Penulis (kiri) tengah melakukan observasi dan wawancara pada keluarga tidak mampu di Kelurahan Rejowinangun Utara, Kota Magelang.

Kemiskinan di Kota Kelahiran: Sambang Lapang Keluarga Tidak Mampu (Tulisan Kedua – Bersambung)

Opini

Pekerjaan observasi (pengamatan lapang) merupakan rutinitas seorang akademisi atau sosiolog seperti penulis. Metodologi penelitian kualitatif menyatakan bahwa data observasi melengkapi survei yang biasa menggunakan kuesioner.  Tetapi, bagi penulis, observasi kali ini sangat istimewa, karena subjek yang akan diobservasi adalah saudara penulis atau kerabat penulis satu kota. Tentunya, saudara saya yang bisa dikategorikan kurang mampu. Pastilah ada gejolak batin, antara mengidentifikasi, semangat menuliskan, berpartisipasi, dan berkontribusi demi mengakhiri persoalan kota.

Penulis menggunakan observasi sebagai alat pengumpul data. Observasi digunakan demi memastikan data-data lapangan tersebut valid dan sesuai keadaan, mengingat instrumen penelitian, peneliti sendiri, ia bisa diandalkan dari pada quesioner. Bekerja dengan data yang benar/valid otomatis akan menyempurnakan data-data survei dari lembaga lain.

Baca juga :  Kemiskinan di Kota Kelahiran: Perjalanan Seorang Akademisi (Tulisan Pertama -Bersambung)

Secara praktis, dengan demikian observasi otomatis membantu pelaksaanaan program. Kali ini yang dilakukan bukan observasi murni, tetapi penulis padukan dengan wawancara. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi dari suatu sumber daya melalui percakapan dan tanya jawab sehingga diperoleh data yang mendalam dan holistik (Satori dan Aan Komariah, 2017).

Sambang Pertama   

Pagi itu, Kamis, 18 Mei 2023, Mas Cahyo,  Lurah Rejowinangun Utara telah siap menemani penulis untuk observasi keluarga tidak mampu. Seperti kesepakatan yang kami buat, jam 06.30 WIB, ia bersiap mengunjungi salah satu keluarga miskin. Tidak sulit kami menemukan obyek yang dimaksud, karena sebagai pemangku kepentingan, Pak Lurah memahami wilayah tersebut dengan baik. Pak Lurah ditemani dua pelaksana kelurahan, Mas Ardian, dan Mas Dwi. Rumah keluarga miskin tidak jauh dari jalan kota penghubung antarkelurahan, maka dengan masing-masing naik motor saja kami bisa mencapai lokasi dalam waktu lima menitan. Tetapi sepeda motor di parkir di ujung gang dan dapat dicapai dengan jalan kaki.

Bersama suami dan kedua orang tua, A, 31 tahun, warga asli Rejowinangun Utara termasuk keluarga kurang mampu atau berada pada kondisi miskin secara ekstrim. Ia sendiri bekerja mengumpulkan dan menjual barang bekas (rosok), sedangkan suami menjadi pengemis di area traffict light Artos (Armada Town Square), mall terbesar di Kota Magelang, dengan pemasukan yang tidak bisa diandalkan. Keluarga ini kontrak di rumah tidak layak huni di RT 06, RW 20 Nambangan yang berada di pinggir sungai. Sistem kontrak per lima tahun sekali dengan membayar Rp 600.000,- per tahun. Ciri-ciri fisik rumah yaitu terbuat dari dinding bambu, kemudian di bagian luar samping rumah terdapat barang-barang bekas (rosok) yang ia jual.

Rumah tersebut memiliki tiga kamar yang kesemuanya tidak ada dipan untuk tidur, semuanya lesehan. Padahal tidak ada ubin atau lantai semuanya beralaskan tanah.  Ruang utama digunakan untuk menemui tamu. Pemenuhan kebutuhan seperti memasak dan minum didapat dari sumber air, maka ketika penulis memasuki rumah air kran dibiarkan mengalir. Tidak ada pintu baik untuk kamar tidur dan kamar mandi, semuanya diganti selambu.

Pendapatan per bulan rumah tangga ini, Rp 1.300.000,- yang digunakan baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari dan pendidikan dari dua anaknya yang masih SD. Alokasi dana pendidikan sebesar Rp 200.000,- per bulan. Angka ini sangat kecil mengingat kedua anaknya mendapat bea siswa dan menurut Pak Lurah, anggaran tersebut sekedar uang jajan.  Untuk menopang hidup, terdapat bantuan pemerintah yang diterima keluarga yaitu Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp 450.000 yang telah diterima selama dua kali dan Kartu Indonesia Pintar yang telah didapatnya Rp 450.000/tahun.  Ibunya sendiri mendapat bantuan dari bantuan lansia melalui Program Rodanya Masbagia (Program Pemberdayaan Masyarakat Maju, Sehat, dan Bahagia). Sembako yang dimaksud berupa daging, ayam, dan telur.

Di ruang tamu penulis melihat semacam hiasan dinding berupa gambar Masjid Sunan Kalijaga, Kalimat Allah, dan Muhammad SAW. Penulis menanyakan dari mana hiasan dinding. Ia menyatakan hasil dari memilah barang-barang bekas yang dijual sayang. Penulis memberikan pertanyaan mengonformasi, apakah ada keyakinan tertentu yang terkait dengan “pesugihan” atau baik buruk nasib atas hiasan dinding yang dipasang tersebut. Perempuan itu pun menjawab, barang-barang itu bagus sebagai hiasan dinding  dan tidak ada kaitan dengan sesuatu yang bersifat mistik. Gambaran ini menunjukkan bahwa Noviani memandang sesuatu secara rasional.

Pada saat penulis mengembangkan wawancara, pelaksana Kelurahan Rejowinangun Utara memahami arah pertanyaan penulis sekalipun sebelumnya kami tidak berkoordinasi. Ia bermaksud membantu penulis, secara spontan meminjam buku tulis yang penulis bawa dan secara spontan ia menulis kalimat “Budi Minum Susu”. Setelah itu, A diminta membaca, dan ternyata tidak bisa. Penulis tidak yakin, orang semuda itu buta huruf, sama dengan bapak pelaksana, penulis pun berupaya menanyakan kembali, sekali ia tidak bisa membaca kalimat pendek itu. Dari sinilah bisa disimpulkan bahwa perempuan itu buta huruf, kondisi yang wajar karena ternyata ia lulus kelas 1 SD.

Observasi Hari Kedua

Penulis meneruskan observasi di Hari Jumat, 19 Mei 2023. Kali ini penulis mengembangkan observasi ke Kelurahan Magersari dan bersama Bu Tatik, Lurah Magersari yang masih menjabat sebagai Lurah belum sebulan. Ia sudah siap di halaman kantor kelurahan dan menunggu penulis sejak jam 06.00 WIB. Kebetulan lokasi yang akan diobservasi tidak jauh dari kantor kelurahan dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Perjalanan menuju lokasi keluarga miskin cukup menarik. Sepanjang perjalanan, Bu Lurah selalu menyapa warga. Ada warga yang masih hapal dan ingat dengan bu Lurah, tetapi ada pula warga yang bingung atau kurang mengenal. Kemungkinan karena Bu Lurah memakai masker atau memang cukup lama tidak bertemu selama menjadi Lurah Tidar Utara, maka Bu Lurah tidak canggung-canggung mengenalkan diri sebagai Lurah Magersari yang baru.

Kali ini kami menemui Ibu J, 61 tahun,  warga Magersari yang tinggal di Panti Pareleman. Ia tinggal bersama anak kelima yang tinggal di rumah lain atau lebih tepatnya di kamar sampingnya. Penulis agak kesulitan menyebut rumah atau kamar karena memang luas kamar sangat sempit. Dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari, Ibu J sebagai pengemis di Lereng Gunung Tidar dan Area sekitar Toko Oleh-Oleh “Lezat”, salah satu toko oleh-oleh di Kota Magelang yang tidak jauh dari rumahnya. Suami anak kelima yang bekerja sebagai tukang bakso membantu keuangan keluarga tersebut. Ia tidak memproduksi bakso sendiri, tetapi mengambil dari juragan di Jambon, kelurahan lain satu kota. Dari jualan bakso, rata-rata pendapatan yang diterima Rp 60.000,- sampai Rp 80.000,- per bulan. Pada saat penulis dengan Bu Lurah sambangi, suami tersebut masih tidur, sehingga kami tidak memeroleh data-data detil dan mendalam terkait pendapatan.

Bu J sendiri memiliki lima anak. Anak pertama tinggal di Aceh dan anak kedua, di Jakarta bekerja sebagai baby sitter, anak yang ketiga tinggal di Muntilan, Kabupaten Magelang dan bekerja sebagai sopir Toko Oleh-Oleh “Lezat”. Sementara anak yang ke empat tinggal di Batam. Baik anak pertama dan keempat pergi tanpa kabar dan keluarga ini kehilangan kontak (lost contact) dengan Bu J. Sedangkan anak kelima tinggal bersama Bu J dengan suami yang bekerja sebagai tukang bakso.

Ia menempati lahan milik pemerintah, sehingga otomatis ia tidak memiliki sertifikat tanah. Selain pemerintah memiliki otoritas dalam memanfaatkan tanah tersebut, Kemungkinan besar bantuan pemerintah sulit masuk. Terlebih bantuan untuk perbaikan hunian. Dari rumah yang ditempati,  gambaran fisik rumah tidak layak huni. Rumah (sekali lagi, lebih tepatnya kamar berukuran kira-kira lebar 1,5 meter x panjang 2 meter) bersebelahan dengan orang lain yang kurang lebih berukuran sama. Sementara itu, kamar mandi bisa dikatakan milik komunal atau milik  bersama dan digunakan lebih dari satu keluarga. Ruang tamu sekaligus digunakan sebagai tempat tidur, bisa dikatakan ruang tamu satu dengan ruang tidur. Maka jika keluarga ini kedatangan tamu, tamu dipersilakan duduk di teras rumah yang cukup luas untuk sekitar dua atau tiga orang. Tuan rumah memiliki kursi plastik yang bisa untuk duduk.

Observasi berikutnya, yaitu Ibu G, 73 tahun.  Rumah yang ditempati sangat sederhana, tetapi berstatus layak huni. Berbeda dengan kondisi rumah yang asli, syukurlah berkat bantuan  bedah rumah melalui anggaran BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) Kota Magelang, rumah Ibu G kini layak huni. Sama dengan rumah-rumah sederhana lain, saat penulis masuk rumah, tidak ada perabot rumah yang menyolok, seperti meja kursi, almari, dan televisi. Bisa dikatakan semua aktivitas dikerjakan lesehan atau beralaskan tikar. Sementara itu, di depan ruang tengah atau depan kamar tidur bagian dalam, ada dapur kecil yang digunakan sebagai tempat memasak.

Keluarga ini dikepalai, seorang ibu bersama tiga anak dan satu cucu. Mereka yaitu Y(anak, 46 tahun), N (anak, 48 tahun), W (anak, 43 tahun) dan S (anak, 40 tahun). I bekerja sebagai pengamen, W sebagai tukang bersih-bersih masjid dengan mendapat uang Rp 50.000,- per dua minggu sekali. S dikenali sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan tidak bekerja, bahkan ia membutuhkan pendampingan atensi. Selain anak, bersama S ada seorang cucu perempuan, O yang sehari-hari berjualan di Pasar Rejowinangun.

Semua anak laki tinggal serumah karena single kembali (baca: duda) atau tidak lagi memiliki pasangan. Anak laki yang pertama cerai dengan istri dan lelaki yang kedua, istrinya meninggal. Padahal sebelumnya anak laki-laki itu bertempat tinggal di kelurahan lain dan memiliki kartu keluarga (KK) sendiri, tetapi kini kembali dan tinggal bersama orang tua lagi. Dalam studi sosiologi keluarga, keluarga sebagai institusi utama di masyarakat di mana masih sebagai rujukan anak pada saat mengalami krisis. Dan fenomena ini jelas sekali tergambar dari Keluarga Ibu S.

Pekerjaan Ibu G hanya ibu rumah tangga. Untuk memasak ia tidak menggunakan kompor gas, tetapi masih menggunakan kayu bakar dan kayu bakar tersebut didapat dari sisa-sisa ranting dipepohonan taman kota yang berada tidak jauh dari rumah. Sekalipun tidak sebagai alasan dominan, salah satu penyebab tidak menggunakan tabung gas elpiji karena  tidak cukupnya pendapatan.

Dalam sistem keluarga semacam itu, sesungguhnya di usia yang tidak muda lagi, Ibu G masih memikirkan anak, terutama anak yang mengalami gangguan kejiwaan (ODGJ). Saat anak tersebut tidak kembali ke rumah, sang Ibu bingung dan akan mencari ke mana anak ini. Bisa dikatakan bahwa beban keluarga tidak hanya kekurangan pendapatan sebagai masalah utama kemiskinan, tetapi juga sosio-psikologis sebagai masalah sehari-hari yang tidak kalah peliknya.

Sebuah Kesimpulan

Sekilas, persoalan keluarga tidak mampu yaitu kekurangan materi untuk  memenuhi kebutuhan hidup dasar. Temuan penulis menyatakan rata-rata keluarga memiliki pekerjaan di bidang  sektor informal. Sekalipun tetap mendapat penghasilan/upah, pekerjaan ini rentan dengan pendapatan tidak pasti dan bahkan, bisa kehilangan pekerjaan sewaktu. Tidak heran jika mereka hidup, subsisten yang cukup hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Posisi keluarga tidak mampu atau kemiskinan juga memiliki sifat multiplayer effect yang artinya berkembang pada masalah-masalah sosial lain, seperti pemenuhan kesehatan, kesejahteraan dan pemanfaatan waktu luang. Bahkan, di tahun-tahun polituk mereka menjadi sasaran empuk para politisi yang membutuhkan suara mereka tanpa memikirkan masa depan keluarga ini. Untuk itu butuh pendekatan komprehensif semua sektor untuk mengatasi masalah sistemik ini.(bersambung)

 

Rachmad K.Dwi Susilo, MA, Ph.D*

*Penulis adalah Sekretaris S2 dan S3 Program Studi Sosiologi, Direktorat Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang yang juga Doktor Alumni Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo.

Akademisi kemiskinan Kota Magelang kualitatif metodologi observasi pendapatan penelitian pengamatan lapang sosiolog survei

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts