Resolusi 2022: Rindu Pada Pertumbuhan Kota
Berkunjung (sambang) dan sekaligus berjalan-jalan di Kota Magelang menyisakan banyak pengalaman dan perenungan berharga. Sebagai warga yang lahir dan besar di Kota Magelang, wajah kota ini benar-benar berbeda dibandingkan dengan saat penulis awal tinggalkan tahun 1994 lalu. Pusat-pusat bisnis bertambah. Hotel bintang 4 dan 5 berdiri di pusat kota yang melengkapi hotel atau losmen yang sudah beroperasi puluhan tahun lalu. Ternyata, bisnis perhotelan cukup kompetitif dengan penuh hunian saat akhir minggu (weekend). Sepanjang pengamatan penulis, banyak warga yang rata-rata dari luar kota menginap di hotel-hotel tersebut.
Mall juga juga mulai menjadi alternatif pusat belanja. Warga/pendatang tidak hanya bisa mengonsumsi barang dipertokoan Jalan Pemuda alias pecinan atau di Pasar Rejowinangun. Tetapi, mereka bisa memilih di pusat-pusat perbelanjaan modern. Memang, tidak selamanya mall, supermarket atau minimarket berdampak positif terutama dikaitkan dengan ekonomi rakyat yang cenderung kembang kempis. Konteks yang penulis maksud yakni kita bisa menguji, seberapa kompetitif kota ini dilihat dari pihak-pihak yang tertarik investasi?
Di tengah gempuran modernisasi dan disrupsi yang datang dan pergi tunggang langgang dan otomatis, sulit dikendalikan, lokalitas masih bertahan di kota. Tidak sulit menemukan makanan tradisional seperti gethuk, slondok, pothel, klepon dan kupat tahu. Karakter warga yang tidak : aneh-aneh, tetapi seperti dulu, tidak berubah dan masih biasa-biasa saja.
Bahkan, di kampung penulis, Magersari, karakter kultural tidak berubah. Tidak ada ciri-ciri warga yang mengalami mobilitas vertikal secara drastis. Terlepas dari kondisi ini apakah progresif atau involutif, Kota Magelang masih “ramah” warga/penduduk.
Saat penulis, berjalan-jalan di trotoar sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Pemuda, penulis merasakan seperti jalan-jalan di Okachimachi, Ikebukuro atau Akihabara di Kota Tokyo. Tentunya, di Tokyo, suasana lebih meriah, pertokoan lebih bervariasi dan diselingi hingar bingar musik J-Pop dan K-Pop yang menemani keriangan kita dan hidupnya kota ini.
Kesejukan Kota Magelang ini masih penulis rasakan dan karakter warga yang belum beranjak ke kota metropolis. Bukit Tidar tertata rapi dan menunjukkan konservasi lingkungan dan wisata budaya. Ia sudah membuka diri dengan wisatawan luar kota. Berkali-kali penulis menemui warga Kota Malang yang berziarah ke petilasan Syekh Subakir. Sekalipun belum marak, penulis temui penjual kaos bergambar Syekh Subakir. Tokoh penyebar Agama Islam yang malah penulis paham dari cerita-cerita orang Kota Batu, Jawa Timur, bukan dari guru-guru SD, SMP atau SMA.
Namun, sejujurnya penulis kurang puas melihat kota ini tidak beranjak dari geliat kota masa lalu. Geliat kota sekedar menjaga rutinitas. Branding kota untuk “pensiunan” atau kota penghubung kota besar belum ditinggalkan. Dengan lokasi yang terletak di antara dua kota besar yaitu DIY dan Semarang, tampaknya pengelola kota cukup puas menjadikan/memosisikan sebagai kota penghubung dan sekaligus penyangga dua kota besar tersebut.
Selain itu, para pengelola kota tampaknya puas dengan menyerahkan pemenuhan kebutuhan pada dua kota tersebut. Sederhananya, jika pemenuhan kebutuhan warga tidak bisa diatasi Magelang, maka warga dipersilahkan untuk memenuhi kebutuhan di luar Magelang. Toh, waktu tempuh untuk mencapai kota tersebut juga tidak lama.
Kondisi demikian yang akhirnya para pengelola kota cenderung malas untuk menjadikan kota sebagai pusat perubahan sosial. Kalau demikian, apa sejatinya kita bekerja dan tinggal untuk kota ini?
Kota dan Warga
Kemunculan dan eksistensi kota perlu dievaluasi karena sesungguhnya, evaluasi berlaku untuk urusan apapun. Bukankah Tuhan dalam Surat Al Hasyr ayat (18) menyatakan, “Yaa ayyuhalladziena amanuttaqullaah wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad“? Maka evaluasi kota terletak pada mengukur fungsi kota sebagai sistem sosial yang melayani warga. Apa yang sejatinya diharapkan warga yang tinggal di kota ini ? Bagaimana pengelola kota menunaikan tanggung jawabnya?
Secara sosiologis, kota bukan kumpulan gedung-gedung pusat pemerintahan dan pusat belanja atau sekedar hunian atau tempat tinggal atau sekelompok kerumunan, tetapi sejatinya kota adalah masyarakat yang bergerak dinamis. Untuk itu kota tidak boleh stagnan, ia harus bergerak terus menerus untuk menyejahterakan warga.
Gerak kota tidak lelah menghadirkan “sumber-sumber” rezeki yang dibutuhkan dan bisa ditangkap warga demi peningkatan kesejahteraan. Pusat-pusat konsumsi kolektif dinikmati warga lintas strata sosial. Tidak ada kesenjangan sosial yang menyolok, seperti elit-elit tertentu mengakses kekayaan lebih di tengah kelompok lain yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pengalaman menyesakkan saat penulis belanja oleh-oleh di depan Pasar Rejowinangun tiga minggu lalu. Tiba-tiba datang Ibu Waqiah yang “sedikit” memaksa untuk membantu membawakan barang bawaan kami. Ibu ini dari Kaliangkrik sekedar untuk menyambung hidup. Saya dan istri membawa barang yang sebenarnya tidak berat, tetapi kami sadar bahwa ibu ini membutuhkan uang sebagai pengganti jasa membawakan. Dari satu kasus ini, penulis berkesimpulan masih banyak ibu-ibu “Waqiah” yang lain. Ini artinya, masih banyak warga yang serba kekurangan. Dalam pandangan makro, kemiskinan masih ada di tengah-tengah kita, maka sejatinya esensi kota patut dipertanyakan.
Untuk itu kota berfungsi melayani kebutuhan warga. Kebutuhan itu tidak hanya kebutuhan ekonomi tetapi juga kebutuhan sosial, seperti kenyamanan dalam menghabiskan waktu luang.
Warga “nyaman” mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada persoalan pandemi dan mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Selain itu, warga bisa memanfaatkan waktu luang di tengah kota tanpa ancaman ketidakamanan. Mereka juga dijauhkan dari rasa kebosanan atas monotonnya arsitektur kota.
Nyawa Perubahan Kota
Ada sisi positif dari perkembangan Kota Magelang, sepanjang penulis berinteraksi dengan kolega dan kawan, tidak semua warga kota menderita. Masih ada kelompok-kelompok yang adaptif dan eksis dengan karakter kota. Salah satunya rekan penulis yang menjadi dosen di kampus swasta di Magelang. Ia hidup kaya dan makmur. Ternyata setelah penulis amati, ia menjadikan Magelang sebagai tempat tinggal, sementara untuk mengisi pundi-pundi keluarga, ia “ngasong” ke kota-kota lain. Singkatnya, rumah hanya sekedar tempat tidur. Bukan mengandalkan perputaran uang di Kota Magelang. Mengapa demikian?
Kota ini cenderung stagnan. Tidak ada kegiatan bisnis masif yang menstimuli perputaran uang besar-besaran. Yang penulis lihat, kelesuan pedagang yang kini berjualan di kampung akibat keadaan tidak membaik nasib saat berjualan di pasar. Dengan kehadiran mall dan online shopping, pasar bukan menjadi satu-satunya “jujugan” warga. Kelesuan ini yang mengakibatkan warga memperoleh pendapatan hanya sekedar subsistensi atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sepanjang pengamatan penulis, selama 10 tahun tidak ada perkembangan baru dan “breakthrough” di Kota. Kecuali pembangunan fisik yang tampak sedikit berbeda seperti pusat bisnis baru bermunculan, jalan-jalan lebih bersih dan air Sungai Manggis terlihat bersih dan jalan-jalan tertata rapi.
Gambaran dominan yaitu kota ini sekedar menjaga rutinitas. Toh kalau sudah ada perubahan, tetapi efek perubahan tidak merata sampai kelompok-kelompok paling bawah. Hanyalah segelintir elit pengatur (ruling elite) yang banyak menikmati perubahan kota.
Jo Santoso dalam Kota tanpa Warga (2006) menyatakan bahwa ada dua sebab kota tidak berkembang yaitu kebijakan & strategi pengembangan perkotaan dan konsep dasar perencanaan dan pengembangan kota. Sekalipun demikian, menurut penulis dua kondisi di atas juga ditentukan tipe kepemimpinan (leadership) para pengambil kebijakan. Didasarkan situasi dan kondisi, berkarakter pemimpin berkarakter achievement, pemimpin partisipatif dan pemimpin yang laizes faire.
Berkarakter achievement yaitu selalu tidak lelah untuk menghasilkan karya-karya atau prestasi besar. Komitmen pemimpin yaitu harus berbeda dengan era pemimpin sebelumnya. Keberhasilan ini diukur dengan indikator-indikator capaian tertentu.
Sedangkan, pemimpin partisipatif lebih mementingkan partisipasi warga. Sekalipun tidak melahirkan karya apapun yang terpenting menjaga hubungan baik dengan konstituen. Prinsip utama yaitu ngguyub dengan warga. Karena “cairnya” hubungan ini, maka eksekusi dan realisasi program seakan tidak penting. Nah, yang paling tidak jelas yakni pemimpin karakter laisez faire, dimana tidak peduli dengan kewajiban. Kota atau warga ambruk tidak ngurus, maju ya tidak ngurus, pokoknya, terserah.
Penulis cenderung berpendapat bahwa Kota Magelang membutuhkan pemimpin berkarakter achievement yang melahirkan lompatan-lompatan karya monumental seperti titik-titik pertumbuhan kota baru. Untuk itu, perencana dan pengelola kota seharusnya memahami dan mampu menggerakan potensi-potensi kota.
Penulis membagi potensi material dan potensi non material. Potensi material menjelaskan tentang sumber daya alam atau lingkungan fisik yang mampu diberdayakan. Misal, Kota Batu memiliki kekayaan pemandangan dan sumber daya air yang mendatangkan pendapatan. Sedangkan, potensi non material berkaitan dengan sumber daya manusia yang dipersiapkan untuk membangun kota. Pemetaan dan penempatan sumber daya menjadikan karya-karya besar dilahirkan di kota.
Kemampuan achievement juga tidak sekedar manajerial dan administratif. Pokoknya asal surat-surat yang diurus warga beres, beres pulalah pekerjaan itu. Memang dalam buku Manajemen Kota dan Wilayah : Realita dan Tantangan (2008), Sedyohutomo menyatakan bahwa pemerintah sebagai pengelola kota berkewajiban sebaga penyedia service barang dan jasa dan sebagai arbiter dalam konflik antar kelompok masyarakat, namun demikian, fungsi desainer dan eksekutor untuk rekayasa sosial (social engineering) juga penting. Pengelola kota harus mengarahkan warga menuju nilai-nilai sosial dan cita-cita yang diharapkan, termasuk para pelaksana kota yang mampu membangunkan aktor-aktor yang masih “tidur” melalui berbagai jenis kegiatan pemberdayaan komunitas.
City Branding untuk Perubahan Kota
Kota dilahirkan menjadi berbagai macam “jenis kelamin”, ia bisa menjadi kota bisnis, kota budaya, kota administratif atau gabungan kesemuanya itu. Karakter kota dibentuk oleh pengambil kebijakan, perencana kota & oleh, dan untuk warga. Jika kota didesain menonjol dari sisi ekonomi, maka ia sebagai pusat pertukaran barang dan jasa. Kota budaya menyuguhkan sajian-sajian pementasan budaya dan bangunan heritage yang eksotik dan dinikmati banyak orang, ia menjadi kota budaya. Wisatawan akan hadir untuk mempelajari budaya tertentu. Bangunan peninggalan kolonial diteliti dari aspek historis dan membangkitkan kenangan masa lalu yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Demikian pula jika kota hanya fokus pada pengurusan administratif kota, maka ia kota administratif. Prioritas terpenting pelayanan warga. Perkara kota dinamis atau tidak, kesejahteraan warga meningkat atau stagnan, bukanlah urusan penting.
Persoalannya, banyak pengelola kota yang belum memikirkan arah dan tipe kota yang dibentuk. Sekalipun secara formalitas sudah dibuat, pada pelaksanaannya sekedar memenuhi kebutuhan administratif saja. Branding ekonomis atau sosiologis luput dari perhatian.
Motor penarik orang untuk berkunjung ke kota perlu didesain. Para perencana tidak boleh berpuas dengan status kota “antara” yang dilalui migrasi dari Yogya ke Semarang saja atau sekedar kota peristirahatan saja. Kalau hanya melayani migran, bagaimana yang tinggal? kalau hanya memanjakan pihak-pihak yang istirahat, maka bagaimana warga yang usia produktif?
Perlu dibuat daya penarik kota yang kaya dan beragam. Ada pemandangan yang indah dan dinikmati membuat pikiran fresh. Ada penjual makanan atau restoran yang menghidangkan makanan lezat tidak ada duanya. Ada bangunan kolonial yang benar-benar menyejukkan pandangan dan pikiran? Atau diselenggarakan even tahunan yang benar-benar berbeda dengan kota-kota lain.
Sesuatu itu menjadi penarik kota atau bukan penarik sangat ditentukan oleh agen atau motor dari perubahan ini. Dengan mengutip Gerald Crane (1978), Heryanto 6 kelompok perencana itu bisa disebutkan sebagai berikut: institusi pemerintah, institusi swasta, pengembang, profesional, organisasi masyarakat dan perorangan. Kesemuanya harus memiliki karakter kreatif, inovatif dan berani mengambil keberanian mengeksekusi hal-hal baru dan sering tidak steril dari resiko- resiko harus menjadi motor perubahan.
Akademisi atau kampus termasuk agen atau motor perubahan ini bisa dilibatkan untuk mendesain dan membangun kota. Namun hanya sekedar menemukan pengetahuan yang tidak berimplikasi pada perubahan.
Tidak lupa dan mungkin ini yang paling penting, komunitas-komunitas kota dilibatkan dalam mendesain kampung. Mereka mengenal kondisi kampung dengan baik dan mereka juga mengetahui kondisi yang sejatidibutuhkan. Dengan pendekatan partisipatif berbasis komunitas, mereka diberdayakan menjadi subyek dan sekaligus obyek pembangunan kota.
Tentunya, membutuhkan diskusi panjang dalam menginisasi perubahan dan pertumbuhan kota. Seperti, kecakapan secara kultural, keberhasilan perubahan juga ditentukan oleh mentalitas agen-agen perubahan sosial (agent of social change) yang tahan banting melakukan rekayasa sosial (social engineering) dan transformasi sosial (social transformation) dan ini yang paling penting, mereka berani benturan dengan vested interest dan kelompok-kelompok penghalang. Pertanyaannya, beranikah para pengelola kota menempuh jalan ‘terjal’ nan berliku ini? Wallahua’lam bish-showab.
Rachmad K.Dwi Susilo, M.A., Ph.D,
Penulis adalah Dosen Sosiologi Lingkungan pada Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, concern pada isu-isu Public Policy and Social Governance, lahir dan besar di Kampung Magersari, Kota Magelang.