Agar Kemiskinan Berlalu: Kisah Kampung Majapa
Sepintas lalu kalau mengamati judul yang penulis pilih ini terkesan bombastis, seakan ia sebuah pernyataan utopis, mungkinkah menghapus kemiskinan pada sebuah kampung? Sengaja penulis memilih judul ini demi mengharap energi positif ke depan. Pandangan yang sederhana aja, tindakan, dan kebijakan berawal dari wacana optimistis penuh mindset perubahan. Judul dan tentunya isi tulisan ini sebenarnya pintu masuk dalam menciptakan perubahan komunitas.
Untuk memudahkan paparan ini, penulis akan menjelaskannya melalui kisah tentang sebuah kampung di mana kita bisa belajar banyak pada “nafas” kampung ini. Penulis berharap bahwa dengan mengambil kasus (case) kampung, akan membantu pembaca memahami permasalahan “turun-temurun” di masyarakat, cara menghadapi, dan inspirasi apa saja yang perlu dikembangkan.
Majapa merupakan nama kampung di Magelang, Jawa Tengah yang berusia sangat tua. Salah satu birokrat pemerintah menyatakan bahwa kawasan ini bukanlah nomor satu kantong kemiskinan di kota tersebut. Tetapi, sekalipun mendasarkan data-data observasi penulis, masih ada rasa sangsi, benarkah itu?
Lokasi ini menarik ditulis mengingat “denyut napas” yang tidak pernah berhenti. Sekalipun terus bernapas, tetapi perubahan kampung bisa dikatakan sangat lambat. Mengapa penulis mengetahui hal ini karena hubungan yang sangat dekat antara penulis dengan kehidupan sosial di dalamnya. Pengalaman-pengalaman sosial membekas sejak kecil dan mungkin sampai hari ini menggugah keinginan penulis membahas kampung ini pada konteks perubahan kebijakan kota.
Adapun gambaran singkat kampung ini penulis bisa paparkan secara singkat, sebagai berikut. Keguyuban warga dalam kampung ini sangat tinggi. Saling mengenal antarwarga menjadi ciri khas di dalamnya. Tidak sulit menjelaskan latar belakang antartetangga, karena antartetangga sudah saling kenal. Bahkan, semua warga memahami siapa orang tua dan kakek warga hari ini. Pekerjaan mereka dan aktivitas sosial pada saat hidup. Jika ada salah satu warga yang mendapat musibah, berbondong-bondong warga lain menjenguknya. Keteraturan sosial ini terbentuk tanpa komando formal dan cukup dengan kelembagaan sosial “gethok tular”, spontan warga berangkat bersama-sama. Disparitas strata sosial bisa dikatakan tidak menyolok.
Kegiatan kewirausahaan bisa dikatakan sangat jarang. Beberapa warga ada yang menjual makanan kecil dengan pembeli masyarakat sekitar. Sekalipun ia menetap, tetapi juga secara aktif menjajakan ke rumah-rumah agar dagangan habis. Uang yang diperoleh dari pendapatan ini tidak sepenuhnya cukup, maka berhutang dengan tetangga. Memang ada warga yang menekuni usaha-usaha rumahan, tetapi sebatas membuka warung gorengan, jajanan kue basah, “mlijo” dan makanan untuk sarapan. Daya jangkau warung-warung tersebut cukup hanya untuk masyarakat sekitar saja.
Meredupnya era pasar tradisional dan munculnya mall-mall, menggeser warga yang berjualan di pasar ke kampung-kampung. Ada yang menjual pakaian anak yang murah dan ada yang membuka warung makan. Sementara juga tidak sedikit yang menjadi Tenaga Harian Lepas (THL) di pemerintah kota dan sebagai orang pencari kerja.
Pada saat hajatan politik, mereka antusias. Kerja-kerja politik menjadi kesibukan dan “mungkin” hiburan bagi mereka. Bahkan beberapa menjadi pekerjaan insidental demi mendapatkan upah. Mbak suci selalu ikut dalam kampanye partai apapun. Tidak penting partai penyelenggara, yang penting ia mendapat honor Rp 25.000 sekali kampanye. Uang harian sebesar ini begitu berarti untuk hidup seorang janda atau warga dengan pekerjaan yang tidak menentu.
