Penulis saat kembali ke kampung halaman Kota Magelang sekaligus berdiskusi dengan stake holder kota bertajuk kota gethuk ini.

Rodanya Masbagia di Tahun Ketiga; akan Berputar Ke Mana?

Opini

Sebuah Refleksi Kebijakan dan Sosiologis

 

Oleh:

Rachmad Kristiono Dwi Susilo, MA, Ph.D*

Bismillahirrahmannirrahiim 

Sharing session yang diselenggarakan Karisma (Keluarga Remaja Islam Magelang) dan merupakan hajatan rutin di Bulan Suci Ramadan, menarik dicermati. Pada session, 14 Maret 2024, penulis mengangkat isu kota ini melalui judul ” Skema Progresif Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas di Kota Magelang.”

Dilanjutkan pada sharing session berikutnya yang berlangsung 20 Maret 2024, dr. Muhammad Nur Aziz, Wali Kota Magelang mengangkat isu “Solusi Kemiskinan dan Peningkatan Toleransi Warga menuju Kota Magelang Berdaya Saing.” Sekalipun pada kesempatan ini wali kota tidak membahas khusus pemberdayaan, ia menyatakan program pemberdayaan masyarakat termasuk program yang disukai warga dan harapannya diteruskan oleh siapapun yang memimpin Kota Magelang ke depan.

Baca juga :  Sistem Pemerintahan dalam Islam

Kedua sharing session tersebut melengkapi pengalaman lapang penulis ketika “sambang” kota kelahiran, 26-28 Februari 2024. Dalam waktu yang sangat singkat ini, penulis berkesempatan berdiskusi dengan wali kota, kepala Dinas DPMP4KB, Kepala Bidang Pemberdayaan DPMP4KB, empat pendamping, dan dua pokmas. Dari forum-forum tersebut, banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang harus penulis komunikasikan kepada pembaca. Tidak lain dan tidak bukan, agar konsep pemberdayaan di Magelang semakin mendekati titik kesempurnaan dan harapan bersama.

Rodanya Masbagia (RMB)

Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui RMB menunjuk dinamika dan perkembangan. Bagi penulis yang berlatar sosiologi dan kebijakan publik, sejatinya sama antara program pemerintah dengan organisme hidup, ia terus berubah dan selalu mengalami perkembangan dari implementasi kebijakan sederhana menjadi model yang kian kompleks atau dari target sederhana akhirnya menuju pengembangan-pengembangan kreatif.

Mulai 2021, kita lihat penyiapan kelembagaan, pasang surut jumlah pendamping, proses pencairan dan pengadaan barang dan jasa, evaluasi sampai perubahan dan pengembangan model pemberdayaan masyarakat di hari ini.

Perkembangan awal/tahun pertama belum dibentuk pendamping dan pokmas, namun sekarang kelembagaan sudah lengkap, sehingga anggaran mampu diserap. Sebagaimana yang dilaksanakan birokrasi selama ini, perencanaan telah dibuat tersistem.

Kembali kepada acara sharing session, materi yang penulis sampaikan didukung data-data lapang yang penulis kumpulkan mulai 2022 sampai FGD 27 Februari 2024. FGD ini diikuti oleh 2 pokmas dan 4 pendamping, maka menarik jika diangkat bersama-sama.

Sistematika artikel ini meliputi tujuan, latar belakang, analisa pemberdayaan masyarakat (kelebihan, kelemahan, tantangan, dan rekomendasi).

 Tujuan

Tujuan penulis mengangkat tema ini karena lebih menekankan pada status yaitu membangun salah satu peran kekhalifahan yang diwujudkan sebagai kontribusi riil membangun kota kelahiran, mendesain proses rekayasa sosial sebuah kota kecil dan mengkritisi implementasi pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas di Kota Magelang

Kondisi-kondisi yang menggembirakan yaitu terjadinya penurunan angka kemiskinan, angka pengangguran dan peningkatan kepuasan masyarakat seperti kita lihat dalam data-data yang disampaikan wali kota, sebagai berikut:

  1. Nilai SAKIP (69,15 (B) pada 2021, 70,49 (BB) pada 2022 dan 72,12 (B) pada 2023)
  2. Prosentase penduduk miskin (7,75% pada 2021, 7,1% pada 2022 dan 6,11% pada 2023)
  3. Tingkat Pengangguran Terbuka (8,73 pada 2021, 6,71 pada 2022 dan 5,25 pada 2023)
  4. Indeks kepuasan Masyarakat (82,1) pada 2021, 91,81 pada 2022 dan 88,83 pada 2023)

Sekalipun data-data di atas menunjukkan angka yang menggembirakan, kota tidak pernah selesai menyelesaikan masalah. Mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar sampai peningkatan kualitas hidup warga.

Untuk mengatasi masalah ini, kebijakan sebagai desain perubahan sosial terencana sebagai pengimbang perubahan yang tidak terencana. Perubahan sosial tidak terencana dilakukan warga secara alamiah yang sering di luar monitor pemerintah. Sedangkan perubahan sosial “terencana” dilaksanakan melalui implementasi kebijakan/program unggulan.

Kebijakan memuat tujuan, target, skema, dan pelibatan banyak aktor berbagai latar belakang, status dan kepentingan dalam model beragam. Kebutuhan peningkatan kualitas melalui pembangunan partisipatif yang menjadikan pemberdayaan masyarakat sebagai ujung tombak yang sampai hari ini sudah dilaksanakan selama tiga tahun

Analisa Pemberdayaan Masyarakat

Kini kita masuk pada analisa yang penulis putuskan meliputi kelebihan, kelemahan dan tantangan program.

Kelebihan Pemberdayaan sebagai Proses

a. Struktur Birokrasi Partisipatif

Kelompok masyarakat sudah berpartisipasi dari perencanaan sampai pelaksanaan dalam struktur birokrasi yang telah melibatkan partisipasi RT semua lapisan masyarakat dari pengurus RT, Pengurus RW, dan pokmas (kelompok masyarakat).

Proses ini akan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat di lingkungan RT/RW dalam memberdayakan potensi sumber daya lokal sendiri. Perkembangan mutahir yaitu pengadaan barang dan jasa pelatihan kembali ke swakelola tipe 4, di mana tahun 2023 (sebelumnya) menggunakan belanja TKPDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) melalui e purchasing atau e catalog.

Masyarakat lebih memilih swakelola tipe 4, di mana benar-benar memberdayakan pokmas. Kondisi ini dilihat dari skema yang membolehkan aktor pelaksana lebih banyak. Dilihat dari komposisi pokmas juga menarik karena ada pelibatan LPMK dan LKM. Wali kota mewanti-wanti agar kedua organisasi ini memang terbiasa berkecimpung di pemberdayaan, diharapkan dinamika pemberdayaan kian berkualitas.

Lurah Magersari menyatakan kesiapan untuk merealisasikan skema pelibatan program ini. Baginya, masuknya dua lembaga tersebut bukan sesuatu baru. Dia telah memetakan aktor-aktor pendukung komunitas berdasarkan keragaman latar belakang aktor, tentunya tidak meninggalkan kompetensi.

b. Praktik Kuasa RT

Kuasa Ketua RT memastikan potensi, masalah, peluang, dan perencanaan untuk pengembangan lingkungan mereka yang selanjutnya dituangkan dalam profil RT dan pengisian Rencana Kerja Masyarakat (RKM). Kegiatan ini menjadi pekerjaan yang dibiasakan (terlembaga) RT yang telah berlangsung selama tiga tahun.Tentunya peran RT tidak sendirian, tetapi didampingi oleh pihak kelurahan, pendamping RMB, dan DPMP4KB.

Pendamping benar-benar mengajari dan memonitor RT melalui pendataan usulan semua RT yang kemudian didokumentasikan. Data-data RT menjadi awal proses pemberdayaan yang seterusnya ditindaklanjuti melalui pengadaan barang dan jasa.

c. Partisipasi Warga melalui Pokmas (Kelompok Masyarakat)

Kuasa warga selain diwakili RT juga dilaksanakan oleh pokmas yang menunjukkan keterwakilan (representasi) unsur-unsur di dalam masyarakat. Kapasitas yang mendukung program dari pokmas tidak lepas dari peran lurah, sebab ia yang menunjuk melalui prinsip-prinsip tertentu.

Kita melihat pokmas merupakan partisipasi warga dengan SDM dan ketrampilan-ketrampilan khusus terkait dengan pengembangan lapang, maka hanya anggota masyarakat yang terseleksi sebagai pengurus Pokmas.

Dua kali penulis menyelenggarakan diskusi dengan pokmas, kita bisa menyimpulkan modal kepedulian anggota pokmas di lapang, sekalipun masih ada anggota pokmas kurang berkomitmen kepada kepentingan komunitas.

d. Kompetisi untuk Peningkatan Kinerja Rodanya Masbagia

Pemerintah Kota Magelang selalu membuka diri atas evaluasi program dengan mengundang evaluasi dari kelompok-kelompok yang lain. Dalam kaitan ini, akademisi dan perguruan tinggi dilibatkan.

Selain itu, DPMP4KB menyelenggarakan kompetisi RMB yang diikuti semua kelurahan. Kriteria yang digunakan yaitu administratif dan capaian-capaian program di lapang. Secara rinci poin-poin yang dikompetisikan meliputi:

  1. kelengkapan administrasi.
  2. ketepatan mengikuti timeline
  3. ketaatan pada prosedur
  4. keswadayaan, pelibatan masyarakat dalam tiap tahapan,
  5. Inovasi pemanfaatan dana 30 juta,
  6. Persentase besaran swadaya terhadap dana pengungkit kegiatan.
  7. Keterkaitan kegiatan rodanya masbagia dengan program unggulan lainnya (Wawancara dengan Sekretaris DPMP4KB, 26 Maret 2024).

Kompetisi memberi efek bagi pelaksana tingkat kota maupun tingkat kelurahan untuk selalu memacu kinerja. Untuk kepentingan peneliti, dari data-data pemenang ini, penulis dapat menggali best practice, mengapa pihak kelurahan berhasil keluar sebagai juara.

Kelebihan Pemberdayaan sebagai Hasil

a. Warga Berdaya dan Birokrasi Pembelajar

Gambaran warga berdaya penulis dapatkan dari FGD (Focus Group Discussion), Minggu, 27 Februari, salah satu pendamping menyatakan bahwa beberapa bisnis barista dan pangkas rambut (barbershop) dibuka oleh alumni pelatihan yang didanai rodanya Masbagia.

Sekalipun belum bisa dijadikan sebagai data generalisasi, keberhasilan out-put disebabkan birokrasi mulai menemukan pola dan bentuk. Watak birokrasi rata-rata yaitu mengamankan kebijakan, sekalipun demikian penulis melihat di kota kelahiran mulai terbuka pada perkembangan-perkembangan “update” di lapang.

Catatan di sini perlu diperhatikan, bahwa sebaik-baik niatan birokrasi tidak lepas dari kapasitas. Persoalannya, birokrat yang tidak jemput bola pasti menanggapi usulan warga sangat lambat dan memproduksi banyak kesalahan. Sebaliknya, birokrat yang “cak cek” dan sat set akan melakukan inovasi perbaikan dan pemutahiran atas usulan dan dinamika pemberdayaan di level grassroots.

 b. Nyawiji Pemerintah, Masyarakat, dan Antar-RT

Nyawiji merupakam istilah Bahasa Jawa yang menunjuk pada kesatuan  dari unsur beberapa unsur yang berbeda apakah pemerintah, masyarakat, dan pelaku bisnis swasta.

Praktik sederhana yang melekat pada wali kota yaitu program subuh keliling atau Ngopi Bareng Pak Wali. Dari kedua program ini wali kota bisa melihat langsung masalah prioritas di lapang. Hasil dari nyawiji yaitu kepala daerah menyaksikan langsung kondisi lapang dan mempercepat penyelesaian (finishing) Balai RW seperti yang kita temukan diantaranya di Kelurahan Cacaban dan Magersari

c. Jaminan Kebutuhan Dasar melalui Bantuan Sosial (Bansos)

Bantuan sosial diberikan kepada kelompok-kelompok tidak mampu. Dalam RMB, ia sebagai program wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap RT. Bantuan charity dan filantropi ini meringankan warga masyarakat terutama pada usia-usia yang tidak produktif. Dengan demikian, program RMB membantu pemerintah dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Penulis mengobservasi dalam kegiatan Ngopi Bareng Pak Wali, di mana masih ada warga yang sebatang kara dalam kondisi miskin, di mana membutuhkan bantuan dari pemerintah kota.

d. Keswadayaan Warga dalam Realisasi Program Kampung

Tidak ada program pengembangan masyarakat sempurna. Evaluasi menyatakan bahwa RMB telah menaikkan dinamika dan partisipasi warga baik pada perencanan dan pelaksanaan program. Inventarisasi barang sudah terpenuhi. Bagi warga yang mengusulkan program lewat musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), RMB menjadi solusi yang menutupi kelemahan dari pengajuan-pengajuan tersebut.

e. Kreativitas Organ Rodanya Masbagia: Pendamping, LPMK, LKM se-Kota Magelang

Organ pelaksana Rodanya Masbagia terdiri dari pihak internal dan pihak eksternal. Pihak eksternal tidak wajib mengeksekusi program, namun terbuka partisipasi dalam menyukseskan tujuan program.

Inisiatif LPMK untuk memperkuat pemberdayaan ini. Dalam audiensi dengan walikota dan Lomba Administrasi yang diselenggarakan DPMP4KB, terlihat antusias LPMK untuk terlibat pada RMB.  Selain itu, mulai tahun 2024, LKM diharapkan terlibat pada pokmas secara produktif.

Kekurangan (Minus) Pemberdayaan Masyarakat

a. Kerelawanan atau Cuan?

Pemberdayaan masyarakat sejatinya mengandalkan pekerjaan berbasis kerelawanan,  tetapi tidak semua aktivis mampu melakukan hal tersebut. Salah satu penyebab karena konstruksi sosial pemberdayaan pemerintah dan masyarakat belum sama.

Saat penulis melakukan wawancara dengan Lurah Magersari Kota Magelang.

Pemerintah selalu meminta peran aktif masyarakat dengan atau tanpa anggaran, sedangkan motif warga bervariasi antara berbasis honor dan kerelawanan. Karakter sosial komunitas tertentu mengedepankan kontribusi pada pembangunan, tetapi kelompok lain, mengharapkan reward dalam kegiatan pemberdayaan ini.

Kelompok pertama memang ingin meninggalkan sesuatu yang positif bagi kota sebagai ASN. Sedangkan kelompok kedua masih belum hilang dari “romantisme” yang mempersepsi bahwa dana ke RT merupkan “imbalan” menjadi tim sukses pada pilkada.

Tidak heran jika pada FGD yang diselenggarakan pemerintah kota, di tahun ketiga masih ada pihak yang membandingkan reward pokmas dengan pendamping. Pihak pendamping dipersepsi mendapat keuntungan berupa gaji bulanan.

b. Dialektika Kepentingan Komunitas dengan Pemerintah Lokal

Berbicara tentang pembangunan pastilah mau tidak mau membicarakan kepentingan dari kelompok-kelompok yang terlibat. Di sinilah tarik menarik atau dialektika antara komunitas dan pemerintah lokal terjadi.

Dialektika kepentingan ini terlihat sebagai pertunjukkan kepentingan komunitas dan masyarakat lokal. Memang, ada kalanya kepentingan bisa dipadukan, tetapi pada kesempatan lain tidak bisa dikompromi.

Tarik menarik kepentingan ini muncul sebagai akibat ketidaksamaan persepsi yang terjadi antara  komunitas dengan pemerintah. Pemberdayaan masyarakat sendiri merupakan pengembangan masyarakat yang berupaya menghubungkan orang-orang yang bergantung pada sumber daya yang diperlukan untuk membuat pilihan dan menegosiasikan hasil yang lebih menguntungkan dengan mereka yang secara tradisional mengendalikan sumber daya tersebut (Pigg, Kenneth, 2002).

Kebijakan model pengadaan barang dan jasa yang sebelumnya swakelola tipe IV yang kemudian di tahun kedua  diputuskan e puchasing atau e catalog. Sistem yang mengacu kepada ketentuan pemerintah pusat menimbulkan reaksi dari masyarakat karena akses pokmas dipersempit melalui pengadaan barang yang dilakukan oleh pemerintah.

Janji penganggaran Rp.30.000.000/ RT pasti menjadi patokan pengurus RT. Plafon uang tersebut merupakan budget RT yang tidak boleh diambil pemerintah kota. Padahal dalam tata pemerintahan sisa anggaran RT ini kembali ke kas daerah yang pada dasarnya kembali ke rakyat. Pemerintah yang berhasil melakukan efisiensi merasa sistem ini lebih baik. Komunitas memandang banyak efek yang tidak berpihak dari e catalog ini, seperti: syarat membuat akses masyarakat lokal tidak terbuka lebar.

c. Dilema “Keswadayaan” Masyarakat

Masyarakat menyaksikan kota bergerak dinamis. Bagi warga yang peduli, pasti akan terwadahi dari partisipasi mereka pada program unggulan. Tetapi bagi warga yang cenderung “main enak” alias pragmatis, program-program pemerintah akan menjadi semacam beban. Pemberdayaan tidak lebih sebagai agenda pemerintah yang harus dilaksanakan warga. Perangkat RT dengan  motivasi rendah akan terasa beban.

SDM RT yang tinggi juga menghadapi masalah “brigding” kapital sosial. Misalnya, kegiatan yang direncanakan berbasis RW, belum tentu didukung Ketua RT untuk kolaborasi. Cara berfikir dengan basis RT pasti akan menjadi tantangan yang harus dihadapi terus menerus.

Kondisi ini begitu kompleks seiring dengan semakin banyaknya pusat konsumsi di masyarakat membuat pekerjaan berbasis kerelawanan semakin tidak populer di Magelang. Yang terjadi di lapang, setiap diminta bekerja lebih serius untuk mengeksekusi lapang, pasti ditanya berapa uang yang akan didapat.

Warga berfikir jangka pendek untuk mengambil keputusan. Mereka lebih tertarik dengan program yang “tidak” menuntut pikiran yang mendalam. Sejauh ini pemerintah mengukur perubahan-perubahan keswadayaan dari kesungguhan merealisasikan program. Ketika warga mengeluarkan uang pribadi maka terhitung swadaya dan kontribusi ini bisa dilihat di SI Mas Bagia.

d. Tantangan Sistem Politik Lokal

Sejatinya yang dimaksud sebagai  pelaku pemberdayaan di kota ini tidak hanya eksekutif dengan masyarakat, tetapi juga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Dalam tata pemerintahan Indonesia, DPRD merupakan alat kontrol resmi formulasi dan implementasi kebijakan eksekutif, termasuk di dalamnya pengaturan penganggaran (budgetting). Sedikit banyak peran dari legislatif ini  memengaruhi pelaksanaan program.

Jika anggota DPRD baik kelembagaan/personal menilai implementasi kurang atau tidak bagus, mereka berhak mengurangi anggaran. Konsekuensinya, terjadi pengurangan staf lapang, konsekuensi bisa ditebak yaitu keberlanjutan program terancam.

Sejatinya sebagai best practice kota, program ini telah melatih keberdayaan sosial, namun penulis belum melihat inisiatif DPRD untuk meningkatkan legitimasi hukum dengan dibuatnya peraturan daerah yang menyatakan bahwa siapapun kepala daerah harus meneruskan program pemberdayaan ini.

e. Kontribusi Perguruan Tinggi

Sebagai jaminan kualitas dan keberlanjutan, program ini telah melibatkan perguruan tinggi agar implementasi kebijakan sesuai dengan tujuan dan target yang direncanakan.

Berdasarkan MoU dengan pemerintah kota melalui pendanaan APBD, UNTIDAR rutin menyelenggarakan survei dengan responden warga. Kampus ini masih berkutat sebagai evaluator melalui data-data secara kuantitatif melalui survei.

Sementara pendampingan program yang jauh lebih penting dilakukan tidak terencana dan sistematis, hanya kadang-kadang saja. Sebenarnya banyak persoalan lapang yang terutama dihadapi pendamping, namun akademisi tidak bisa bergerak cepat, langsung ke lapang memberikan solusi dan penanganan praktis. Demikian juga, isu-isu tentang kapasitas pelaku pemberdayaan yang masih absen dari sentuhan kampus.

Rekomendasi

Setelah kita melakukan evaluasi, kini kita harus menemukan langkah-langkah ke depan yang dinyatakan sebagai rekomendasi.

a. Komitmen dan Perencanaan Perubahan

Perubahan sosial sebagai target butuh waktu panjang dan pasti menghadapi tantangan-tantangan lapang tidak mudah, maka dibutuhkan komitmen jangka panjang dari semua aktor lapang, baik aktor negara dan non negara.  

Wawancara dengan birokrat menyatakan bahwa pemberdayaan masih berkutat pada program pengadaan barang untuk memenuhi inventaris RT. Kemudian, yang sangat penting diharapkan muncul pendamping lapang yang benar-benar mental agent of social change. Bukan hanya penjaga dan pelaksana program saja. Sekalipun struktur kelompok pendamping belum memungkinkan hal tersebut, tetapi peluang ke situ masih ada.

Evaluasi terkait ini secara berkesinambungan sudah dilakukan namun kita butuh antisipasi dan mitigasi lapang. Hal sederhana yang sudah penulis pikirkan sejak Januari 2022, pemerintah harus membuat kebijakan yang sudah berorientasi hasil. Selama ini masih banyak kepada prosedur saja. Jarang yang menggambarkan progress perubahan lapang, misalnya mana perubahan di kelurahan yang sudah on the track dan manakah yang belum.

Penulis saat melakukan diskusi dengan sejumlah pendamping dan Pokmas Kota Magelang.

Kondisi real lapangan akan menuntut perlakuan tidak sama dari pelaksana program sehingga perlahan tapi pasti perubahan bisa dimonitor. Kita akan memahami sampai sejauh mana perubahan dihasilkan dan apa langkah yang harus ditempuh.

 b. Pelembagaan Flexible Mediating Structure dan Collaborative Governance

Selama ini RMB belum memberdayakan semua potensi komunitas. Selain itu, struktur pengelolaan yang dibangun sering kaku dan tidak fleksibel,  maka perlu dibuat struktur yang mampu memediasi semua pihak. Mediasi akan meminimalkan potensi konflik dan sekaligus mengoptimalkan kolaborasi.

Akomodasi kepentingan pemerintah dan rakyat harus diperkuat. Misalnya, jika gagasan komunitas tidak bisa masuk ke pemerintah maka struktur ini mampu meneruskan sampai eksekusi.

Tata kelola diisi oleh aktor-aktor aktif, dinamis dan enerjik serta memiliki tanggung jawab untuk kemajuan kota. Aktor-aktor tersebut terkoordinasi oleh pemerintah, sehingga kontribusi yang diberikan masing-masing memang sesuai yang dibutuhkan program, tidak asal-asalan.

c. Aktivasi Kolaborasi Pengetahuan

Rodanya Masbagia bukan murni pemberdayaan masyarakat dan bukan pula murni kebijakan “top down” pemerintah, maka kedua pendekatan harus dipadukan. Hadirnya kebijakan yang bisa diamati yaitu pengadaan barang dan jasa yang tidak bisa dilakukan seenaknya, tetapi jelas membutuhkan praktik kebijakan sesuai kemauan dari regulasi.

Di sini kita membutuhkan kolaborasi pengetahuan teknis (birokrasi) sebagai pihak yang memahami regulasi dan pendayagunaan kelembagaan. Namun itu saja tidak cukup, pengetahuan akademis dan pengetahuan lokal?

Evaluasi selama ini yaitu pemerintah telah mengajak semua stakeholders untuk terlibat pada program pemberdayaan, tetapi masih dihadapkan pada partisipasi yang belum maksimal.

Kita selalu berhadapan dengan kata-kata kolaborasi yang manis dibibir tetapi minim bukti-bukti lapang, maka saatnya semua pihak harus jeli memikirkan sumbangan pengetahuan para stakeholders.

Para pelaksana tata kelola secara bijak mampu mendudukkan  pihak-pihak yang berkontribusi, apakah knowledge broker, process designer, capacity builder atau critical researcher (Peltola, 2023)?

Penulis meneliti mengapa kolaborasi pemberdayaan di magelang kurang efektif, salah satunya pengetahuan yang belum “berpadu”. Misalnya, kampus mengusulkan gaya-gaya knowledge broker, tetapi sejatinya kebutuhan dinas yaitu process designer, capacity builder.

Sama kasusnya, ketika kampus dibutuhkan sebagai critical researcher, malahan yang selalu dilakukan knowledge broker, tentunya ini tidak produktif. Padahal pemerintah juga membutuhkan kampus sebagai process designer, tapi malahan menjadi knowledge broker terus menerus. bagaimana ini? (****)

*Penulis adalah Sekretaris Prodi Sosiologi S2 dan S3 Direktorat Program Pasca Sarjana (DPPS) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur dan Tenaga Ahli Pemerintah Kota Magelang di bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Inovasi Sosial.

dr. Muhammad Nur Aziz hajatan Karisma kebijakan publik Keluarga Remaja Islam Magelang Kota Magelang pemberdayaan pemberdayaan masyarakat pokmas Ramadan RMB Rodanya Masbagia rutin Sosiologi wali kota Magelang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts