Titik Pertumbuhan Kota Baru, Sudahkah Pada Jalan yang Benar?
oleh:
Rachmad K. Dwi Susilo, MA, Ph.D*
Pertemuan penulis dengan para pegiat Lembaga Keswadayan Masyarakat (LKM) se-Kota Magelang terjadi Jumat malam, 29 September 2023 lalu. Pesan melalui WhatsApp (WA) dari kepala daerah pada pukul 19.00 WIB masuk, pas setelah penulis selesai bersiap diri untuk meluncur ke Pendopo Pengabdian.
“Jadi ke Pendopo jam 19.30?” Pesan yang masuk via WA.
Penulis menjawab, “Panjenengan pun rawuh saking Bandung? (Apakah Anda sudah tiba dari Bandung?”.
“Sudah,” jawaban berikutnya.
Penulis jawab singkat, “Siap!”
Pertemuan dengan kepala daerah kali ini terkait kegiatan LKM se-Kota Magelang. Pada pertemuan tersebut, wali kota menginformasikan rencana studi banding pada Kampung Gagot, di Kabupaten Banjarnegara, pertengahan Oktober 2023.
Begitu pertemuan usai, penulis langsung bergeser ke Alun-Alun Kota Magelang. Seperti penulis rencanakan, tujuan untuk menonton Magelang Night Music, semacam pentas musik yang diisi oleh komunitas secara rutin dengan menghadirkan penonton yang rata-rata anak muda.
Di kota-kota besar biasa terselenggara kegiatan semacam ini. Di Malioboro Kota Yogyakarta, kita mendapati lebih satu kelompok musik di trotoar. Demikian pula jika kita menyaksikan kehidupan malam di Kawasan Kajoetangan Heritage Kota Malang.
Tentunya, penulis menonton kegiatan ini bukan sekadar menikmati musik layaknya orang kebanyakan. Penulis menilai teknis kegiatan dan kemungkinan dampak positif bagi warga, mengingat kegiatan ini merupakan salah satu strategi pembangunan kota.
Sejatinya, penulis sudah berbulan-bulan mendengar cerita tentang kegiatan menghidupkan malam ini. Hanya saja setiap rutin kepulangan sebulan sekali, penulis jarang di Hari Jumat. Maka, ini kesempatan bagus yang tidak boleh disia-siakan.
Konser musik sejatinya tontonan biasa penulis. Di Kota Malang, banyak digelar konser baik yang komersiil/ non-komersiil, tetapi justru menjadi istimewa, karena menjadi salah satu keramaian yang diciptakan pemerintah kota.
Kepala daerah mengisahkan, bahwa dia membeli alat alat musik untuk memfasilitasi anak muda atau grub band yang bermusik. Genre musik yang menghadirkan tawuran atau kerusuhan dihindari. Ia mewanti-wanti agar tidak ada tawuran dan mabuk-mabukan. Maka kegiatan-kegiatan yang mendatangkan massa ini digelar secara rutin.
Komunitas musik pada unjuk kebolehan. Anak-anak muda ke luar rumah menghabiskan waktu malam di akhir pekan, tetapi sejatinya juga menjelma sebagai arena pelaku bisnis rakyat untuk menjajakan dagangan. Ia mendorong pergerakan sektor bisnis, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk meningkatkan pendidikan. Terbukti malam itu, makanan ringan, jus, makanan street food, sandal, lalapan marak dijajakan.
Ada pula pedagang asongan yang menjual snack. Kondisi ini jelas menambah pemasukan bagi penjual makanan yang sudah menetap di Kawasan Tuin van Java. Ibaratnya, tanpa memasang iklan besar-besaran, para pembeli mendekat.
Kepala Dinas Perindustrian Dan Perdagangan (Disperindag) Kota Magelang Syaifullah SSos MSi menyatakan, alun-alun tidak boleh biasa-biasa saja, yang kemudian penjual harus sabar menanti pembeli. Harus ada titik keramaian yang diciptakan, di mana dengannya warga akan mendekat dan berbelanja. Selain itu, mau tidak mau pelaku UMKM harus digerakkan.
Perkembangan Menggembirakan
Bicara keramaian di kota kelahiran akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari upaya wali kota dan pemerintah kota untuk menghidupkan kota. Tujuan yang akan dicapai adalah keramaian baru yang akan membawa kota hidup, baik bagi penyelenggara maupun kedatangan warga penonton.

Asisten 1 Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang Larsita SE MSc menyatakan, biar Kota Magelang tambah ramai dan dikunjungi banyak orang, sehingga bisa mendorong geliat perekonomian daerah. Selain itu, memperbanyak event yang bertaraf nasional sebagai salah satu ikhtiar meningkatkan daya saing daerah. Selain itu memberi kemudahan usaha dan investasi daerah, kondusifitas daerah, inovasi, dan infrastruktur layanan dasar dan utilitas perkotaan yang bisa meningkatkan advantage competitiveness suatu daerah (Wawancara 9 April 2023).
Setidak-tidaknya, kondisi ini menutup kebingungan kita pada “nasib” pertokoan “legend” di Jalan Pemuda yang kian meredup. Setidak-tidaknya antara tahun 1980 -1990-an, pertokoan yang dikenal sebagai pecinan ini menjadi urat nadi perekonomian warga, semua kebutuhan pendidikan dan sehari-hari dipenuhi di kawasan ini dan Pasar Rejowinangun. Membeli buku, sepatu, tas di toko-toko sepanjang ini.
Sayangnya, hari ini sepi. Kita melewati pukul 21.00 WIB saja, semuanya sudah lengang. Hanya penjaja makanan kaki lima di jalan-jalan, sesekali ada.
Sekalipun hari ini, Kota Magelang identik dengan kota hunian, tapi perlahan pengembangan kota ini merangkak sebagai kota produksi atau kota jasa. Terbukti, bukan kali ini saja keramaian diselenggarakan. Kegiatan seperti pasar murah setiap hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), pasar takjil selama bulan Ramadhan, pamitan Taruna Akmil maupun SMA Taruna Nusantara, Pengajian Akbar Kota, Pengajian setiap Minggu Pahing, Car Free Day di GOR dr. H. Moch. Soebroto, Pasar Raya Magelang, etno carnival, Kirab Budaya Ruwat Bumi (cutbio) merupakan upaya-upaya untuk menghidupkan kota. Wali Kota Magelang prihatin, kota kecil ini sepi yang identik dengan tidak ada produktivitas, maka bagaimana caranya Kota Magelang harus hidup.
Pertumbuhan kota tidak bisa mengandalkan secara alamiah. Perlu rekayasa sosial dengan membuat acara, mendatangkan para pengisi acara dari luar kota. Kemudian, diprediksi berapa peserta dan dagangan yang laku. Pemerintah memberikan fasilitas. Dikatakannya, setidak-tidaknya kota ini hidup sampai pukul 23.00 WIB. Kegiatan tidak asal kegiatan, level kegiatan harus diperhitungkan. Wali Kota Magelang menyatakan, kegiatan jangan hanya “kelas” lokal saja. Lagi pula, kurang strategis mengandalkan pangsa pasar warga Kota Magelang. Oleh karena itu tingkatan kegiatan setidak-tidaknya pada level Jawa, bahkan Indonesia.
Hotel-hotel akan dipenuhi pengunjung dari luar. Selain itu, dan bahkan yang terpenting, pendapatan warga yang bergerak di sektor informal merangkak naik. Otomatis taraf hidup atau kesejahteraan akan meningkat. Kantung-kantung kemiskinan akan terkurangi.
Pernyataan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Magelang Syaifullah SSos MSi cukup menggelitik. Frekuensi kegiatan kota yang “gemebyar” ini sempat menggoda pemerintah kota/kabupaten lain. Pemerintah Kabupaten Magelang mengapresiasi dan bertanya langsung, kenapa pemkot bisa menyelenggarakan banyak event?
Sementara berfikir secara substansial, penulis memiliki pertanyaan menggelitik, kapan perubahan penting terjadi di kota ini? Cita cita melahirkan pengusaha muda, berkurangnya warga miskin kota dan semakin turunnya angka stunting akan menjadi capaian pasca kota ini menggeliat.
Logika sederhana, keramaian menjadi upaya menyejahterakan warga kota. Namun, sepanjang penulis menemui informan di lapangan, malahan bukan warga Kota Magelang. Secara acak tanggal 28 Agustus 2023, penulis bermain di alun-alun dan didatangi penjual pisang yang ternyata warga Kaliangkrik, Kabupaten Magelang. Malam itu, tanggal 29 September 2023, penulis membeli peyek dan rengginang dari Kota Muntilan, Kabupaten Magelang.
Berarti Kota Magelang, tidak murni dinikmati warga kota saja. Ternyata keramaian kota menjadi magnet bukan hanya bagi warga kota, tetapi juga warga Kabupaten Magelang. Kebetulan dua wilayah administratif ini tidak berjauhan sehingga tidak ada kesulitan bagi warga dua wilayah untuk mengakses.
Penulis menyadari bahwa persoalan rezeki bergantung siapa yang mau atau berusaha, tapi kalau kegiatan yang diselenggarakan oleh kota justru dinikmati warga kabupaten menjadi agak aneh. Benar bahwa warga kabupaten iya saudara kita, tapi bukankah pembangunan sebuah kota harus memiliki prioritas sasaran?
Penulis setuju jika semua kota itu terbuka bagi semua warga. Bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang membolehkan siapapun untuk mengambil keuntungan dari kota. Jika kota tempat kelahiran tidak mampu mendatangkan kesejahteraan, harus “hijrah” untuk penghidupan yang lebih baik seperti dijelaskan teori-teori migrasi. Tidak heran, kemajuan kota Magelang akan menjadi “arena” yang dinikmati oleh banyak pihak.
Selain itu, di era sekarang sangat tidak elok, jika pemerintah menetapkan sebagai kota yang tertutup. Misalnya, sweeping warga kota dengan kabupaten Magelang diterapkan. Ia akan memicu konflik dan keresahan sosial.
Capaian Program Unggulan
Kegiatan untuk mengundang keramaian seharusnya tidak bekerja di ruang hampa. Bukan pula asal-asalan sebagai pelaksanaan program kerja, namun ia merupakan perencanaan sadar yang terintegrasi dengan pelaksanaan visi misi kota yaitu maju sehat dan bahagia. Perencanaan sendiri memuat tolak ukur, ketaatan, disiplin dan rujukan (Sitanggang, 1999) dan tujuan serta arah (Sadyohutomo, 2008). Peningkatan pendapatan merupakan salah satu dari pencapaian visi dan misi tersebut.
Penulis memahami kegiatan untuk mengundang keramaian bukan strategi mudah. Kesiapan staf OPD (Organisasi Perangkat Daerah) menjadi tantangan tersendiri. Terlebih jika dihadapkan dengan anggaran (budget) yang harus dikeluarkan, namun kegiatan atau program harus bicara luaran (output). Target yang dicapai bukan asal kegiatan “selesai,” tetapi sejauh mana melahirkan perubahan hidup bagi kelompok prioritas.
Sekali lagi, siapa saja pihak-pihak yang mampu mengambil keuntungan? Sebagai warga yang pernah tinggal di kota ini, penulis membayangkan jika program pemerintah ini melahirkan efek kegiatan kepada program pengentasan kemiskinan.
Butuh Data Evaluasi
Adanya banyak kegiatan di Kota Magelang layak diapresiasi, seakan magnet, ia menarik pemerintah tetangga dan warga sekitar kota untuk mendekat ke Kota Magelang. Motivasi mereka beragam, baik sekedar memenuhi kebutuhan hiburan maupun mengais rejeki.
Namun kita tidak boleh berbangga, sebagai program pemerintah kota, kita butuh evaluasi, benarkah tujuan dan sasaran kegiatan sudah seperti diharapkan? Untuk itu pertanyaan-pertanyaan berikut perlu dijawab, berapa persen warga yang menerima keuntungan? Berapa persen UMKM binaan Disperindag Kota Magelang yang ikut terlibat dan berapa keuntungan yang diperoleh per kegiatan? Jika kita kaitkan dengan program pengentasan kemiskinan atau peremajaan hunian, bagaimana kontribusi program tersebut?

Beberapa kriteria evaluasi bisa kita buat yang mencakup efektivitas (apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?), efisiensi (berapa banyak sumber daya yang dikeluarkan), kecukupan (seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan telah memecahkan masalah), pemerataan (apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok dengan target berbeda?), responsivitas (apakah hasil kebijakan memuskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?) dan ketepatan (apakah hasil yangh diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Untuk itu perlu evaluasi atas capaian kegiatan. Sepanjang penulis, selama ini pemerintah belum memiliki evaluasi per kegiatan, tetapi ke depan harus diupayakan evaluasi dengan data-data tersebut. Jika sudah menemukan hasil evaluasi, muncul pertanyaan lainnya, apakah benar-benar sudah ada perubahan. Jika sudah kenapa dan jika belum kenapa? Demikianlah, pembangunan kota harus terus menerus.(*)
*Penulis adalah Sekretaris Program Studi Sosiologi S2 & S3 DPPS Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Tenaga Ahli Pemerintah Kota Magelang Bidang Sosiologi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Inovasi Sosial.
DAFTAR PUSTAKA
- Dewi, Rahayu Kusuma. 2016. Studi Analisis Kebijakan. Bandung: Pustaka Setia.
- Sadyohutomo, Mulyono.2008. Manajemen Kota dan Wilayah: Realita dan Tantangan, Jakarta: Bumi Aksara
- Sitanggang, 1999. Perencanaan Pembangunan Suatu Teori dan Praktik: Jakarta. Sinar Harapan