibentuk sebagai warga negara yang berbudi pekerti baik, seperti asumsi para pendukung fungsionalisme? atau membekali anak didik menjadi pengembang sosiologi menuju tahapan pendidikan berikutnya. Hal ini sama artinya harus meneruskan jenjang belajar sosiologi dari S1 sampai S3? atau akan dididik sebagai aktivis komunitas seperti dinyatakan ahli-ahli teori kritis? Yang bisa jadi selalu melakukan analisa kritis atas fenomena sekitar yang endingnya mirip “budayawan”?
Saya kadang khawatir dengan penyampai sosiologi yang tidak “memahami” lapang dan suka “omon-omon” dengan pemahaman teori yang tidak mendalam, akhirnya melahirkan komentator yang tidak akurat. Mungkin belajar tokoh-tokoh sosiologi membuat para pembelajar kehabisan energi untuk menuju kepada substansi sosiologi apa sejatinya. Efek yang tidak dikehendaki (fungsi laten) yaitu ilmu ini terkesan jadul (zaman dulu, out of date) dan miskin kontribusi. Ibaratnya, ada/tidak ada sosiologi, dunia “baik-baik” saja, karena sosiologi hanya “meramaikan’ dunia dengan “omon-omon” (istilah Presiden Prabowo Subianto pada salah satu debat Capres 2024). Sebuah kalimat yang jika dipikir serius menunjukkan kegagalan ilmu ini sebagai alat reformasi sosial (Auguste Comte).
- “Persimpangan Ilmu” Normatif dengan Ilmu Akademis
Ada guru sosiologi yang masih mempersepsi pengajaran sosiologi berarti melakukan doktrin nilai-nilai tertentu kepada siswa. Misalnya, jika ada siswa yang tidak hadir pada kegiatan desa langsung dijudge menyimpang dari norma, tanpa diteliti dahulu, kenapa kok tidak datang? Pengkaji sosiologi terlihat moralis yang ber”nafsu” mencetak makhluk-makhluk baru. Semoga saja bukan karena “kelelahan” mempelajari konsep-konsep abstrak yang akhirnya nyaman dengan common sense sendiri, menalar materi sosiologi yang jelas membuka bias yang banyak.
- Dominan Sosiologi Praktis
Guru merupakan praktisi sosiologi yang menjadikan siswa sebagai sasaran pembelajaran.
Seorang guru di Banyuwangi mengatakan, “Intinya bagaimana mengajarkan materi pemberdayaan komunitas kepada anak anak menjadi sesuatu yang sangat menarik… Dan akhirnya mampu memantik anak anak supaya bisa menjadi inisiasi pemberdayaan pada masyarakat tempat tinggal nya. Sementara kalau pembelajaran di kelas saja kan akan terasa monoton dan membosankan.”
Mau tidak mau, guru memilih pendekatan yang praktis, sekalipun sebenarnya watak sosiologi tidak murni studi lapang sebab ada yang sosiologi teoritis atau studi-studi wacana (discourse). Jika dikaitkan dengan pembelajaran sosiologi, berkembanglah mahdzab teoritis dan akademik yang tidak harus menyelesaikan masalah. Kajian-kajian posmodernisme dan post-strukturalisme mendorong kajian yang tidak lagi “murni empiris”. Tulisan-tulisan dengan pendekatan analisa wacana kritis (critical discourse analysis) menjadikan studi lagu, film, musik dan artefak-artefak lain sebagai bahan kajian.
- Out-put dan Outcome Kurang Jelas
Di kalangan sosiolog sendiri, out-put dan outcome masih kurang jelas. Sekalipun selalu mengatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu berparadigma ganda (multiple paradigm). Hanya pandangan sekilas, yang belum tentu benar, menyatakan orang yang belajar sosiologi akan menjadi pengamat. Ketika melihat, sisi “negatif” program di lapang, langsung mengkritik habis-habisan. Terus saya bertanya, belajar sosiologi sekedar menjadi tukang kritik? Bahanya lagi, tidak ada standar akademik kritik tersebut, “patut diduga” sosiologi dikembangkan bukan menjadi ilmu pengetahuan (science).
Penulis tidak menampik bahwa salah satu output sosiologi adalah pemikiran krits (critical thinking), tapi tetap harus didasari pemahaman epistemologi teori kritis (Critical Theory) dan analisa wacana kritis (Critical Discourse Analysis). Prinsip-prinsip akademis tetap harus digunakan sebagai kaidah analisa.
Saya juga tidak menampik kritik atas pembelajaran sosiologi di kampus yang cenderung terlalu luas. Atau mungkin menyajikan penjelasan yang “terlalu” mendalam mulai filsafat sampai kerangka teori yang akhirnya tidak sampai pada alam praktis guru-guru sosiologi. Berangkat dari diskusi di atas penting diperlukan penyamaan persepsi terutama bagi akademisi kampus dengan guru-guru sosiologi.
Apakah sejatinya target dan tujuan pembelajaran sosiologi di Indonesia ke depan, terutama di era perubahan-perubahan yang kompleks baik level lokal, regional dan bahkan global? Apakah, sekedar memberi pengakuan (legitimasi) kultural bahwa kehidupan sosial itu menarik, unik karena ada makna sosial dan persepsi?
Legitimasi kultural memang sangat membantu dalam membangun imajinasi tentang negara atau bangsa. Atau membantu pengambil kebijakan dan para politisi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial? atau menganalisa dan mendeskripsikan fenomena/fakta sosial? Atau mengidentifikasi masalah sosial yang kemudian memberi penyelesaian? Atau mengkritisi dunia sosial yang tidak humanis yang kemudian meluruskannya dengan gerakan-gerakan perubahan sosial? Mari Kita berdiskusi!
*Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Sosiologi DPPS Universitas Muhammadiyah Malang.