Pak dr. Aziz yang Saya Kenal
oleh: Agung SA*
Mungkin selama ini kita belum banyak mengenal Pak Dokter Aziz, Wali Kota Magelang yang saat ini ikut dalam kontestasi Pilkada 2024. Atau jika sudah mengenal, masih sebatas personal. Tetapi penulis, melihat lelaki kelahiran Tuguran, Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang ini dari sisi kepala daerah/wali kota yang menjalankan mandat konstitusi dalam bentuk kebijakan. Sepanjang penulis mengamati “sepak terjang” beliau memimpin “Kota Gethuk” ini selama 3 tahun, ia merupakan sosok yang benar-benar ingin berkontribusi untuk Kota Magelang, kota kelahiran alumni SMA Negeri 1 Magelang ini. Sangat berbeda dengan kepala daerah lain yang memiliki motivasi sebagai “kapal keruk.”
Kesuksesan sebagai dokter dan pebisnis rumah sakit pasti menjadi bekal berupa pengalaman, pengetahuan, jejaring dan akses yang mendorong kota ini menjadi Maju, Sehat, dan Bahagia. Dalam banyak kesempatan, Pak dokter menceritakan keprihatinan atas kehidupan teman-teman masa kecilnya tidak banyak berubah. Ia menginginkan teman-teman tersebut lebih sejahtera dan hidup secara layak. Dari sinilah, Pak dokter menetapkan niat, kembali ke Magelang, harus menciptakan perubahan.
Pertanyaanya, apakah Pak dokter sudah melakukan perubahan? Untuk mengujinya, mari kita mendiskusikan dan bersepakat dengan alat ukur yang jelas yang tidak subyektif. Pertama, kita lihat dari formulasi kebijakan. Di era Pak Dokter Aziz inilah, pemilihan program rata-rata berorientasi rakyat (people centered development). Di mana pembangunan fisik dinomorduakan. Pembangunan Ngesengan salah satu pembangunan fisik tersebut, tetapi pemberdayaan melalui Rodanya Masbagia, pengentasan kemiskinan, program agamis dan non fisik lainnya, menjadi sebagian besar prioritas pak Aziz. Kebijakan berorientasi rakyat pastilah terbuka, siapapun bisa mengevaluasi. Dengan demikian, transparansi menjadi utama yang menjauhkan dari mark up. Bagaimana mungkin mengambil keuntungan dari dana masyarakat, karena warga sebagai komunitas mengawasi?
Kedua, implementasi kebijakan. Ketika 12 program unggulan dicanangkan, Pemerintah Kota Magelang langsung gerak cepat memikirkan pelaksanaan. Mesin birokrasi digerakan untuk menyukseskan program. Tidak jarang, birokrat yang tidak mampu menjalankan kewajiban dengan baik, ditegur wali kota. Melalui manajemen terobosan, birokrat langsung ditegur baik ditelepon langsung atau diminta datang ke pendopo.
Ketiga, evaluasi partisipatif. Dalam implementasi kebijakan, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kota Magelang selalu melakukan evaluasi. Penulis memahami, tidak mudah menggerakkan birokrasi, bahkan dibutuhkan revisi-revisi dari umpan balik pemerintah, tetapi dr Aziz mampu menggerakan gerbong birokrasi sesuai tujuan. Para birokrat mendapat tempaan gaya kepemimpinan sipil out of the box. Beberapa kurang bisa menerima model ini, namun banyak yang bisa adaptif. Di sisi yan lain, rakyat mendapat ruang lebar khususnya pada program Ngopi Bareng Pak Wali. Rakyat boleh bertanya, mengkritisi bahkan mengusulkan alternatif tertentu dan Pak dr. Aziz bukanlah manusia “rumit”.
Pandangan Rata-Rata Masyarakat
Pertama, menginginkan perubahan cepat/ instan. Kepemimpinan baru dituntut mengubah hidup mereka secara cepat. Dari pengangguran memperoleh pekerjaan layak dengan gaji minimal Rp 5.000.000 per bulan. Perubahan pendapatan dari keluarga miskin menjadi kaya atau dari yang pendapatan Rp 1.000.000 per bulan menjadi Rp 3.000.000 per bulan. Sepanjang perubahan ini tidak dinikmati, maka pengakuan atas pemimpin tidak sempurna.
Kedua, menuntut pemberian kongkret (baca uang). Uang yang menjadi target kebijakan yang diharapkan dari kebijakan. Kalau hanya intervensi program yang tidak berbuntut uang, maka tetap dianggap bukan program. Tidak mudah pemerintah mengeluarkan besaran uang seperti diharapkan warga. Suatu hari penulis ingin memberikan anggaran lebih, tetapi dipertanyakan seorang birokrat, bagaimana “rasionalisasi” nya?
Sementara itu, reward ke masyarakat dalam bentuk bansos, bantuan lansia, bantuan pembangunan. Bisa ketemu dengan wali kota di pendopo, mendapat pencerahan dari wali kota pada Ngopi Bareng Pak Wali, sejatinya reward pula. Dalam masyarakat pembelajar, justru reward non-material ini memiliki efek yang luar biasa. Tinggal warga memposisikan sebagai subyek, pemerintah sebagai fasilitator dan penguat.
Ketiga, pemerintah “tidak bekerja.” Sebagai konsekuensi pandangan di atas, sepanjang kebijakan tidak menyentuh perbaikan personal mereka, pemerintah dianggap tidak “bekerja.” Padahal, warga yang menilai tidak pernah mengikuti program/kegiatan dari pemerintah. Warga dari golongan aktivis, memperoleh pengetahuan dan uang “saku” dari kegiatan pemerintah. Masih kurang? Kemungkinan besar dipengaruhi besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan aturan-aturan penggunaan uang yang mengacu kebijakan nasional.
Sebaiknya Kita
Penulis menilai beberapa pandangan masyarakat yang perlu diluruskan sebagai berikut. Sebaiknya menilai kebijakan dengan membandingkan dengan kebijakan sebelumnya atau menilainya dengan ukuran-ukuran yang sama. Janganlah menilai, kondisi Magelang hari ini dengan Kota Magelang 1990-an. Atau Magelang dibandingkan dengan kota di mana wali kotanya anak presiden. Magelang hari ini bolehlah dibandingkan tahun 2020 atau 2015?
Selain itu, dalam sistem politik, pandangan terhadap pemimpin janganlah personal. Konteks Dokter Aziz adalah pemimpin publik, maka kita melihat secara komprehensif dan kelembagaan. Memang, secara normatif, pemimpin harus melayani warga, tetapi pemimpin diikat sistem birokrasi dan kebijakan. Kalau personal, bisa tergelicir pada pandangan yang hanya memihak “kita” sendiri. Ingat, kepala daerah milik semua. Ada lapisan-lapisan masyarakat yang kemungkinan sudah disentuh program pemerintah. Kita tidak jelas memikirkan kelompok ini sebab sentral pandangan pada kita saja.
Sebaiknya, penilaian dikaitkan sistem ke depan. Siapapun calon pemimpin akan mengklaim bisa melakukan seperti yang dilakukan Dokter Aziz, pertanyaan berikutnya, apakah mampu? Kalau Anda menggunakan perspektif gagasan, pasti menjawab orang lain bisa seperti Dokter Aziz. Ini namanya gagasan dan namanya gagasan, sah-sah saja memandang kita jauh lebih bagus dari pada orang yang dibandingkan itu. Memang, gagasan itu liar dan boleh “berandai-anda” apapun.
Tetapi bagi rata-rata yang berpandangan, material-realistis-proporsional, yang pasti berhasil melakukan yaitu subyek yang pernah mencoba. Yang sekedar berjanji, bisa-bisa, kelas “omon-omon” yang sedang latihan wacana, bisa jadi berhasil, bisa jadi gagal, atau bahkan, menggelinding secara liar…tak karuan. (*)
*Penulis merupakan Warga Kota Magelang