Kota Magelang Di Era “MAJU, SEHAT, DAN BAHAGIA” (Seri Pertama – Bersambung)
Evaluasi Setahun Pemerintah Kota Magelang
Sore itu cuaca Kota Magelang sangat cerah. Tidak mendung dan tidak hujan. Tidak panas dan tidak dingin. Suasana Pendopo “Pengabdian” Kota Magelang agak ramai. Karena kepala OPD sudah datang dan sedang menunggu para ketua Pokmas satu kota. Sebagian dari mereka bercengkrama. Ada pula yang duduk tenang tanda siap dengan pertemuan dengan wali kota. Tidak lama kemudian, Wali kota datang dan langsung, acara dimulai. Tanpa basa basi, orang nomor satu di kota ini langsung memaparkan data dan persoalan kemiskinan dan rumah tidak layak huni (RTLH) di kota ini. Wajah Wali kota serius menjelaskan area-area atau kelurahan yang menjadi kantong kemiskinan dan bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatasinya. Terlihat jelas, wajahnya tampak sumringah karena ia mendapat kabar bahwa Pemerintah Kota Magelang mendapat Dana Insentif Daerah (DID) yang bersumber dari APBN yang dialokasikan untuk program-program padat karya. Ia meminta OPD, pokmas, Ketua RW dan warga keseluruhan untuk membantu dan berpartisipasi menyukseskannya.
MENARIK jika kita mengevaluasi perkembangan kota Magelang di bawah kepemimpinan dr. Muchamad Nur Aziz, Sp.PD-KGH, FINASIM dan K.H.Drs.M.Mansyur, M.Ag. setahun ini. Berbeda dengan era kepemimpinan sebelumnya dimana pemerintah memprioritaskan pada pembangunan fisik, kepemimpinan kali ini lebih diarahkan pada pembangunan manusia atau dalam terminologi pembangunan disebut people centered development.
Pembangunan non-fisik bukan berarti mengenolkan pembangunan fisik semua, ini berarti menempatkan program fisik sebagai alat atau sarana. Sepanjang observasi penulis, perbaikan taman, pembangunan halte, perbaikan dan pengadaan gedung dilakukan. Namun, pekerjaan ini tidak mendominasi secara keseluruhan. Menurutnya, wajah Kota Magelang sudah cukup bagus, cukup nyaman dan terlihat sangat indah. Maka, yang dibutuhkan pembangunan dan penguatan SDM (Sumber daya Manusia). Target pembangunan yang dipentingkan yakni partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Sekalipun branding Kota Sejuta Bunga belum dicabut, tetapi Maju Sehat dan Bahagia menjadi visi dan target capaian baru yang lebih terukur dan realistis. Pertimbangan ini lebih jelas dan telah diterjemahkan dalam indikator-indikator terukur melalui program-program unggulan yang diusung OPD.
Pendopo kota benar-benar sebagai tempat pengabdian yang diperuntukkan warga. Segala macam kegiatan yang diikuti warga diselenggarakan di sini. Pendopo tidak “angker” bagi warga. Mereka bebas berdiskusi dengan wali kota dan Satpol PP yang berkantor di pintu masuk menyapa dengan sangat ramah.
Sementara itu, regulasi semakin dimantapkan oleh perwali untuk hampir semua program unggulan. Pameran dan festival menjadi kegiatan-kegiatan yang mengundang keramaian publik kerap diselenggarakan. Tampaknya, event-event besar diselenggarakan demi mendatangkan “rejeki” bagi warga. Sekalipun kepala daerah berkali-kali menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan dana dari luar, warga kota ini butuh bangga dengan kotanya yang bergerak dinamis.
Realisasi program tersebut digerakkan oleh model kepemimpinan yang “nyawiji”. Kata ini menjadi sabda yang selalu disuarakan baik oleh Pak wali kota dan Bu wali kota. kata ini juga sekaligus menunjukkan keinginan wali kota menghadirkan negara dalam relung-relung tersempit dari kehidupan sosial masyarakat.
Program Ngopi Bareng Pak Wali yang diselenggarakan seminggu sekali sebagai forum curah pendapat, komunikasi dan mencari solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Tidak puas dengan saluran ini, terbuka kesempatan bagi warga untuk mengirim pesan via wa (whats up) ke wali kota.
Berangkat dari latar belakang ini, penulis bertujuan menganalisa keberlanjutan Program-Program Unggulan Strategis yang direncanakan dan ada yang sudah dieksekusi oleh Pemerintah Kota Magelang. Tidak ada lain, maksud tulisan ini memberikan gambaran plus, minus, tantangan dan rekomendasi agar program berjalan efektif.
Plus, Minus, dan Tantangan
Plus
Plus dari pembangunan kota ditandai dengan maraknya infastruktur bisnis, seperti rumah makan Emados di jalan Tentara Pelajar dan Mie Gacoan di Jalan Tidar. Keduanya terbilang baru berdiri setelah waralaba Mc Donald dan Super Market, Superindo berdiri. Toko Dandy Leather Goods yang menjual tas dari bahan-bahan kulit beroperasi di Jalan Jenderal Soedirman. Diihat dari deretan bangunan-bangunan ini, sekilas sama melihat wajah Kota Magelang dengan kota-kota lain.
Penulis menyimpulkan bahwa ada harapan Kota Magelang sebagai tujuan investasi. Observasi penulis, 19 November 2022, pukul 20.30 Alun-Alun Kota sangat ramai dikunjungi warga. Foodcourt Tuin Van Java ramai orang makan. Di rerumputan tidak jauh dari pohon beringin, anak-anak kecil mewarnai dan orang yang menikmati atraksi air mancur warna-warni. Kantor pemerintah kota yang sebelumnya “bermasalah” dengan akademi militer kini teratasi dengan rencana perpindahan ke bangunan BPLK milik Kemenkeu di dekat Alun-Alun Kota Magelang.
Sementara itu, perencanaan untuk mengubah masyarakat memiliki nilai plus tersendiri. Pembangunan dilaksanakan dengan fokus pada manusia baik sisi ekonomi dan sosial.
Program yang mengangkat isu kesehatan, yakni Jemput Sakit, Antar Sehat sebagai andalan. Dari sini warga yang sakit berhak menghubungi petugas kesehatan yang kemudian menjemput pasien. Untuk jasa transportasi dan pengobatan tidak dipungut biaya. Wawancara subyek menyatakan bahwa program ini benar-benar sangat dibutuhkan.
Seorang Ketua RW di Kampung Tulung menyatakan bahwa ia pernah memanfaatkan fasilitas ini, pada saat kerabat ada yang membutuhkan jemputan ke rumah sakit. Ia mengaku puas dengan pelayanan kesehatan yang bisa dilakukan dengan sangat profesional ini.
Taman Kyai Langgeng yang sebelumnya identik dengan tempat wisata jadul kini diubah sebagai TKL Eco Park. Pohon Kalpataru menjadi icon yang membedakan kota ini dari pada kota-kota yang lain. Kegiatan-kegiatan yang menghadirkan massa dan tentunya pendapatan selalu digenjot.
Keadaan yang sama branding Gunung Tidar sebagai kebun raya untuk melindungi tumbuh-tumbuhan langka, mengingat belum banyak hutan konservasi di Indonesia. Bukan barang baru ketika “pakuning” tanah Jawa ini didatangi para peziarah luar kota untuk berkunjung di petilasan Syekh Subakir.
Kesungguhan program berorientasi manusia bisa kita lihat pengalokasian anggaran untuk pemberdayaan masyarakat. Rodanya Masbagia (Rodanya Masbagia) telah menunjukkan hasil. Stimuli dalam bentuk barang-barang inventaris RT dan RW telah terlihat. Keberadaan barang-barang baru ini mendorong kegiatan warga, seperti senam yang diikuti ibu-ibu RW 3 Kelurahan Magersari pada Hari Minggu. Selain itu, kelengkapan program berbasis IT juga telah dibuat yang memudahkan monitoring program.
Warga Kampung Trunan yang mendapat bantuan bibit lele mampu mengembangkan bantuan ini. Menariknya, sekalipun tidak diberi panduan oleh pemerintah, tetapi ia mampu mengembangkan secara mandiri. Ia menggabungkan peternakan lele dengan ikan koi. Secara politis, program ini membuka harapan tentang bantuan pemerintah yang mudah diperoleh demi kebaikan komunitas.
Semangat melahirkan pengusaha muda tidak pernah absen. Melalui Disnaker, Rumah Bisa Kerja (Rubika) beroperasi untuk menargetkan lahirnya pengusaha-pengusaha muda. Konsultasi dan couching diikuti demi mendapatkan bekal pengetahuan dan relasi untuk menjadi pengusaha model baru.
Ngopi Bareng Pak Wali menunjukkan komitmen untuk selalu memperbaiki pelayanan publik. Bahkan, di akhir tahun 2022 kegiatan ini diperbanyak frekuensinya. Wali kota optimistis semua masalah bisa dikomunikasikan dan diselesaikan. Ada fenomena menarik saat Ngopi Bareng Pak Wali di Kelurahan Wates, di mana wali kota meladeni orang tua yang menanyakan kewajiban vaksin untuk naik kendaraan umum. Sekalipun pertanyaan yang diajukan tema “remeh temeh” tetap saja dilakukan dengan baik.
Belum lagi program-program insidental yang menunjukkan Magelang sebagai kota cerdas. Pameran-pameran yang bertemakan bisnis UMKM, kuliner, dan tema-tema humanisme digelar. Setidak-tidaknya, pemerintah telah menciptakan titik-titik “rejeki” baru. Tinggal masyarakat yang mengambil kesempatan ini.
Penganggaran dari pemerintah pusat, dialokasikan untuk program padat karya. Dari sinilah, melalui padat karya masyarakat mendapat insentif per hari Rp 60.000 dan nasi bungkus. Pada Ngopi bareng Pak Wali di Kelurahan Cacaban, wali kota sangat senang masyarakat bawah menikmati uang dari pemerintah.
Komunikasi dengan wali kota sangat mudah, tinggal WA (whats upp) saja, pasti tidak lama akan ditanggapi. Jika ada warga yang “sungkan”dengan OPD, maka wali kota yang akan meneruskannya.
Kesediaan pemerintah untuk mendengar ini sejatinya tradisi berpemerintahan yang bagus. Kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang sakral, tetapi ia merupakan kewajiban untuk melayani rakyat yang membutuhkan. Penulis berkesempatan mengikuti pertemuan perencanaan pengalokasian dana untuk padat karya dan pelatihan dengan dana insentif daerah (DID). Wali kota menyatakan berkomitmen keras pada program pengentasan kemiskinan. Melalui anggaran yang didapat pemerintah, ia tidak tanggung-tanggung melakukan perubahan di masyarakat. Prinsip guyub, rukun, loman, dan welas sak podho-podho selalu didengungkan oleh wali kota kepada banyak pihak.(bersambung)
Tulisan ini merupakan kolaborasi dua penulis, yakni Rachmad Kristiono Dwi Susilo, MA, Ph.D, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur concern pada Isu-Isu Sosiologi, Kebijakan Lingkungan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Kepenulisan, serta Ridwan Irawan, M.Si yang sekarang sebagai Konsultan Pendidikan Karakter Bangsa dan menekuni dunia pengajaran, pelatihan dan community development.