Kerelawanan Sosial: Belajar dari Kota Batu Jawa Timur untuk Kota Magelang (Tulisan Kedua-Tamat)
Wisata komunitas dipilih dengan mementingkan bentuk wisata ekologis. Kita melihat pertanian organik, keberadaan sapi dengan segala potensi dan air di kolam. Kesemuanya rantai ekologis yang disemai untuk kelestarian alam. Tiga destinasi yang sedang dikembangkan oleh wisata ini yaitu:
- Edukasi Stroberi dan Apel
Sistem tanam stroberi dilakukan melalui model pertanian organik, sehingga selain ramah lingkungan ia juga melahirkan kualitas unggul. Pengunjung berkesempatan membeli stroberi. Selain stroberi, komunitas ini juga melakukan pembibitan apel. Di banding desa-desa yang lain di Kecamatan Bumiaji, di Desa Tulungrejo, tanaman Apel masih bertumbuh. Peningkatan suhu global berdampak terhadap syarat tumbuhnya Apel, Area tanaman apel terus berkurang, petani apel beralih ke komoditas lain, petani muda tidak tertarik bertani Apel yang menjadikan ancaman icon Kota Batu.
Sekalipun belum ada sentra apel yang terencana dengan baik, tetapi nilai lebih program ini yaitu mengembalikan icon apel sebagai branding Kota Batu. Dengan fenomena tersebut komunitas ini mengawali kegiatan yang berbasis komunitas, salah satunya Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Alam Agro Indonesia dengan program mengajak para pemerhati pertanian, petani dan petani milenia membantu, berkontribusi membangun pertanian organik yang selaras dengam ekologi alam. P4S Alam sendiri bergerak pada bidang pelatihan/edukasi pertanian, unit usaha wisata alam, dan konten kreator (brosur komunitas).
- Kandang Komunal
Kandang Komunal merupakan wadah petani/peternak Dusun Wonorejo, Desa Tulungrejo untuk bersama memelihara Sapi Susu dengan aset Kelompok Tani Gunung Harta sejumlah 50 ekor sebagai salah satu penyangga perekonomian dan mata pencaharian anggota. Di samping tambahan hasil anakan sapi (pedet), limbah kotoran padat diolah dalam degester Biogas menghasilkan gas metan untuk kompor dan pupuk kompos. Urin sapi juga digunakan sebagai sumber pupuk Nitrogen (urea). Dari sisi pengelolaan kandang, meskipun wabah PMK (penyakit mulut dan kuku) menjangkiti sapi di Kota Batu, di kandang komunal Gunung Harta aman, tidak satu pun sapi ada yang terjangkit. Terlebih, pengelola sigap memberikan vaksin. Pada pemberian vaksin pertama dihadiri Wali Kota Batu dan Vaksin ke dua dihadiri Gubernur Jawa Timur. Sebagai realisasi program kelompok, lokasi ini sebagai Base Camp untuk Wisata Edukasi peternakan Sapi Susu yang dimulai dari perawatan, produk olahan susu, dan edukasi. Dengan tempat dan suasana alam yang sejuk di kawasan Wana Wisata Coban Talun, pelakunya petani/peternak yang masih Ndeso akan lebih terasa alamiah dengan produk berbasis organik.
- Pemancingan Ikan
Kolam Ikan dan kolam pancing di Kelompok Tani Gunung Harta merupakan pelengkap kebutuhan air bersih yang sangat vital dari mata air dari gunung juga bermanfaat untuk tandon air bersih/embung untuk kebutuhan di kandang komunal dalam bentuk bantuan CSR (Corporate Social Responsibility). Konsep pembuatan kolam dibantu stakeholder dari pabrik plastik KTG (Kencana Tiara Gemilang) yang berpengalaman pembuatan Embung, E Gas Biogas dari plastik Geomembran, dan E Pon kolam ikan bioflox, serta penutup mulsa pertanian strawberi organik maupun plastik UV atap greenhouse. Ke tiga item destinasi dikelola dalam satu kesatuan bernama Batu Edu-Park, yang di dalamnya ada unsur Pemberdayaan Masyarakat/in-powering dan keuntungan ekonomi (profit center) untuk kesejahteraan ekonomi anggota dan masyarakat sekitar.
Selain kelebihan di atas, kita juga menemukan aktor-aktor berkontribusi. Peran kelompok tani yang terdiri dari 15 petani bisa bekerja secara organisasional. Selain itu, Remaja Masjid di Desa Tulungrejo bisa dilibatkan dalam mengelola destinasi. Peran Dinas Pertanian lebih kepada pembudidayaan pertanian. Dan yang tidak kalah penting, komunitas ini bekerja sama dengan pelaku wisata “senior”, Wisata Coban Talun untuk ekspansi pengembangan wisata. Di sinilah kita melihat model pemberdayaan yang berhasil menggabungkan potensi-potensi di masyarakat. Bridging social capital ini diarahkan untuk maju bersama antara komunitas dengan Warga Desa Tulungrejo.
Kita bisa menyimak pernyataan Pak Sulih,
“Peran pemerintah desa hanya sebatas mendukung keberadaan kita. Kalau dinas pertanian sebagai penyuluh dan pendamping kita. Tetangga sekitar sangat merasa kan adanya kandang komunal. Lokasi menjadi rame karena jalan sudah dipaving dan lebih lebar. Kini, penerangan juga lampunya ada.
Tempat kita juga dipakai Posyandu Lansia, TPS, rapat dusun, RT, RW, dan kegiatan warga lainnya. Ini multiplayer effects ya Mas. Dari segi keamanan lingkungan sangat membantu warga sekitar karena setiap malam pasti ada piket Jaga di Kandang komunal. Dan sudah kita pasang CcTv online, WiFi”.
Pelajaran Penting untuk Magelang
Agar pelajaran dari Kota Batu bisa diadopsi oleh Pemerintah Kota Magelang ada baiknya penulis menjelaskannya melalui dua perspektif, yaitu perspektif agensi dan perspektif kelembagaan, sebagai berikut;
1. Perspektif agensi
Perspektif agensi yakni SDM kreatif. Pahlawan lokal (local hero) yang menjadi inisiator proyek ini bukan pemain baru, tetapi sudah memiliki pengalaman banyak dikeorganisasian berbasis kerelawanan. Penulis mengenal Pak Sulih pada saat mengembangkan pengelolaan sampah 3R (Reduce Reuse Recycle) dan pengembangan strowberi melalui Lumbung Stroberi di Desa Pandanrejo, nah penulis melihat Batu Edu Park sebagai “revisi” pengembangan masyarakat di Desa Pandanrejo tersebut.
Sebagai manusia biasa, penulis menyaksikan, perangkat pemerintah desa dan para pemuda tidak antusias dengan kerja kerelawanan Pak Sulih saat mengembangkan pengelolaan sampah 3 R dan Taruna Tani. Sekalipun demikian, Pak Sulih tidak surut, ia menyatakan bahwa bekerja tidak mengejar profit tetapi pengembangan benefit. Ia membedakan secara tegas keduanya, profit identik dengan uang, sedangkan benefit bisa berbentuk apapun sepanjang menguntungkan organisasi. Orientasi tidak hanya untuk jangka pendek, tetapi juga meraih tujuan jangka panjang.
2. Perspektif kelembagaan
Perspektif kelembagaan ditunjukkan pada pengembangan kelompok atau keorganisasian berbasis komunitas. Kreativitas lahir tidak hanya aplikasi gagasan-gagasan individual, tetapi optimalisasi organisasi dan jejaring sosial. Komunitas ini lahir dan besar karena kerja sama. Setidak-tidaknya Pak Sulih merupakan tokoh yang mendirikan kelompok tani di Desa Tulungrejo. Pak Sulih pulalah yang mengembangkan Bumdesa Pandanrejo, di mana konsen pada pembudidayaan Stroberi mengingat desa ini dikenal sebagai sentra Stroberi di Kota Batu.
Untuk itu marilah kita buat data-data tentang ketokohan masyarakat yang tidak hanya cakap sebagai agensi tetapi juga trampil dan menguasai sumber daya keorganisasian. Singkatnya, ia menggabungkan kemampuan sebagai agensi yang mampu menggabungkan struktur seperti dinyatakan oleh Sosiolog Inggris, Anthony Giddens.
Tantangan-Tantangan Magelang
Tidak mudah bagi warga Magelang untuk begitu saja mengadopsi kerelawanan sosial dari Kota Batu mengingat karakter kawasan kota ini berbeda dengan Warga Batu yang rata-rata bermata-pencaharian sebagai pekebun, peternak, dan petani. Norma dan nilai agraris dengan semangat gotong royong lebih mudah digerakkan. Prinsip-prinsip lokalitas masih dianut, di mana menurut Sosiolog Jerman, Max Weber berbasis rasionalitas non instrumental, berorientasi afeksi dan rasionalitas tradisional.
Kontras berbeda dengan Kota Magelang, di mana warga rata-rata hidup di kampung-kampung perkotaan. Dari sisi materiil, kampung di Kota Magelang berkembang dari kewadayaan ekonomi warga. Cukup banyak kelurahan yang perlu dientaskan dari persoalan kemiskinan. Data dari Bappeda Kota Magelang (2022), garis kemiskinan Kota Magelang menunjukkan kenaikan tiap tahunnya selama periode 2017-2022. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2020, dimana garis kemiskinan sebesar Rp 522.099,- dari Rp 481.282,- di tahun 2019. Tahun 2022, kenaikan garis kemiskinan juga cukup tinggi. Dari Rp 537.783,- di tahun 2021 menjadi Rp 575.130,-
Menurut penulis, kerelawanan tidak bisa lepas dari basis ekonomi, maka jika kondisi material masih sulit, akan sulit juga membangun kerelawanan. Ini artinya mencari kerelawanan di Kota Magelang lebih sulit dan pelik dari pada di desa-desa di Kota Batu. Sekalipun demikian, bukan berarti kita surut atau berputus asa.
- Satu Visi Kepala Daerah dengan OPD.
Visi people centered development wali kota perlu diterjemahkan secara ketat. Ini akan lebih menarik jika “mesin birokrasi” menerjemahkan gagasan wali kota sebaik-baiknya. Penulis berharap birokrasi berhasil menggabungkan idealisme wali kota yang berlatar belakang sipil dan kental dengan nilai-nilai Islam dengan birokrat yang “akrab” dan hidup di habitat mesin kebijakan (policy). Keduanya memiliki “niat baik” yang perlu dikomunikasikan dan saling menguatkan tentunya. Sekalipun tidak menutup kemungkinan, “zona nyaman” birokrasi sering menyebabkan mereka kurang adaptif dengan inovasi-inovasi baru. Jangkauan berfikir hanya sekilas dan kurang memikirkan dampak jangka pendek dan jangka panjang. Tidak sedikit keinginan walikota menjadi agak rumit diterjemahkan dalam bentuk penganggaran dan program, maka kini yang dibutuhkan keselarasan antara gaya kepemimpinan masyarakat sipil dengan birokrasi pemerintahan ini.
- Butuh Aksi Berbasis Komunitas
Pemerintah telah menggelontorkan program yang melibatkan komunitas seperti wisuda 500 wirausaha muda atau penguatan kapasitas Pokmas dan Ketua RW/RT yang dikelola oleh pakar/ahli. Sebentar lagi kita akan menyaksikan program Magelang Keren (Kelurahan Entrepreneurship Centre), namun demikian tujuan terpenting benarkah, ia telah lahir “gerakan sosial” (Diani, 2000). Secara sosiologis gerakan sosial menyaratkan kesamaan tujuan dan identitas kolektif.
Bahkan, ia juga melahirkan kreativitas di luar (beyond) aturan, regulasi dan kebijakan baku. Jelas ia lebih leluasa dari pada birokrasi. Hanya saja yang penulis kuatirkan, pemberdayaan sekedar melahirkan kerumunan (crowd) yang gampang rusak dan kocar kacir sewaktu-waktu. Ibarat buih di Sungai Progo, dilempar oleh batu kecil saja, buyar semuanya. Tidak ada artinya, anggaran yang dikeluarkan bermiliar-miliar, di tengah komunitas yang acuh, apatis, dan selalu negative thinking dengan pemerintah. Di sinilah sejatinya kita butuh semangat dan komitmen komunitas yang benar-benar mewakili kepentingan dan bahkan mungkin, “nyawa” warga secara berkelanjutan.
- Penguatan Modal Sosial
Akhirnya, kerja sama masyarakat dengan negara diperlukan dalam penguatan modal sosial sehingga program-program berorientasi manusia meninggalkan kerelawanan sosial yang kuat. Berkelanjutan yang penulis maksud bukan karena masyarakat tampak bahagia digelontor uang besar atau bekerja tanpa target jelas pulang membawa uang, tetapi the real participation warga untuk berkontribusi demi kotanya. Buah dari intervensi program, masyarakat mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Ada atau tidak ada negara, masyarakat menginisiasi aktivitas komunitas demi “tanah kelahiran”. Di sinilah, komponen modal sosial utama seperti trust, network dan social reciprocity selalu diperkuat dan dikelola hingga membuahkan hasil yang diharapkan (Fukuyama, 2001). Tentunya, hasil semacam ini bukan sim salabim, tetapi membutuhkan perancangan, desain dan monitoring serta evaluasi program secara profesional.
Monggo sedulur-sedulur Kota Magelang, kalau upaya kita belum menemukan hasil dan masih banyak kendala lapangan hari bukan berarti itu isyarat kita surut atau bahkan mundur ke belakang. Datangnya Tahun 2023 mari kita sambut dengan semangat perubahan. Penulis yakin, saudara bisa karena Saudara “ummat” yang terbaik. Semoga.(Selesai)
Rachmad K Dwi Susilo, Ph.D
Penulis merupakan Sekretaris Program Studi S2 dan S3 Sosiologi Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), alumni Public Policy and Government, Hosei University, Tokyo.
Daftar Pustaka
- D.C. Korten & Sjahrir (penyunting). 1984. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
- Diani, M. (2000). Social movement networks virtual and real. Information, communication & society, 3(3), 386-401.
- Francis Fukuyama (2001) Social capital, civil society and development, Third World Quarterly, 22:1, 7-20, DOI: 10.1080/713701144