Kerja politik juga bisa menjadi “jembatan” untuk melakukan mobilitas vertikal. Suatu hari, tahun 1990-an, penulis pernah diajak aktif di organisasi tingkat RW. Tokoh pemuda tersebut menyatakan, keaktifan di tingkat RW akan membantu kita bertemu dengan Presiden RI, Soeharto waktu itu. Penulis tersenyum saja sambil mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pemerintah kota.
Masyarakat bisa bertahan dengan mengandalkan rata-rata pekerjaan sektor informal, sebagai tukang parkir, sopir, debt collector, tukang bersih-bersih, dan lain-lain. Karena jenis pekerjaan yang tidak terikat kontrak formal, maka banyak waktu senggang warga. Waktu ini dimanfaatlan untuk ngobrol berjam-jam ke tetangga atau mengunjungi teman-teman beda kelurahan. Waktu yang dialokasikan tidak dibatasi. Tahun 1990-an menunjukkan kondisi tidak nyaman. Jika ada salah satu warga mendapat “sedikit” rezeki, ada yang mabuk-mabukan di salah satu rumah warga atau di jalan umum. Suasana kampung tidak nyaman karena ada yang mencegat warga yang lewat.
Gambaran di atas mengingatkan studi kemiskinan kultural dalam antropologi. Kemiskinan merupakan sub kebudayaan dengan struktur dan hakikat sendiri tersendiri sebagai cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga (Lewis, 1966). Pada konteks ini, tidak hanya kekayaan yang dibagi-bagi, tetapi juga kemiskinan antargenerasi. Obyek yang penulis lihat pada kehidupan kakek dan ayah mereka juga kini terjadi pada anak dan cucu. Entahlah kapan akan berakhir generasi semacam ini, sebab saat ini kemiskinan masih menjadi kultur mereka. Bisa jadi karena pendidikan yang rendah atau ketrampilan minim.
Sikap saling cuek, disorientasi, disorganisasi, perilaku tidak harmonis antartetangga bisa saja dilahirkan dari budaya kemiskinan semacam ini. Tidak ada tokoh masyarakat yang berpengaruh. Dalam ikatan kesamaan geografis ditandai oleh kohesi sosial tidak kuat. Bahkan kekurangan material memicu lahirnya perilaku-perilaku menyimpang seperti tawuran antarwarga kampung dan stagnasi pola kehidupan yang berputar-putar antargenerasi minus cita-cita tinggi.
Kondisi kampung ini “sedikit” berwarna saat Indonesia diterpa krisis ekonomi 1998. Perubahan rezim melalui sistem desentralisasi ikut memengaruhi hal tersebut. Pemerintah pun meluncurkan program pemberdayaan untuk mengatasi dampak negatif dari krisis ekonomi. Program ini namanya PDM DKE. Kami menyebutnya sebagai JPS (Jaring Pengaman Sosial). Program ini berupa simpan-pinjam bagi warga. Setiap warga mendapat kesempatan mengajukan kredit sebesar Rp 300.000 sampai Rp 500.000. Bagi warga yang berpendapatan rendah, uang ini tidak sampai mengubah secara fundamental kehidupan mereka. Namun demikian, bisa dikatakan sangat membantu. Tapi, kunci terbesar pada pekerjaan tetap warga. Sekalipun peristiwa itu berlalu dan menurut data statistik Kota Magelang dinyatakan kemiskinan berangsung-angsur menurun, tetapi sejatinya kemiskinan sebagai budaya, belum beranjak.
Hingga saat inipun, penulis masih bertanya-tanya, mengapa lingkaran kemiskinan ini begitu masif? Dan, bagaimana melepaskan diri dari lagu kemiskinan yang selalu berdendang tiap generasi ini? Kepada siapa kita menyandarkan harap dan asa, kepada munculnya konglomerat yang baik hati dan kaya raya? Kepada pemerintah yang menggelar program charity? atau diserahkan pada masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas?
Mainstreaming Program-Program Non-Fisik
Sama dengan kampung-kampung lain, kini warga Majapa menghadapi program-program non-fisik yang digulirkan oleh pemerintah kota sejak 2020. Mengingat periode kali ini, pemberdayaan masyarakat dan program-program pelayanan publik sebagai program unggulan pemerintah kota. Dalam banyak kesempatan walikota mengatakan, pembangunan fisik kota sudah cukup. Terbukti, tidak ada tempat yang tidak indah di kota ini. Hanya yang dibutuhkan, program-program non-fisik untuk melengkapi infrastruktur kota tersebut. Wali kota membayangkan keberhasilan program-program membuat masyarakat menjadi kian berdaya. Tanpa bantuan pemerintah warga mampu mencukupi kebutuhan dan mengkreasi kebahagiaan mereka.
Salah satu nama dari program tersebut yakni Rodanya Masbagia (Program Pemberdayaan Masyarakat Maju Sehat dan Bahagia). Warga kampung diminta untuk menyusun RKM (Rencana Kerja Masyarakat). Kesatuan RW mengajukan kegiatan-kegiatan seperti pengadaan barang dan pelatihan. Pada saat pencairan tiba mereka senang. Hal ini karena wajah kampung berubah, ada CCTV, soundsytem untuk kegiatan komunitas, lapangan tenis meja, dan infrastruktur kampung yang lain. Beberapa kegiatan kampung “hidup” kembali. Beberapa warga dikirim pihak RW untuk mengikuti kursus tata boga yang diselenggarakan Disnaker. Penulis tidak tahu persis, apa tidak lanjut dari pelatihan ini. Kecuali warga selesai mengikutinya.
Oh ya, salah satu program unggulan lain disebut Balai Belajar. Sederhananya, setiap RT mendapat jatah internet. Pada praktiknya tidak mungkin diselenggarakan per RT, maka dikerjakan pada lingkup RW. Konteks sederhana kemunculan program ini adalah pandemi sebagian besar kegiatan online, sehingga anak-anak sekolah membutuhkan wi-fi. Di sinilah program ini bermanfaat untuk pembelajaran.
Anak-anak mendatangi titik-titik internet pada malam hari. Sayangnya, pemanfataan wi-fi lebih banyak kepada ke hiburan dari pada edukasi masyarakat. Tidak bisa disalahkan, memang warga mau memanfaatkan untuk apa? Program ini tampaknya belum banyak mengubah kehidupan masyarakat. Yang terlibat tambah kesibukan di kalangan masyarakat bawah. Mereka senang karena mendapat “sesuatu” dari pemerintah. Bahkan untuk elit-elit formal kampung, insentif kegiatan bisa menjadi pendapatan sampingan.
Perubahan dipandang tidak bisa dinikmati jangka pendek. Bukan karena pemerintah tidak paham dan tidak peduli pada persoalan masyarakat, tetapi sejatinya kemiskinan merupakan persoalan struktural sistemik. Tidak mungkin menyelesaikan masalah ini dalam hitungan di bawah lima tahun.
Sekalipun demikian, hari ini kita melihat tahapan penting berupa penataan fondasi perkembangan masyarakat. Pada konteks ini, masyarakat sudah disentuh dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkreasi kehidupan mereka. Mungkin local initiative warga yang perlu dipersiapkan. Pertanyaannya, siapa yang harus melakukan langkah-langkah tersebut?
Keluar dari Jebakan Kemiskinan
Jebakan (trap) merupakan kondisi yang sulit dilepaskan mengingat ia produk interaksi sosial satu sub sistem atau komponen satu dengan komponen lainnya. Bahkan, satu komponen hilang akan muncul komponen-komponen lainnya. Tampaknya benar apa yang dinyatakan sebagai poverty trap atau keterjebakan kemiskinan yang tidak mudah manusia lepas darinya.
Negara tidak boleh meng-exercise persoalan warga. Atas nama kebijakan, negara abai atau melakukan pembiaran pada persoalan yang berurat akar dan puluhan tahun ini. Kebijakan mercusuar kota yang hanya sebatas “menetes” pada kelompok-kelompok tertentu saja tidak akan mengubah keadaan sebuah kampung. Semakin berkembangnya organisasi di kampung. Banyak koordinasi antarbirokrasi kota sampai kelurahan tidak menjamin persoalan yang sistemik.
Marilah kita mendiskusikan akar persoalan dari fenomena kampung di atas. Sebenarnya banyak pendekatan yang bisa dipilih, namun untuk memantik diskusi, penulis sebatas menjelaskan melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan struktural, kultural, dan kelembagaan.
1.Pendekatan struktural
Asumsi dari permasalahan sosial yaitu bahwa struktur sosial yang melahirkan persoalan kemiskinan. Sekelompok elit berada di strata atas selama puluhan tahun, sementara orang miskin terjebak pada struktur sosial yang membelit mereka. Sekeras apapun bekerja tetapi jika struktur hnaya menyediakan “ceruk” yang sempit maka tidak ada artinya kerja keras ini.
Sekalipun kelompok miskin ini orang yang “rajin” dan selalu mencobai banyak pekerjaan, tetapi hidupnya begitu-begitu. Karena, persoalan mendasar bukan pada etos, tetapi memanglah struktur sosial membelit etos tersebut. Bentuk struktur bisa bermacam-macam, seperti kekuatan ekonomi dan politik dominan, maka solusinya yakni negara melepaskan diri dan memutus jeratan struktural itu.
Misalnya, kalau hanya mengandalkan kue yang ada di kota tidak cukup, maka harus menghadirkan “kue “baru yang bisa dinikmati warga. Jika kue yang diperoleh hanya melahirkan kerja pas-pasan, maka kue perlu ditambah sampai warga bisa hidup layak. Membesarkan kue akan membuka partisipasi yang akhirnya berpeluang pada perubahan dan keberdayaan warga.
Pemerintah harus memastikan tidak ada kelompok-kelompok yang terekslusi. Dari pemerintah kota hari ini Program Rodanya Masbagia telah membuka kesempatan warga pada level grassroot untuk berkiprah. Diharapkan banyak aktivitas dan kreativitas yang lahir baik di bidang pemberdayaan maupun bisnis skala kecil dan menengah. Prinsip-prinsip program ini bagus dan cukup ideal, namun jika berbicara tentang out-put dan out-come kita perlu diskusi lagi.
2.Pendekatan Kultural
Menurut pendekatan ini, akar dari persoalan kemiskinan yakni kultur yang membelit kehidupan sosial masyarakat. Ada warga yang sanggup keluar dari belitan itu, tetapi tidak jarang yang gagal dan menyerah. Kemiskinan merupakan budaya (culture) yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun. Pikiran logis saja, kebiasaan membimbing tindakan-tindakan lapang. Lingkungan sosial begitu membelenggu, maka tidak ada nyali warga untuk keluar dari lingkungan dan kebiasaan yang telah dianut bertahun-tahun.
Tidak heran jika kakek/nenek miskin, anak miskin dan bahkan nanti cucu cicit miskin. Kakek, nenek, ayah merupakan pekerja sektor informal, maka keturunan juga “terpaksa” menekuni pekerjaan sama.Kultur membimbing warha pada berfikir jangka pendek. Hanya di depan mata, tidak ada mindset untuk melakukan lompatan-lompatan ke depan. Jika ada sedikit upaya, maka yang dilakukan terjebak dalam kegiatan-kegiatan involutif.
Banyak faktor yang menyebabkan tidak adanya perubahan kultur ini. Dua hal yang terpenting yakni faktor psikologis dan sosiologis. Seandainya miskin secara material menjadi penyebab utama, tetap saja kedua faktor tersebut memengaruhi. Faktor psikologis yaitu ketiadaan kemauan dari masyarakat. Kondisi traumatik masa lalu yang menyebabkan tidak mau berubah. Atau memang nyali sebagai “risk takers” tidak ada. Faktor sosiologis juga berperan penting seperti fatalistik dan apatis para perubahan. Seberapa banyak program yang digelontorkan, masyarakat tetap tidak begitu saja percaya.
Tidak heran, ketika penulis “antusias” menceritakan program pemerintah kepada salah satu ketua RW, ternyata tanggapannya hanya “mlongo” dan no action. Tidak ada antusiasme dan tidak ada keinginan untuk mengikuti atau mencoba sesuatu yang baru. Beginilah, tidak mudah melakukan perubahan-perubahan kultural.
Pameran produk makanan lokal, pameran kebudayaan yang humanis dan menginspirasi, kemudian lomba-lomba berbalut kreativitas dan toleransi, tetap saja dianggap angin lalu dan dipersepsi sebagai di”luar” instrumen menuju kesejahteraan. Sekalipun pemerintah sudah membuka akses, tidak akan ada artinya jika tidak ada peningkatan kapasitas untuk berpartisipasi (Samirin, Wijayanto, 2014).
Para perencana harus cerdas menciptakan banyak kegiatan untuk perubahan mindset. Kegiatan ini tidak boleh digeneralisasi tiap kawasan. Memang, lahirnya pebisnis itu bagus, tetapi kalau masyarakat masih fatalis, sebanyak apapun tetaplah tidak ada artinya. Salah satu langka kongkret yakni menghadirkan kegiatan-kegiatan yang bisa mengubah kultur warga. Kini kita tinggal mengevaluasi seberapa jauh perubahan sudah dicapai dan dihasilkan oleh para perencana.
Ide melahirkan pengusaha memanglah bagus dan harus didukung. Pertanyaannya, tidak semua masyarakat “siap” dengan program semacam ini. Bagaimana mereka yang setiap hari bergelimang kemiskinan harus menekuni pekerjaan yang penuh kreativitas? maka, perubahan kultural jangka pendek yang harus dilakukan yakni kebanggaan pada kampung halaman. Kebanggaan yang melahirkan optimisme akan memudahkan untuk kemunculan perubahan. Dan, kalau sikap semacam ini sudah terbentuk, maka perubahan-perubahan yang progresif tinggal menyusul.
3.Pendekatan Kelembagaan
Pendekatan ini meyakini bahwa lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang menangani masalah kemiskinan dan keberdayaan warga perlu didorong. Tidak bisa dipisahkan antara organisasi dengan sistem norma, sebab organisasi dibentuk oleh sistem norma tersebut. Nilai dan norma lama yang masih bisa digunakan perlu diorganisasikan dan diberdayakan demi menciptakan perubahan- perubahan perilaku dan merancang perubahan-perubahan kota. Pola perilaku manusia yang diharapkan yang dipaksakan oleh baik positif maupun sanksi sosial negatif melalui institusi (Tonn, B., English, M., & Travis, C,2000). Obyek perubahan kepada sub komunitas kecil, pengaruh politik dan jaringan sosial (Fatchan, 2004). Kalau kelembagaan tidak mampu mengatasi kondisi ini, maka dibutuhkan penyegaran organisasi-organisasi baru.
Sepanjang penulis mengamati, Program-Program Unggulan menyaratkan organisasi berbasis komunitas. Dalam Program Rodanya Masbagia, terdapat Pokmas (Kelompok Masyarakat) yang diserahi pengadaan barang dan jasa. bagaimana, pengembangan dan kelanjutan organisasi ini perlu dievaluasi. Ia tidak hanya organisasi teknis tetapi menjadi organisasi pemberdaya. Kondisi ini tentunya tidak mudah, pesoalan modalitas (human capital, social capital dan physical capital) menjadi tantangan tersendiri yang perlu dipecahkan.
Dari pendekatan kelembagaan pemerintah diharapkan melakukan langkah-langkah berikut. Pertama, pemetaan kelembagaan yang berpengaruh pada keberlangsungan kebijakan publik. Kedua, koordinasi antarberbagai sektor dan disiplin ilmu terkait kebijakan publik tertentu dan ketiga, meningkatkan keterlibatan dan kapasitas para pemangku kepentingan (Putra dan Sanusi, 2019).
Kini kita sampai pada pembahasan optimalisasi tiga pendekatan yang penulis paparkan di atas. Bagaimana para pengambil dan pelaksana kebijakan memperlakukan semua tersebut? Pada tataran praktis kita tidak harus kaku memilih salah satunya, tetapi bisa menggabungkan sebagai kesatuan yang terkait satu dengan lainnya. Sama halnya dengan relasi dari program-program unggulan kota yang tidak bisa dipisahkan?
Cahaya Harap ke Depan
Program pembangunan manusia yang digulirkan pemerintah hari ini menjadi harapan bersama untuk sebuah perubahan kota. Janji kepala daerah untuk menciptakan masyarakat yang bahagia tidak boleh hanya sebatas jargon yang enak di telinga, tetapi jauh dari lapang. Demikian pula, maju dan sehat, apakah benar-benar lahir dari pembangunan kota hari ini? Tidak cukuplah dengan stiker yang hanya dipasang di rumah-rumah. Atau sekedar patung di tengah kota yang bertuliskan sembilan Program Unggulan Kota. Para perencana dan pelaksana program unggulan perlu memerhatikan implementasi dan evaluasi.
Misalnya, Program Ngopi (Ngobrol Pintar) Bareng Pak Wali sudah sangat kelihatan sebagai strategi “serap aspirasi” demi menjaring masukan-masukan berharga untuk pembangunan. Berganti waktu, program ini semakin matang baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Namun, tidaklah cukup hanya memahami persoalan-persoalan lapang saja. Kebijakan yang ditunggu yaitu eksekusi pasca “hearing” ini. Benarkah, ia mampu melahirkan kerja-kerja multiplayer effects yang signifikan?
Kehendak baik kepala daerah tidaklah cukup, kinerja tim eksekusi yang solid dan bekerja sesuai terget-target perubahan yang direncanakan, dinanti-nanti. Bisa saja, kepala daerah memiliki maksud dan tujuan perubahan semacam A, tetapi tidak ada jaminan semua anggota tim kerja keras menyukseskan target-target A tersebut. Jangan-jangan malahan memilih X. Bisa jadi karena pragmatisme, vested interest berurat akar atau kapasitas pelaksana memang hanya level kelas X. Sebagai capaian, perubahan sosial itu kolektif, yang artinya ia hanya bisa dieksekusi oleh “gerbong” tim yang handal, bukan kehendak personal.
Penulis tidak tahu kondisi obyektif internal para pelaksana kebijakan, apakah evaluasi monitoring yang sangat ketat sebagai bahan perbaikan dan terobosan. Ataukah masih menempuh jalur rutinitas. Pengamatan penulis menyatakan bahwa kepala daerah sedang bekerja untuk perubahan. Memang tidak mudah menciptakan perubahan dalam waktu yang sangat pendek.
Untuk itu, kita membutuhkan pengayaan gagasan, konstruksi pengetahuan bersama dan tentunya, komitmen bersama untuk merealisasikan itu. Penulis menyarankan agar memperbanyak diskursus pembangunan yang cocok untuk sebuah kota. Peluang ini terbuka lebar. Kini, eranya governance, bukan government centre, maka masukan-masukan sebanyak-banyaknya dibuka dan didorong dalam panggung “public sphere”. Saya kira, kepala daerah mampu melakukan langkah-langkah tersebut, asalkan kemauan semacam ini konsisten diperjuangkan. Mudah-mudahan Majapa berubah menjadi kampung yang meninggalkan kemiskinan masa lalu, sehingga perkembangan ke depan yang cerah membuat kemiskinan tidak usah dibahas kembali.(*)
————————————————————————————————————————————-
Rachmad K. Dwi Susilo, MA, Ph.D*
Penulis adalah Pengajar Mata Kuliah Perubahan Sosial dan Perencanaan Desa & Kota di Prodi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
REFERENSI:
- 2004. Teori-Teori Perubahan Sosial: Dalam Kajian Perspektif dan Empirik pada Proses Pembangunan Pertanian.Surabaya: Yayasan Kampusina
- Lewis, Oscar, 1993. dalam Suparlan, Parsudi (penyunting). Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
- Putra, Fadillah dan Sanusi, Anwar. 2019. Analisis Kebijakan Publik Neo-Institusionalisme. Jakarta: LP3ES
- Samirin, Wijayanto, 2014. Bridging the Gap. Mengurangi Ketimpangan, Meluruskan Esensi Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
- Tonn, B., English, M., & Travis, C. (2000). A framework for understanding and improving environmental decision making. Journal of Environmental Planning and Management, 43(2), 163-183.