Penulis saat menyambangi warga Magelang dan berinteraksi menggali informasi soal program yang dicanangkan Pemerintah Kota Magelang.

Kota Magelang Di Era  “MAJU, SEHAT, DAN BAHAGIA” (Seri Kedua- Tamat)

Opini

Evaluasi Setahun Pemerintah Kota Magelang

Pencanangan kampung-kampung menjadi sesuatu yang cukup masif. Namun, yang selalu dipertanyakan warga yaitu seperti apa model kampung tersebut? Mereka harus melakukan apa? bagaimana gambaran ke depan kampung “baru” ini? dan, yang paling “krusial” mereka akan mendapat apa?Jelas yang dibutuhkan yaitu cara berfikir yang “berbeda”, berprospek dan rencana keberlanjutan. Tahapan launching boleh, tapi jangan berhenti di situ.

Minus

Keberhasilan realisasi program pemerintah di atas tidak “steril” dari kelemahan atau keterbatasan para pengembang kota.  Setahun pertama dalam memimpin, ekses pilkada masih dirasakan kelompok-kelompok pendukung. Suara-suara grassroots tetap terdengar. Pembagian “kue” yang tidak merata pada tim sukses menjadi keluhan-keluhan yang penulis dengar pada di tengah obrolan-obrolan santai.

Baca juga :  Kota Magelang Di Era "MAJU, SEHAT, DAN BAHAGIA" (Seri Pertama - Bersambung)

Beberapa “mantan” tim sukses kurang puas dengan pembagian kekuasaan. Sekalipun jika dianalisa, persoalan ini tidak sekedar persoalan pembagian kekuasaan, tetapi relasi kepentingan pragmatis yang luar biasa rumit. Namun, sebagian besar teratasi, sekalipun belum semua “clear”.

Sementara itu, terkait implementasi program, masih tersisa program-program yang dinilai belum berhasil. Salah satunya, Magelang Smart City (Magesty) belum optimal, sementara  Magelang Keren (Kelurahan Enterpreneurship Centre) masih dalam proses melahirkan 1500 wirausaha muda (start-up) dan ruang usaha baru. Pada saat tulisan ini dibuat, pemerintah kota mempersiapkan wisuda para peserta yang telah mengikuti konseling di Rumah Bisa Kerja (Rubika) dan BLK Disnakertrans (Balai Latihan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Kota Magelang.

Pencanangan kampung “tematik” dengan memiliki kekhasan atau keunggulan produk tersendiri belum sepenuhnya terlihat. Kampung semacam ini tidak hanya berhenti pencanangan atau deklarasi saja, tetapi kampung ini benar-benar menunjukkan kekhasan tertentu. Pada saat kita memasuki kampung benar-benar merasakan ada “aura” pembeda. Selain itu, keberadaan kampung memberi keuntungan  bagi warga. Maka, Kampung Religi sebagai salah satu Program Magelang Agamis (programis) masih ditunggu wujud nyatanya.

Pada Ngopi Bareng Pak Wali, masih ada warga yang meminta kejelasan tentang arahan kampung ini. Kondisi ini menunjukan bahwa program belum kongkret. Mungkin warga lapis bawah belum memahaminya, atau implementasi dituntut lebih kongret.

Kampung ini sejatinya bukan sekedar “memformalkan” praktik agama yang terlembaga bertahun-tahun, atau sekedar memberi bantuan untuk perbaikan rumah ibadah, pembinaan keagamaan atau peningkatan peran rumah ibadah, tetapi yang terpenting seperti dinyatakan walikota sendiri, sebuah kampung yang “berkontribusi” untuk penyelesaian masalah sosial. Di sinilah, agama benar-benar berkontribusi pada penyelesaian masalah warga. Sayangnya selama ini masih normatif.

Sekalipun, infrastruktur program masih terus menerus diperbaiki, tetapi pengelolaan Rodanya Masbagia (Program Pemberdayaan Masyarakat Maju Sehat dan Bahagia) menjadi problematik karena pendamping terkendala profesionalisasi. Keputusan politik penganggaran tidak hanya ranah eksekutif, kemungkinan berdampak serius pada kinerja pendamping akan bermuara pada persoalan pelik yang terkait erat dengan insentif. Kondisi ini yang menjadi peluang pemberdayaan masyarakat berjalan agak “tersendat-sendat”.

Selain itu program-program tidak efektif karena keterbatasan kapasitas atau memang program belum selesai. Kapasitas yakni para pelaksana program, seperti RT sebagai pembuat atau pengusul RKM (Rencana Kegiatan Masyarakat), OPD sebagai pelaksana.

Persoalan sinergisitas pelaku pemberdayaan masih mengemuka. Tidak ada jaminan kekompakan antara RT, RW, pemberdaya dan pokmas. Demikian pula, fasilitas program Balai Belajar patut diacungi jempol. Hampir semua RW mampu mengakses internet dengan kapasitas berlebih, sayangnya, “pemanfaatan” di lapangan masih belum sesuai harapan banyak pihak.

Salah satu Ketua RW menyatakan ia telah menertibkan penggunaan internet sampai jam 21.00 WIB, tetapi pada salah satu RT di Malanggaten, Ketua RT tidak menegur anak-anak yang asyik mengakses youtube dan game sampai larut malam.

Kini pelatihan digelar banyak oleh pemerintah. Namun, apakah pelatihan ini  benar berhasil melahirkan sosok-sosok yang diharapkan. Jangan-jangan motivasi peserta hanya bertujuan pragmatis.

Seorang aktivis komunitas menyatakan, “Dari 1000 peserta yang ikut pelatihan, bisa menetas atau berkembang biak, 10 orang saja sangat bagus”.

Training pariwisata yang dilaksanakan dua hari, apakah benar-benar melahirkan wirausaha-wirausaha pariwisata di level kampung atau berkelas? Salah satu peserta workshop pariwisata menjelaskan kepada penulis tentang masyarakat sadar wisata. Ia menyatakan workshop bertujuan membuka wisata kampung yang diharapkan dikunjungi oleh wisatawan. Namun, sampai pelatihan selesai ia tidak mengetahui bagaimana memetakan potensi wisata di kampungnya itu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pelatihan masih belum melahirkan perubahan mindset warga. Sisi-sisi pragmatis peserta masih mengemuka seperti kebanyakan peserta asyik membicarakan uang transportasi kegiatan ketimbang materi yang diperoleh selama pelatihan atau mungkin rencana tindak lanjut pasca pelatihan. Kondisi inilah sejatinya “wajah” masyarakat Magelang yang sesungguhnya.

Tantangan

Berangkat dari plus, minus dan persoalan yang penulis paparkan di muka, perlu penulis lengkapi dengan tantangan-tantangan yang tengah dihadapi kota ini.

Capaian Visi dan Misi

Menurut penulis dari pada branding Magelang Kota Sejuta Bunga, branding Maju, Sehat, dan Bahagia lebih realistis. Kini pemerintah dan komunitas tinggal mengukur keberhasilan semua itu. Jika tahun pertama masih tahapan membuka atau menginisiasi program, kini dituntut untuk meningkatkan kualitas. sampai di mana output program, pertanyaannya, adakah ukuran Maju Sehat dan Bahagia hari ini benar-benar terealisasi?  Evaluasi menyeluruh dengan check list plus dan minus perlu dilakukan dan yang kemudian ditindaklanjuti penyelesaian “permasalahan” prioritas.

Keberlanjutan kebijakan

Sekalipun alokasi dana diperuntukan rakyat itu merupakan program bagus, kita tidak boleh berhenti sampai inisiasi. Kita perlu memikirkan keberlanjtan program. Terlebih, tahun 2023 dan 2024 merupakan tahun politik yang sangat pasti akan menjadi tantangan dari keberlanjutan program. Sederhana saja, pendanaan program akan menjadi kontestasi lawan dan kawan politik. Terbuka kemungkinan, lawan politik akan memolitisasi program.

Benarkah, program kebijakan berkelanjutan? Ibarat menanam pohon masih banyak program yang baru menebar benih. Bisa jadi tumbuh, tetapi juga tidak menutup layu sebelum berkembang. Untuk program yang sedang bertumbuh pun jika tidak dikawal dengan baik akan layu atau gagal, apalagi yang masih sebatas merintis, maka butuh “manajemen” tindak lanjut. Program padat karya juga memang berorientasi kepada kesejahteraan warga, tetapi ia bukan cita-cita Magelang Keren, khan? Programis misalnya, benarkah sudah dilengkapi kelembagaan rumah bersama?

Kebelanjutan Leader

Relevansi bicara leader di sini karena kita perlu memikirkan masa depan Magelang ke depan melalui program dan kebijakan yang tidak terputus. Sekalipun perwali (peraturan wali kota) sudah digunakan untuk panduan rata-rata kegiatan, namun sejatinya langkah itu tidak cukup. Beberapa orang yang “melek: politik mengusulkan kebijakan menjadi status peraturan daerah (perda).

Selain itu, bagian terpenting realisasi dan implementasi kebijakan. Untuk itu, SDM dan kepemimpinan unggul menjadi kebutuhan sangat penting, penulis mengusulkan tim untuk percepatan program. Tim ini fokus untuk mencapai keberhasilan program semunya. Jangan sampai terjadi pengusulan dan realisasi tidak sama.

Kaderisasi ke depan

Program berbasis komunitas tidak boleh berhenti, ia harus berjalan terus. Progress report dan capaian program unggulan, harus dievaluasi dan jangan berpuas begitu saja. Hasil evaluasi menjadi patokan para “pejuang” program. Maka, kaderisasi demi meneruskan inisiatif yang telah dibangun menjadi kebutuhan yang sangat penting. Untuk itu harus benar-benar dipersiapkan aktor-aktor yang mampu meneruskan program. Kaderisasi yang dimaksud bukan hanya pada level government, tetapi juga pada level komunitas atau masyarakat.

 Budgeting itu Penting

Pemerintah tidak bisa jalan tanpa ditopang dana dan uniknya dalam sistem politik hari ini, “ranah” dan kewenangan pengalokasian ini sangat ditentukan legislatif. Sebaik apapun konsep eksekutif, jika legislatif tidak acc, tidak akan ada pendanaan.  Keterbatasan anggaran menyebabkan program tidak optimal, bahkan terancam berhenti di tengah jalan. Ia juga berimplikasi pada perencanaan yang sudah dibuat. Untuk itu kerja sama tingkat tinggi antara eksekutif- legislatif untuk keberlanjutan program menjadi penting. Ingat, budgeting adalah pertaruhan program.

What Should be Done

Analisa lingkungan politik dan analisa aktor membantu menjelaskan analisa kota Magelang. Lingkungan politik menyatakan, bahwa individu tidak lepas atau bahkan mungkin ditentukan sistem politik dimana ia hidup. Lingkungan politik dijelaskan seperti pandemi yang menjadi halangan pembagunan. Masa jabatan yang terbilang pendek menjadi tantangan tersendiri untuk menuntaskan banyak program, di tengah semangatnya wali kota untuk merealisasikan kesemuanya. Berbagai macam program ingin diselesaikan. Sementara politik penganggaran juga menjadi penentu. Wali kota tidak bisa bekerja tanpa dukungan dana sebagai keputusan politik.

Struktur birokrasi dan kultur masyarakat. Tidak mudah menggerakkan struktur birokrasi dimana sebelumnya menggunakan arahan program yang tidak sama. Belum lagi menghadapi kultur warga Magelang yang terlalu “complicated”, seperti warga Magelang yang terkenal “ayem” tentrem.

Satu kelurahan menunjukkan masyarakat yang berkelas, tetapi warga pada kelurahan lain, masih hidup di bawah garis kemiskinan. Basa-basi masih menjadi kultur masyarakat. Sekalipun ada yang tidak ideal dalam perilaku politik ini, lingkungan politik menyatakan bahwa individu tidak lepas dari sistem politik dimana ia hidup, termasuk perilaku kepala daerah pasti melekat sebagai aktor politik.

Untuk mengusung sebagai walikota membutuhkan kekuatan massa. Dalam politik padat modal pasti tidak mudah. Berkali-kali penulis mendengar semangat walikota untuk melakukan perubahan ke depan. Niatan ini baik bagi sistem, tetapi belum tentu baik bagi beberapa kelompok individu. Model kepemimpinan yang menerapkan achievement leadership mendapat tantangan atau mungkin bahkan benturan dengan model partisipatoris. Dan, ini akan menjadi tantangan tersendiri. Kita memikirkan Magelang ke depan dengan program yang tidak terputus.

Sementara itu agensi menjelaskan kekuatan wali kota dan wakil wali kota sebagai agen kreatif. Ia bukan saja dikendalikan struktur yang mengitarinya, tetapi individu memiliki kebebasan untuk mengambil inisiatif. Kadang keduanya berbasis nilai-nilai dan kadang mendasarkan pada “definisi situasi” tertentu. Dari sinilah kita melihat ada saatnya terlihat loyalis aturan main, pada saat yang lain menjadi “pembangkang” aturan. Maka, program itu menjadi relatif. Tidak semuanya menyatakan baik atau buruk.

Setelah kita memahami plus dan minus perkembangan kota dan implementasi kebijakan, tidak elok jika penulis meninggalkan solusi, maka langkah-langkah berikut bisa ditindaklanjuti.

Belajar dan Perbaiki

Banyaknya program tidak semuanya on the track. Kita dihadapkan pada kualitas program yang telah dicanangkan.  Benarkah ia sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan? Misalnya, Halte Maju Sehat dan Bahagia apakah sudah benar-benar menjadi tempat yang nyaman untuk berteduh? Benarkah, pada saat hujan halte ini  melindungi warga yang berteduh?  Maka, perlu evaluasi program keseluruhan yang berkontribusi pada perbaikan implementasi. Pelaporan rutin, monitoring target kualitatif dan “perbaikan” harus selalu dilakukan oleh “semua” pihak yang terlibat.

Semangat Membuka dan Menyelesaikan

Program-program unggulan telah dibuka. Diakui atau tidak ada program matang dan ada pula yang belum atau kurang matang. Untuk itu semangat merawat harus diimbangi pematangan baik yang dilakukan oleh OPD, tokoh-tokoh masyarakat, partai koalisi dan semua pihak yang terlibat. Birokrasi harus memastikan semuanya berkualitas tinggi, maka tahapan berikutnya tidak saja pada top leader tetapi desentralisasi kegiatan.

Act Locally, Cuan Globally

Mencintai Magelang itu romantis, tetapi untuk urusan pendapatan masyarakat harus realistis. Romantisme tidak akan langgeng, tanpa ditopang pemasukan (income), sementara itu perputaran keuangan di kota ini tidak banyak, maka pemerintah harus ekspansi sumber daya yang tidak hanya berada wilayah Magelang, tetapi juga ekspansi eksternal kota.

Warga harus cerdas mengakses rezeki dari Proyek Strategis Nasional Pariwisata Borobudur, DIY dan Ibu Kota Jawa Tengah. Kita membayangkan, dengan kecerdasan “act locally, cuan globally”, perubahan kesejahteraan warga yang ditopang oleh pendapatan dari kota-kabupaten penyangga atau bahkan kota-kabupaten lain.

Mimpi Masyarakat Berdaya

Pembangunan berorientasi manusia menjadikan masyarakat baik sebagai obyek dan subyek, maka target proyek ini menjadikan masyarakat berdaya. Untuk itu yang dibutuhkan jaminan proses yang berjalan sesuai dengan tahapan. Sekalipun belum menunjukkan puncak maksimal dan “merata”,  tetapi semua program harus terus berjalan. Butuh keseriusan membangun kolaborasi dengan aktor-aktor lapang.  Diproyeksikan dari sini lahir local-local hero yang ibaratnya tidak ada program negara, tetap saja berjalan dan memberi kemaslahatan bagi masyarakat.

Kultur Kota Magelang

Program memancing penilaian subtansial dan non substansial. Pelaksana program memfokuskan pada ukuran substansial, sementara obyek program menggunakan ukuran non substansial, maka sekalipun dalam pengelolaan pemerintah kinerja menjadi andalan, tetapi performans dalam interaksi masih dipentingkan. Untuk itu pengambil kebijakan perlu “mempercantik” perilaku ketika berinteraksi dengan masyarakat. Selain ia bentuk adaptasi dengan kultur juga sebagai sarana memperbaiki kualitas program, meskipun tidak substansial, tetapi akan berdampak pada penilaian masyarakat pada program.

Akhirnya, tulisan ini buah perspektif penulis selama setahun ini yang didukung dengan interaksi dengan masyarakat dan para pengambil kebijakan di Pemerintahan Kota Magelang. Terbuka peluang ada keterbatasan data atau perbedaan-perbedaan  perspektif, itu pasti. Seperti pandangan yang menyatakan bahwa tahun 2022 yang merupakan tahun pertama yang efektif pada Pemerintahan Dokter Aziz dan Kyai Mansur. Banyak kendala yang dihadapi, termasuk pandemi,  sehingga tahun ini implementasi program masih pada tahap sosialisasi dan pelembagaan sosial, maka jika beberapa program sudah berjalan secara efektif itu istimewa.

Selain itu penulis akui masih memanfaatkan data-data kualitatif, sedangkan  pemerimtah cenderung familiar dengan data-data kuantitatif makro. Mungkin, pembaca bisa tidak sepakat dengan apa yang penulis sampaikan di sini, baguslah kita bertukar pikiran dengan tulisan-tulisan berperspektif lain. Semakin banyak perbedaan perspektif akan mengayakan dan mendewasakan kita. (Selesai)

Tulisan ini merupakan kolaborasi dua penulis, yakni Rachmad Kristiono Dwi Susilo, MA, Ph.D, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur concern pada Isu-Isu Sosiologi, Kebijakan Lingkungan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Kepenulisan, serta Ridwan Irawan, M.Si yang sekarang sebagai Konsultan Pendidikan Karakter Bangsa dan menekuni dunia pengajaran, pelatihan dan community development

APBN Dana Insentif Daerah DID dr. Muchamad Nur Aziz Sp. PD-KGH FINASIM evaluasi K.H.Drs.M.Mansyur M.Ag kepala OPD Kota Magelang nyawiji padat karya pemberdayaan masyarakat pemerintah people centered development wali kota

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts