Penulis saat melaksanakan kerja fasilitator.

Fasilitator Pada Pemberdayaan Sebuah Pendekatan Kultural

Opini

A. Tentang Pemberdayaan di Indonesia

Kita masuk pada sistem di mana pemberdayaan sebagai salah satu “panglima” di dalam pembangunan. Banyak pemberdayaan yang telah dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan  yang  berhasil, namun juga tidak sedikit yang “mubazir” yang sama artinya pemberdayaan berakhir dengan capaian yang belum jelas.

Pada kasus pemberdayaan petani di sekitar hutan di Randubelatung, pemberdayaan masih mempraktikkan perilaku sentralistik yang menafikkan keberadaan masyarakat sekitar. Keterlibatan masyarakat dikontrol oleh juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) yang oleh Perum Perhutani (Sutaryono, 2008). Masyarakat tidaklah dianggap sebagai mitra, tetapi tidak lebih sebagai pekerja upahan, maka, judul buku ini menarik sebagai “Pemberdayaan Setengah Hati,” yang artinya tidak benar-benar berpihak kepada masyarakat.

Baca juga :  Kelucuan Sosiologis Pemberdayaan

Satu contoh lagi penulis berikan, yaitu Program Pertanian Organik di Kota Batu, Jawa Timur. Kurang efektifnya program ini benar-benar membekas dalam benak penulis. Pertanian organik yang dimaksud yaitu pertanian yang meniadakan pengaruh dari bahan-bahan kimia dan menghormati alam.  Selain itu, pada saat program ini diluncurkan, program ini menjanjikan pertanian modern yang benar-benar “berbeda” dengan pertanian model sebelumnya yang dinilai tidak sehat dan tidak marketable.

Bagi Pemerintah Kota Batu, program ini selain sebagai cara konsumsi yang sehat, ia memiliki nilai tambah untuk sektor pariwisata mengingat Kota Batu sedang membangun visi sebagai kota wisata. Sederhananya, diharapkan wisatawan yang berkunjung berbelanja produk organik tersebut. Ada potensi yang saling dukung antara wisata dan pertanian.

Untuk mencapai pertanian organik ditempuhlah langkah-langkah sebagai berikut: 1). penetapan daerah pertanian organik, 2). pemberian satuan produksi kepada para petani dan 3). sertifikasi pertanian organik. 4). penetapan daerah produksi yaitu meliputi desa-desa yang ditargetkan menjadi kawasan pertanian organik. Desa-desa tersebut diproyeksikan untuk memelopori desa-desa lain.

Pemberian satuan produksi berupa pupuk dan alat-alat pertanian melewati gabungan kelompok tani (gapoktan). Sedangkan, sertifikasi diberikan kepada petani yang mempraktikkan  pertanian organik. Untuk menerapkan pertanian tidak harus 100% organik. Dalam hal ini pemerintah mendorong petani agar meninggalkan pertanian non organik, kemudian memfasilitasi untuk memperoleh sertifikasi bagi petani tersebut.  Target sertifikasi tidak langsung pada capaian paling atas tetapi bertahap dari prima ke internasional standard. Oleh karena itu pemerintah menerapkan Batu Go Organik secara bertahap.

Setidak-tidaknya tahun 2016, sosialisasi program ini gencar dilaksanakan. Di desa-desa yang diproyeksikan pertanian organik dipasang baliho yang dengan gambar wali kota yang mengampanyekan pertanian modern itu. Sekilas jika membaca dan mengamati baliho, seakan pertanian organik sudah di depan mata. Iklan juga ramai ditayangkan di media audio visual cukup gencar yang kemudian petani dimotivasi untuk mengembangkan pertanian ini.

Program ini sudah berjalan sekitar 6 tahun, namun belum menghasilkan sesuatu yang berkelanjutan. Bahkan ketika artikel ini ditulis, penulis tidak menjumpai “bekas-bekas” program hari ini. Beberapa kawan dari desa menceritakan banyak petani yang tidak terkena program atau tidak mengikuti program ini dikarenakan biaya perawatan yang mahal dan tidak adanya jaminan pemasaran.  Akhirnya, ketidakberlanjutan terancam, untuk tidak memberi kata lain sebagai kegagalan program.

Berangkat dari kondisi tersebut, penulis memandang perlu untuk memikirkan keberhasilan program pemberdayaan. Artinya, jika meluncurkan program, harus satu paket dengan memikirkan keberhasilan. Keprihatinan bagi semua jika program diluncurkan tetapi tidak berkelanjutan, mangkrak dan gagal. Dari situlah, tulisan ini lahir sebagai warga negara yang ngeman-eman dari “perencanaan untuk kegagalan” ini. Maka tulisan menggali dan mendiskusikan pekerjaan fasilitator untuk penggerak pemberdayaan.

Pengalaman penulis berorganisasi nir laba, mengamati fenomena sosial sekitar dan mereview literatur pemberdayaan dan perubahan sosial sejatinya menjadi bahan-bahan berharga tulisan ini.

B. Substansi Pemberdayaan

Pemaparan tentang peran fasilitator tidak bisa dilepaskan  dari bangunan besar pemberdayaan sebagai pendekatan pembangunan yang sekarang diusung banyak pihak, seperti korporasi, organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Kesemuanya ramai-ramai melaksanakan program charity dengan menyatakan atau mengklaim sebagai langkah pemberdayaan masyarakat.

Bisa dikatakan pemberdayaan sebagai pendekatan pembangunan yang didorong niat baik untuk melahirkan perubahan dan kemajuan masyarakat secara signifikan yang menyangkut performans pemerintah dan perilaku sosial masyarakat baik secara individual maupun kelompok dalam kesatuan-kesatuan komunitas. Idealnya, masyarakat sebagai subyek dan obyek pemberdayaan diperlakukan sebagai fondasi masyarakat yang berdaya.

Sebagai proses, sejatinya kegiatan pemberdayaan bisa dikategorikan sebagai aktivitas humanis partisipatif dengan penghormatan pada hak-hak kemanusiaan semua manusia.  Maka, bukan  praktik pemberdayaan jika dalam pembangunan masih digunakan otoritarianisme dan pemaksaan prinsip-prinsip dari manusia kepada manusia lain.

Sedangkan dilihat dari sisi hasil, pemberdayaan melahirkan perubahan pada masyarakat untuk kehidupan lebih mandiri.  Perubahan yang dimaksud terkait mindset, pola pikir, kebiasaan dan tentunya, taraf hidup masyarakat. Strategi yang dilakukan kerap disebut sebagai rekayasa sosial (social engineering).

Target pemberdayaan masyarakat bisa diringkas yaitu: 1). Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat untuk berkembang, 2). Memperkuat potensi/daya masyarakat (empowering) dan 3). Memberdayakan juga berarti melindungi (Sumodiningrat dan Ari Wulandari, 2016: xv-xvi).

Kualitas pekerjaan bukan pada sejauhmana berinteraksi dengan mitra, tetapi menghasilkan  dampingan berkualitas. Kritik selama ini, para pekerja masyarakat dan para akademisi menghadapi masalah serupa, mereka rata-rata tidak bisa melepaskan diri dari justifikasi dan argumen masa lalu. Bayang-bayang model pembangunan sentralistik membuat justifikasi ke belakang. Selalu saja menjadikan model pembangunan Era Orde Baru sebagai  sasaran “tembak” yang melahirkan kepuasan dengan mempraktikkan pendekatan yang cukup  berbeda dengan orde baru tersebut.

Pemberdayaan kurang terencana dengan baik. Tidak heran karena lemahnya indikator yang di uji lapang, maka ia sering “terjerumus” bias pekerjaan teknis dan administratif. “kepuasan” menjadi tolak ukur pelaksanaan sebagai proses. Asal melibatkan masyarakat tidak ada lagi upaya kerja keras. Dengan demikian, pemberdayaan bukan alat untuk mengubah masyarakat karena  alat ukur menjadi sangat teknis dan adminstratif.

Jika program sudah sampai di masyarakat, maka dianggap selesai. Tidak ada problematisasi aspek historis, filosofis dan sosiologis. Benarkah, pemberdayaan bisa melukiskan keberlanjutan kesejarahan karena pada masyarakat pernah memiliki keunggulan yang perlu diteruskan atau diperkuat dengan pemberdayaan. Atau pemberdayaan bisa memutus rantai sejarah “suram” dari wilayah tersebut? Spiral kekerasan atau kantong kemiskinan bisa diputus dengan pemberdayaan?

Aspek sosiologi menjelaskan, apakah pemberdayaan akan memperkuat modal sosial ataukah justru memorakpondakannya? Apakah para pemberdaya sanggup mengelola modal sosial atau malahan merusaknya?

Sementara itu, aspek filosofis menjelaskan “substansi” pemberdayaan itu. Apakah pelaksana pemberdayaan paham tentang hakekat manusia, kelompok, komunitas dan perubahan sosial? Dari sisi filosofis, para pelaksana bisa merunut sebagai pilihan paradigma praxis yang berpihak pada teologo-teologi krisis.  Jika memahami “ruh” pemberdayaan seperti dijelaskan tersebut, maka implikasi pemberdayaan bukan sekedar kepuasan kognitif, tetapi seharusnya berimplikasi pada perubahan perilaku berdaya.

 C. Fasilitator di dalam pemberdayaan

Organ pemberdayaan itu kolektif, artinya  tidak hanya satu pihak yang bekerja atau berfungsi, tetapi menuntut  saling keterkaitan dan saling ketergantungan.

Pada konteks ini peran fasilitator sangat penting dalam memfasilitasi dan mempercepat kerja-kerja lapang demi perubahan. Ia tidak harus hadir secara terus menerus di kelompok sasaran karena target kerja yaitu menjadikan kelompok lebih pandai sehingga kelompok akan bisa bekerja sendiri jika program sudah selesai (Isbandi Rukminto. 2008).

Kemampuan fasilitator diukur keberhasilan melakukan bridging strategi top down dan bottom up. Dari satu sisi ia memahami dan mengimplementasikan aturan/regulasi program, kemudian pada sisi lain ia mampu mengembangkan kreativitas dan keswadayaan di masyarakat. Peran fasilitator yakni menggerakkan organ-organ pemberdayaan agar bekerja on the track pada perencanaan, implementasi dan capaian atau target-target yang diharapkan. Posisi fasilitator menjadi strategis karena ia sebagai pihak penghubung antara pemberi dana atau inisiatior pemberdayaan dengan masyarakat sebagai dampingan.

D. Bagaimana seharusnya?

 a. Prinsip-Prinsip Fasilitator

    1. Bekerja dengan mindset.

Penulis meyakini mindset sebagai pendorong atau pembimbing fasilitator. Mindset menjadikan sebagai agen perubahan sosial yang benar-benar menyadari bahwa pekerjaan yang akan dilakukan merupakan proses yang panjang dan menghindari artifisial dan hilang dalam waktu yang singkat. Maka, fasilitator harus memiliki kemampuan melakukan refleksi kritis yang tidak sekedar mendata persoalan, tetapi juga mempertanyakan persoalan-persoalan yang menindas masyarakat seperti struktur sosial, dogma, tatanan budaya, tradisi dan lain-lain (Suisyanto,dkk  2006).

Luaran pekerjaan fasilitator yaitu keswadyaan masyarakat sebagai tindakan bersama masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan melalui proses belajar sosial dan mengakibatkan masyarakat memiliki kompetensi berupa rasa tanggung jawab dan kesadaran akan kapasitas ” Untuk itu, keswadayaan mendorong proses perkembangan masyarakat yang berbasis kondisi, pola dan mekanisme internal yang sudah terbentuk melalui proses belajar (Soetomo, 2012).

Ia  tidak berhenti pada kepuasaan pekerjaan administratif atau sekedar memerankan sebagai pengamat, tetapi praxis mengawal masyarakat demi terjadinya perubahan. Praxis menjelaskan tentang pekerjaan yang didasari pengetahuan/teori yang menghasilkan aksi-aksi lapang.

Terkait hal ini, penulis berbagi pengalaman lapang. Seorang pendamping menceritakan kepada penulis  tentang kesibukan sebagai fasilitator yang tidak pernah selesai. Menurutnya, bekerja yang terpenting yaitu mengelola pemberdayaan di masyarakat. Bekerja di ranah in tentu  tidak mudah sebab persoalan yang dihadapi masyarakat begitu kompleks, sesuai dengan karakter masyarakat yang selalu dinamis, maka pekerjaan pendampingan merupakan pekerjaan yang tidak pernah selesai.

     2. Fokus pada pendampingan lapang

Sekalipun orang atau kelompok itu memiliki kekuasaan dan otoritas, tetapi menyelesaikan  persoalan-persoalan kemasyarakatan makro, terlebih dalam waktu singkat,  sangatlah tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, maka yang dibutuhkan fokus dengan mengenali dampingan bisa dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah, sebagai berikut:

  1. Mengenali populasi yang menjadi sasaran dengan (1). memahami karakteristik anggota populasi yang menjadi sasaran.
  2. Menentukan karakteristik masyarakat; (2). identifikasi batasan masyarakat, (3). identifikasi profil masalah-masalah sosial, (4). memahami nilai-nilai determinan masyarakat.
  3. Mengakui adanya perbedaan-perbedaan; (5). Identifikasi mekanisme formal dan yang menekan, (6). identifikasi peluang-peluang terjadinya diskriminasi.
  4. Kenali struktur; (7). mengetahui letak kekuatan dan kekuasaan, (8). Menentukan sumber-sumber yang dapat dipergunakan, (9). Identifikasi pola-pola pelayanan dan pengawasan sumber (Farudin, tanpa tahun).

Fokus membimbing pada output fasilitator dalam melakukan perubahan masyarakat/komunitas dampingan.  Maka pekerjaan dampingan harus realistis yakni hanya memikirkan dan menjangkau sasaran dampingan yang akan diubah. Langkah-langkah fasilitatif yang bisa dilakukan yakni animasi sosial, mediasi & negosiasi, memberi dukungan, membentuk konsesus, fasilitasi kelompok, pemanfaatan sumber daya dan ketrampilan dan pengorganisasian (Ife dalam Adi, 2008).  Untuk mencapai target itu kita membutuhkan fokus, ekstrimnya, sekalipun pekerjaan padat, fokus akan mendorong pada pekerjaan yang sungguh-sungguh.

      3. Mendiagnosa, Mengeksekusi dan Mengevaluasi

Masyarakat dampingan pasti memiliki persoalan-persoalan, maka fasilitator bertugas mendiagnosa persoalan-persoalan itu. Kemampuan yang dibutuhkan  yakni mengamati persoalan lapang dan bagaimana menemukan cara atau solusi untuk mencapai target pemberdayaan.

Pada program pertanian organic yang penulis jelaskan di muka, para pelaksana tidak memahami tujuan dan visi dan eksekusi pemerintah hanya sebatas penganggaran APBD. Sebagaimana program kebanyakan,  tidak ada persiapan dan tindak lanjut.Pemasaran yang tidak pernah diperhatikan oleh para pelaksana kebijakan dimana akhirnya program ini tidak berjalan alias mangkrak.

Mengeksekusi yaitu setelah mengetahui jalan keluar setiap persoalan, fasilitator mampu menjalankan solusi tersebut sampai masalah terkurangi atau bahkan selesai.

Misalnya, fasilitator menemukan konfik di akar rumput sesama pelaksana pemberdayaan, maka ia mendamaikan dan terus menerus mencari solusi agar konflik tersebut tidak semakin melebar dan tidak produktif.

Jika bisa diselesaikan sendiri merupakan hal yang bagus. Persoalannya, jika ia tidak sanggup terutama disebabkan persoalan hirarkhis, maka ia mampu menggerakan unsur-unsur strategis lain.

Mengevaluasi yakni menilai sejauh mana aksi dilaksanakan dan bagaimana mengatasi masalah-masalah ikutan yang muncul dari pemberdayaan itu.

Misalnya, memahamkan mekanisme atau aturan main bukanlah sekali. Walaupun sudah disampaikan berkali-kali belum tentu paham pada praktik lapang. Kondisi ini sangat wajar dan manusiawi sebab setiap orang atau kelompok memiliki daya tangkap tidak sama, maka fasilitator harus memahami setiap dampingan.

Ketrampilan-ketrampilan tersebut dilengkapi dengan ketrampilan manajerial dan administratif, sebab sebaik apapun regulasi, tetap saja dibutuhkan langkah-langkah mengelola atau manajerial. Keberhasilan pengelolaan ini akan melahirkan dampak positif di masyarakat.

Pengetahuan komunitas bermacam-macam, kemudian fasilitator akan  memahamkan pengetahuan itu. Setelah pengetahuan disampaikan, kita menunggu perilaku sosial yang ditargetkan, disinilah manajerial mendesak dibutuhkan.

Kemudian. Rata-rata setiap kenijakan harus mempertanggungjawabkan pengalokasikan dana. Disinilah kemampuan administrative seperti membuat pelaporan sesuai dengan regulasi atau ketentuan yang berlaku sangat dibutuhkan. Bisa jadi dampingan tidak memiliki pengetahuan atau sulit menerima pengetahuan baru atau malas mengerjakan pelaporan karena beban dan tanggung jawab hidup, nah, sekali lagi fasilitator harus pandai menyiasati.

Sementara itu, sama dengan logika sebelumnya, benturan dan konfik antar aktor bisa saja terjadi. Konflik terjadi tidak selalu disebabkan oleh kehendak jahat, tetapi oleh persepsi dan pengetahuan yang berbeda, maka pelaku pemberdayaan butuh ketrampilan resolusi konflik. Resolusi konflik dibutuhkan oleh fasilitator dalam mengelola konflik.

      4. Pemanfaatan literasi

Fasilitator selalu memutahirkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Hal ini disebabkan setiap fasilitator menemui persoalan lapang, ia terus mencari solusi, maka ia tidak boleh berhenti berfikir dan berusaha. Disinilah, literasi menemukan relevansi. Melalui pencairan (searching), pembacaan atas banyak sumber, berbagai solusi akan ditemukan. Peluang dan kesempatan ini sangat mudah diperoleh di era maha data.

Literasi juga akan memampukan kita untuk mengembangan “nalar kritis” karena melek literasi menjelaskan kemauan untuk saling berbagi pengetahuan mengingat ilmu pemberdayaan tidak memiliki standar jelas.

Sensitivitas pada literasi ditunnjukkan dengan buku harian fasilitator yang berisi agenda yang harus dikerjakan dan informasi-informasi lapangan yang penting.  Catatan tertulis menjadi keseriusan yang ditunjukkan fasilitator pada arti penting literasi.

       5. Kolaborasi

Untuk menjalankan poin-poin di atas, fasilitator tidak bisa kerja sendirian. Persoalan itu begitu kompleks sehingga membutuhkan diagnosa dan kemudian setelah diagnosa selesai, maka  langkah-langkah strategis menunggu. Nah untuk mengeksekusi langkah strategis mustahil diselesaikan sendirian, maka kolaborasi yang saling mengisi dan menguatkan menjadi kebutuhan yang sangat penting.

Dalam kolaborasi dijelaskan pembagian kerja yang tidak menyandarkan pada hirarkhi atau garis komando, tetapi pembagian kerja yang memfasilitasi  pekerjaan secara bersama-sama.  Maka, sistem “jamaah” ini harus dijalankan dengan baik, tantangannya, kolaborasi tidak mudah bagi orang-orang dengan tipe kompetisi.

b. Etos kerja fasilitator

Prinsip-prinsip di atas tidak akan berfungsi secara  baik tanpa  dilandasi etika sebagai pendorong perilaku ideal. Etika memuat nilai-nilai ideal sebagai motor dan sekaligus motivasi dalam  bekerja. Banyak motivasi orang dalam bekerja, tetapi motivasi yang didasari nilai-nilai yang diyakini itu menjadi perbuatan yang baik.

Saya tidak bisa membayangkan jika tindakan sosial tanpa dilandasi nilai-nilai. Belajar dari gagasan tentang etika yang dinyatakan Max Weber dalam Bukunya Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (1905), Sosiolog Jerman ini memaparkan  nilai-nilai agama sebagai pendorong kegiatan ekonomi.

Nilai-nilai pemberdayaan yang sejatinya menjaga konsistensi untuk memilih pekerjaan sebagai fasilitator pemberdayaan. Kreativitas untuk bersama dengan obyek lapang diperlukan sebab pekerjaan ukuran pemberdayaan relatif. Salah satu sebabnya, realitas sosial tidak bisa diprediksikan dengan baik. Sebaik apapun konsep dan rencana kita, pastilah mengalami persoalan lapang. Ini artinya pemberdaya tidak bisa bekerja “by order”. Memang godaan sebagai “birokrat” menghantui siapapun.

 c. Tantangan-Tantangan

Kita menghadapi masyarakat yang serba pragmatis yang memasuki semua lini pekerjaan. Semuanya pekerjaan diukur dari imbalan (reward) jangka pendek dan bisa dinikmati secara praktis.

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, salah satunya, tuntutan dan gaya hidup masyarakat. Akibatnya, ia menjelma sebagai sistem yang mengikat (determinan) pada masyarakat. Konsekuensinya, sekalipun jargon program terkesan manis, tetapi tidak mudah mencapai hasil  pemberdayaan itu.

Satu hal yang terlihat bahwa tidak semua manusia merdeka dan mampu memerdekakan dari lingkungan politik keorganisasian. Akhirnya apapun kegiatan, termasuk realisasi program lebih banyak buah instruksi. Sekalipun di lapangan ada masalah, kalau tidak ada instruksi, para pelaksana cenderung abai. Inilah krisis pekerjaan yang jauh dari capaian yang harus dianalisa bersama-sama.(*)

———————————————————————————————————–

Tulisan ini merupakan kolaborasi dua penulis, yakni Rachmad Kristiono Dwi Susilo, MA, Ph.DDosen Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur concern pada Isu-Isu Sosiologi, Kebijakan Lingkungan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Kepenulisan, serta Ridwan Irawan, M.Si yang sekarang sebagai Konsultan Pendidikan Karakter Bangsa dan menekuni dunia pengajaran, pelatihan dan community development

 

Referensi :

  • Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
  • Fahrudin, Adi. tanpa tahun. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora
  • Soetomo. 2012. Keswadyaaan Masyarakat: Manifestasi Kapasitas Masyarakat untuk Berkembang secara Mandiri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Suisyanto,dkk . 2006. Manual Kerja Perubahan Sosial untuk Pemula. Yogayakarta: PMI-Dakwah UIN Sunan Kalijaga kerja sama dengan IISEP-CIDA
  • Sutaryono, 2008. Pemberdayaan Setengah Hati. Sub Ordinasi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)

 

fasilitator Kota Batu Kota Magelang pembangunan pemberdayaan pendekatan kultural sosiologis wali kota

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts