Penulis saat ini masih belajar tentang Sosiologi dan Kebijakan Mengatasi Sampah.

Nyawiji untuk Magelang Zero Sampah: Sebuah Gagasan untuk Kota Kelahiran

Opini

Oleh: Associate Proffesor Rachmad K. Dwi Susilo*

Setelah menyampaikan materi pelatihan bagi fasilitator pengelolaan sampah yang diselenggarakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Magelang, tanggal 28 Agustus 2023, dari pukul 09.00 sampai 11.20 WIB, pada hari sama (Senin malam), penulis bertemu kepala daerah untuk mendiskusikan isu-isu publik di kota kelahiran.

Setelah diskusi tersebut penulis diantar Satpol PP pulang ke Magersari, Magelang. Namun kali ini tidak seperti biasa, spontan Pak Wali ikut, dengan demikian, kami bertiga jalan. Belum selesai surprise ini, penulis menemui hal istimewa, sebelum menuju ke rumah penulis, kami mengunjungi Transfer Depo Sampah Singosari dan Transfer Depo Sampah Magersari.

Baca juga :  Pendidikan Inklusif Menuju Layanan tanpa Diskriminatif

Tampaknya wali kota ingin memastikan pembuangan sampah pada kondisi yang diharapkan atau baik-baik saja. Malam itu kita menyaksikan sampah cukup berserakan. Spontan tidak terlalu keras, wali kota berujar, “Seharusnya sampah itu masuk ke ruangan itu. Tidak ada yang bercecer di badan jalan. Terus khan, ada pintunya, mengapa kok tidak ditutup supaya rapi.”

Wali Kota Magelang menambahkan kalimat yang cukup jelas penulis dengar, “Inilah pekerjaan khadimul ummat.” Penulis tidak menanyakan arti kata itu, karena dalam gerakan konservasi di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, penulis akrab dengan tokoh gerakan yang menggunakan kata normatif tersebut.

Penulis menanggapi “Apakah Kepala Dinas LH sudah mengetahui?” Wali kota menjawab. “Sudah saya WA barusan.”

Menemani wali kota ini sejatinya pengalaman kedua yang penulis alami. Pertama, pada saat wali kota membagi bantuan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk masjid-masjid. Penulis diajak turun lapang dan menemui warga di masjid yang berkumpul beberapa kelurahan. Kami bertemu masyarakat, memberikan bantuan, dan menyapa hangat mereka. Sekalipun penulis tidak nyaman dikira, mendekat ke kepala daerah sekedar untuk “mendapat” cuan.

Perilaku penulis mungkin-tidak semuanya- akan menyakitkan bagi yang ingin mendapat imbalan politik pasca pilkada.

Sejatinya, bagi penulis sendiri aktivitas ini terkait profesionalisme kerja sebagai Tenaga Ahli di Bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Inovasi Sosial Pemerintah Kota Magelang. Tetapi jujur penulis mendapat pengalaman berharga berupa pengalaman seorang umaro dalam menjalankan mandat dan kepemimpinan. Ternyata dari peristiwa tersebut ada dua pelajaran penting yang harus diketahui bersama.

 Khadimul Ummat

Khadimul menegaskan tentang sikap melayani orang lain atau pihak-pihak yang membutuhkan. Sebagai muslim yang baik peran pelayan umat sama artinya menyelenggarakan pelayanan publik bagi warga dan semua stakeholders terkait. Termasuk dalam hal ini, pengelolaan lingkungan secara profesional dan berkelanjutan sebagai praktik amal saleh dan amal jariyah setiap muslim, terlebih bagi mereka yang memegang otoritas tertentu. Setidak-tidaknya pada kontribusi terwujudnya lingkungan yang baik dan sehat merupakan penuntasan tugas Wakil Tuhan di muka bumi.

Bekerja Senyap

Sekalipun kebanyakan kegiatan kepala daerah sah untuk dipublikasikan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pengelola kebijakan, tetapi sebagai individu, tetap saja ada langkah wali kota dan mungkin para pejabat lain tidak demonstratif atau bekerja pada kondisi senyap. Keluar pukul 23.00 WIB pada saat warga mulai terlelap dengan hasil sangat signifikan merupakan pekerjaan jauh dari publikasi atau senyap tersebut.

Wali Kota Magelang saat berkunjung ke Transfer Depo Sampah Singosari Kota Magelang.
Wali Kota Magelang dr H Muchammad Nur Aziz Sp PD, K-GH, FINASIM meninjau Transfer Depo Sampah Singosari Kota Magelang.

Belum lagi, setelah kunjungan malam itu, paginya walikota menerima Green Leadership Nirwasita Tantra 2022 Kategori Pemerintah Daerah Kota Kecil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI di Jakarta.

Dari sini, kita bisa memahami bahwa isu pengelolaan sampah perlu dan selalu kita perhatikan. Mengingat sampah “sisa” aktivitas manusia yang harus di”jauhkan” dari komunitas atau diubah sebagai barang yang lebih berguna.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menyatakan bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Untuk itu, sampah harus dikelola supaya menyingkirkan barang yang dianggap mengganggu atau upaya pemanfaatan kembali.

Dari sinilah juga pengelolaan sampah harus menyentuh kebijakan baik yang dilakukan negara maupun dieksekusi kelompok-kelompok masyarakat.  Mari kita ulas hubungan keduanya tersebut.

a. Kebijakan Publik untuk Pengelolaan Sampah

Sekalipun dari pandangan sebagian besar masyarakat, sampah seperti plastik, sisa sayuran, buah-buahan busuk, kertas, dan lain-lain sebagai barang-barang tidak berguna, tetapi mau tidak mau ia harus diolah dan dikelola secara baik. Proses pengolahan sendiri membutuhkan tindakan kolektif terencana atau bertujuan, di sini kebijakan itu berperan.

Persoalan sampah merupakan urusan publik atau urusan bersama baik sebagai sesuatu yang menguntungkan atau  merugikan semua pihak disinilah relevansi membicarakan sebagai urusan publik. Bisa dibayangkan, sampah yang tidak dikelola dengan baik akan mengganggu kenyamanan hunian warga, memproduksi penyakit dan rutinitas manusia terganggu. Terkait dengan ini, penanganan sampah membutuhkan kebijakan publik yang bertujuan menyelesaikan masalah kolektif tersebut.

Suharto menjelaskan, poin-poin kebijakan publik sebagai tindakan pemerintah yang berwenang, sebuah reaksi atas kebutuhan dan masalah dunia nyata, seperangkat tindakan berorientasi pada tindakan, keputusan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan sebuah justifikasi yang dibuat oleh sesorang atau beberapa aktor (Suharto, Edi, 2020).

Kebijakan dibuat karena persoalan sampah menjadi isu yang harus diselesaikan pemerintah daerah, maka pemerintah daerah harus memainkan peran untuk ini. Terlebih Magelang mengusung visi Maju, Sehat, dan Bahagia.

Langkah-langkah strategis yang bisa ditempuh, yaitu menyusun program yang memastikan sampah benar-benar dikelola secara baik. Pada tahapan implementasi kebijakan, DLH tidak harus bekerja sendirian, tetapi harus mendistribusikan kewenangan pada dinas-dinas yang lain atau kelompok-kelompok masyarakat.

Gambaran sederhana ada pembagian kerja pada lapis-lapis pengelolaan yang dimulai dari hulu, tengah sampai hilir.

1. Dari sisi hulu

Hulu yang dimaksud, yaitu tumah tangga melakukan pengelolaan, kemudian di level tengah ada Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang dikelola oleh kelurahan dan kecamatan. Sedangkan, tahapan terakhir yaitu tempat pembuangan akhir (TPA) yang di bawah otoritas Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

TPS 3R sebagai tempat pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang dan pendauran ulang skala kawasan, serta TPST sebagai tempat pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir.

2. Dari sisi tengah

Menunjukkan bekerjanya pengelolaan sampah di level desa atau kecamatan. Tahapan ini lanjutan dari tahapan hulu yang merupakan pemrosesan berikutnya. Satu tahapan selesai dilanjutkan pada tahapan-tahapan lain. Seperti: pemilahan, pengomposan, biogasifikasi, pemadatan, insinerasi, dan 3R.

3. Dari sisi hilir

Bagian TPA bertujuan kepada capaian akhir dari pengelolaan sampah. Di sini seharusnya beban pengelolaan sudah terkurangi,  baik dari kinerja sampah dari rumah tangga maupun TPST. TPA hanya mengelola residu yang tidak bisa diatasi di bagian hulu dan tengah. Kini tahapan pada penuntasan pengeloalan yang meliputi tahapan-tahapan. Seperti dumping/landfill, pengomposan, biogasifikasi, insinerasi, pemilahan, peternakan 3R (Purnomo, 2020).

b. Keberdayaan Komunitas untuk Pengelolaan Sampah

Pada pengelolaan sampah, selain kebijakan yang tidak kalah penting yaitu keberdayaan  komunitas terkait. Terkait dengan kebijakan yang kita bahas di atas, partisipasi masyarakat diperlukan pada formulasi sampai evaluasi kebijakan publik.

Pertama, aspirasi, keinginan dan kebutuhan terkait dengan pengidentifikasian dan agenda setting.

Kedua, pada tahapan perumusan atau formulasi rancangan kebijakan masyarakat dapat memberikan aspirasi, pada tahapan pembahasan rancangan kebijakan masyarakat dalam memberikan informasi yang relevan, terlibat/dilibatkan, mendukung atau menolak melalui berbagai media.

Ketiga, tahapan pembahasan rancangan kebijakan masyarakat mendukung atau menolak melalui berbagai media.

Keempat, tahapan pelaksanaan rancangan kebijakan, masyarakat bisa menjalankan secara langsung secara konsekuen dan sepenuh hati. Kelima, tahapan evaluasi masyarakat bisa memberi masukan kepada kebijakan yang telah dilaksanakan dan bahkan bisa memberikan rekomendasi untuk perbaikan-perbaikan (Mulyadi, Deddy, 2017: 253).

Kesadaran dan pengetahuan komunitas kreatif dibutuhkan. Masyarakat “sebaiknya” memiliki kesadaran dan memahami pengetahuan tentang ancaman pengelolaan sampah bagi kota.

Untuk itu, pelatihan fasilitator sangat penting sebagai kekuatan di level hulu mengingat rumah tangga merupakan produsen sampah, maka jika budaya “pilah sampah” dari rumah sudah bisa dijalankan akan lebih strategis.

Di sinilah bank sampah yang bekerja dengan baik akan mengurangi volume kota. Pak Irwan, Sekretaris DLH Kota Magelang menyatakan, ujung tombak pengelolaan sampah pada rumah tangga di mana warga bersedia memilah sampah dari rumah.

Penulis saat menjadi narasumber dalam penguatan kapasitas di DLH Kota Magelang.
Penulis saat menjadi narasumber dalam penguatan kapasitas di DLH Kota Magelang.

Untuk itu fasilitator pengelolaan sampah berbasis komunitas sebagai ujung tombak di lapang atau level kampung. Terkait dengan itu, Pelatihan Fasilitator yang diselenggarakan DLH sudah strategis. Sebagai partner bank sampah, saya melihat Mas Widodo, Kepala Bidang Pengelolaan dan Penanganan Persampahan DLH Kota Magelang sangat peduli (care) dan hormat (respect) pada warga masyarakat. Diselingi canda tawa kepala bidang ini memandu diskusi para aktivis bank sampah di banyak kesempatan.

Namun demikian, kita harus memperkuat peran komunitas pada pengelolaan sampah itu, maka pada pelatihan penulis memberikan masukan-masukan terkait dengan materi yang meliputi:

a. Kondisi lingkungan di Kota Magelang.

Pengelolaan sampah menjadi persoalan di setiap kota, pada saat artikel ini ditulis, Kota Batu menutup TPA. Bulan lalu, penulis kita menyaksikan penolakan-penolakan warga di Yogyakarta jika kampungnya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Maka, sekalipun belum sebagai isu publik di Kota Magelang, kecenderungan ini akan menyebar.

b. Terkait dengan Program Unggulan Kota Magelang.

Program lingkungan masuk ke dalam salah satu dari sembilan program kepala daerah, lebih spesifik lagi pada Program Magelang Cantik seperti diperkuat oleh Peraturan Walikota Magelang Nomor 6, Tahun 202 Tentang Pedoman Program Magelang Cantik. Magelang cantik sendiri adalah program pemerintah daerah dalam rangka percepatan, koordinasi, keterpaduan, sinkronisasi, dan harmonisasi kegiatan peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat melalui pengelolaan sampah secara komprehensif, pembudayaan pertanian perkotaan, serta kegiatan lain yang terkait.

Pasal 2 menyatakan bahwa ruang lingkup Program Magelang Cantik meliputi: a. pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga; b. optimalisasi pemanfaatan ruang melalui urban farming dan pemanfaatan hasil pengelolaan sampah untuk pembudayaan urban farming.

c. Pengelolaan Sampah berbasis Pemberdayaan Masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat seperti dinyatakan DLH Kota Magelang dianggap solusi terbaik karena melibatkan partisipasi dari semua anggota masyarakat. Selain itu ia merupakan pendekatan humanis karena meletakkan pada kesadaran individu dan menjauhi unsur paksaan. Kemudian yang tidak kalah penting berupa peningkatan partisipasi bagi masyarakat yang menginisiasi merencanakan dan melaksanakan program komunitas.

Penulis perlu mengingatkan prinsip-prinsip pemberdayaan yang menjadi nyawa kegiatan apapun yang melibatkan masyarakat termasuk konservasi lingkungan. Pemberdayaan memiliki titik fokus pada peningkatan kapasitas aktor dan pemberian sumber daya agar aktor mampu mengelola kegiatan di lapang.

Beberapa bisa kita lihat substansi pemberdayaan yang dijelaskan pada kutipan sebagai berikut:

  1. Model pembangunan alternatif untuk peningkatan partisipasi masyarakat secara keseluruhan.
  2. Upaya disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial (Mardikanto, Totok dan Soebiato, Poerwoko,  2012).
  3. Memberi sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan ketrampilan untuk peningkatan kemampuan menentukan masa depan sendiri dan mempengaruhi kehidupan dari masyarakatnya (Jim Ife dalam Zubaedi, 2008: 98).
  4. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan masyarakat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan.
  5. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Edi Suharto, 2005: 59). Selain itu ia berorientasi pada perubahan sosial.

d. Strategi Pengembangan

  1. Strategi Keorganisasian

Fokus strategi ini pada pengelolaan organisasi atau kelompok dengan cara memberdayakan pengurus dan anggota dimana mampu menciptakan organisasi berbasis kerelawanan.  Memperbaiki kelengkapan organisasi seperti tujuan dan target yang akan dicapai.

Selain melakukan strategi pengendalian anggota ia harus melalui penguatan kerorganisasian yang sekaligus melahirkan model kepemimpinan yang beragam baik itu partisipatif, achievement dan laizez faire). Kemimpinan ini didukung oleh kemampuan administrative.

Pemimpin di sini harus  mengoptimalkan  modalitas seperti modal ekonomi, human capital dan social capital. Pada proses pengelolaan ini tetap memperhatikan pembelajaran sosial (social learning) sebagai senjata yang diwarnai inovasi berkelanjutan yang tiada henti.

  1. Strategi Agensi

Agensi yang dimaksud yaitu aktor yang memiliki kreativitas yang menggabungkan kekuatan individu dengan organisasi. Sosiolog Inggris, Giddens menyatakan bahwa dalam kehidupan sosial, agensi mampu memainkan aturan (rule) dan sumber daya (resources).

Sederhananya, motivasi dan kapasitas agensi mampu   menggerakan kegiatan berbasis kerelawanan sosial aktor. Selain itu seorang agensi, mampu memaksimalkan potensi-potensi aktor Aktor bersemangat dan bervisi publik. Pada kehidupan sosial, aktor tidak lepas dari struktur dan sumber daya yang melingkupinya. Maka, aktivis pengelola sampah harus memiliki kelenturan dan kreativitas dalam kepemimpinan.

Di sisi ini, fasilitator pengelolaan sampah memiliki cara kerja yaitu bekerja dengan mindset, fokus pada pendampingan lapang, mendiagnosa, mengeksekusi, mengevaluasi, memanfaatkan literasi dan sanggup bekerja kolaborasi.

Kasus-kasus di Kota Magelang yang penulis temukan diantaranya, pertama, partisipasi warga lapis menengah ke atas dalam mengelola sampah. Meningkatkan partisipasi masyarakat merupakan perjuangan  tidak mudah, ada kalanya pemeritah RW ataui RT sudah mendukung, tetapi masyarakat lapis menengah ke atas kurang mendukung, maka dilema untuk mengatasi kelompok “tidak” peduli  kota ini perlu diselesaikan.

Kedua, Keguyuban Ibu-ibu Aktivis. Sekalipun kegiatan penyadaran lingkungan sudah dilakukan secara masif, tetapi kekuatan pasukan atau aktivis  lapang masih belum merata. Pasukan emak-emak sudah optimal, kemanakah anak-anak muda? Bagaimana memperlakukan mereka pada pengelolaan sampah?

Ketiga, kebiasaaan membuang sampah. Sekalipun sudah ada kegiatan penyadaran lingkungan, tetapi tetap saja ada warga yang tidak sadar. Tidak ada perasaan dosa membuang sampah di sungai dan sekalipun ada sosialisasi pemilahan sampah, tetapi saja warga tidak mempraktikannya.

Di sinilah, penulis nyatakan bahwa  tidak ada “jurus” ampuh. Kita membutuhkan forum “saling sinau” dan “nyawiji” untuk mencari solusi bersama dalam pengelolaan sampah ini. Sekalipun masih sarat dengan penilaian subyektif, penulis melihat relasi cukup bagus antara DLH Pemerintah Kota Magelang dengan warga atau komunitas peduli lingkungan. Terlihat sekali, pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 2023 dan Pelatihan Fasilitator ini terjadi komunitas yang intensif, tinggal pendampingan-pendamping berkelanjutan yang disusun secara berkesinambungan.

Butuh Komitmen

Akhirnya kita pada titik kesimpulan tentang pengelolaan sampah yang ideal dimana didukung penuh oleh komitmen semua pengelola sampah ini. Pengelolaan sampah itu membutuhkan perangkat-perangkat seperti

1. Intervensi teknologi

Berbicara mengenai residu sampah terkait barang yang bisa dikelola atau bisa dihancurkan, untuk itu pengelolaan berbasis pemberdayaan masyarakat bukan satu-satunya cara/strategi.  Pendekatan teknologi menutut pemerintah menemukan teknologi yang mampu mengolah sampah menjadi barang yang bermanfaat. Pakar teknologi persampahan, kepiawaian pemerintah dan komunitas dalam memilih dan memanfaatkan teknologi kini ditantang.

2. Kewirausahaan sosial (sociopreneurship)

Pengelolaan sampah merupakan bagian pengelolaan lingkungan yang terbilang unik,  maka kewirausahaan sosial harus  dimiliki oleh pemerintah dan komunitas. Pekerjaan ini bukan kerelawanan tanpa orientasi jelas, tetapi juga memikirkan bisnis.

Pada Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Daerah dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstrada),  Walikota memiliki kewenangan dalam melaksanakan,  mengoordinasikan penyelenggaraan jakstrada. Selain itu, ia melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan jakstrada. Selain itu ia bertanggung jawab pada pengandaan tanah, sarana prasarana pengeloalan sampah tersebut.  Disinilah, kemampuan manajerial walikota dalam melahirkan wirausaha sosial dalam pengelolaan sampah menjadi tantangan yang harus dijawab.

3. Rekayasa sosial (social engineering)

Pengelolaan sampah mutlak membutuhkan rekayasa sosial. Tirtosudarmo menyatakan bahwa rekayasa sosial merupakan berbagai upaya negara melalui kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengarahkan perkembangan masyarakat kearah yang diinginkan. Dengan demikian, target akhir dari rekayasa sosial yaitu perubahan sosial akibat upaya negara dan kebijakan pemerintah itu (Tirtosudarmo, 2021). Perubahan perilaku sosial menuju isu, tujuan atau cita-cita  yang diharapkan oleh para pelaksana pembangunan.

Perubahan perilaku warga yang menjadi relawan dan perubahan kebiasaan dalam memperlakukan sampah. Karena itu, rekayasa sosial bukan pekerjaan individual, tetapi kolektif memberdayakan kelompok-kelompok strategis.  Penguatan jejaring sosial dilakukan pihak DLH kepada mitra-mitra strategis.

4. Pelembagaan (insitituzionalization)

Pelembagaan sosial pada tulisan ini yaitu upaya memaksimalkan pengejawantahan nilai-nilai sosial tertentu demi untuk pencapaian tujuan berupa konservasi lingkungan dan pengelolaan sampah berkelanjutan.

Pada kenyataanya, nilai-nilai sosial itu abstrak dan seringkali tidak kongkret, maka organisasi pengawet nilai-nilai tertentu tersebut berperan mencapai tujuan. Aktor-aktor pengusung yang benar-benar terinternalisasi nilai-nilai konservasi berhasil menginisiasi kegiatan-kegiatan pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Pertanyaan, bagaimana kongkretnya?

 

*Penulis adalah Sekretaris Program Studi Sosiologi S2 & S3 DPPS Universitas Muhammadiyah Malang dan Tenaga Ahli Pemerintah Kota Magelang Bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Inovasi Sosial.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mardikanto, Totok dan Soebiato, Poerwoko,  2012. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta.
  2. Mulyadi, Deddy dkk. 2017. Demokrasi, Governance, Dan Ruang Publik: Dalam Kajian Administrasi Publik, Memahami Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Proses Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta
  3. Purnomo, Chandra Wahyu. 2020. Solusi Pengelolaan Sampah Kota: Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
  4. Suharto, Edi, 2020. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta
  5. Tirtosudarmo, Riwanto. 2021. Mencari Indonesia 2: Batas-Batas Rekayasa Sosial: Jakarta: Penerbit Brin
  6. Peraturan Walikota Magelang Nomor 6 , Tahun 202 Tentang Pedoman Program Magelang Cantik
  7. Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Daerah dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

 

Badan Amil Zakat Nasional BAZNAS Dinas Lingkungan Hidup DLH Kota Magelang fasilitator isu publik jawa timur Kota Batu Kota Magelang Malang pelatihan pembuangan pengelolaan sampah Transfer Depo Sampah Magersari Transfer Depo Sampah Singosari wali kota

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts